Share

Kontrak Penyelamat

Tuk!

Sebuah map berwarna merah mendarat mulus ke atas meja tepat di depan Marina.

“Itu kontrak,” jawab pria berjas hitam, sebelum Marina sempat bertanya apa isi map merah itu.

“Kontrak apa?” tanyanya bingung. Bahkan ketika dia bangun pagi ini, rasanya semua membingungkan.

“Kontrak penyelamat,” ujarnya cepat. “Bisa dibilang begitu. Karena ini akan menyelamatkanmu dan juga menyelamatkanku.”

Marina tercenung. Sampul map merah itu ditatapnya lama. Mendengar kata menyelamatkan pikirannya langsung tertuju pada masalah yang sedang dihadapinya.

Tetapi tunggu! Dia ‘kan belum menceritakan masalahnya pada pria berjas hitam itu. Sontak Marina mengangkat kepalanya.

“Aku tahu kamu pasti punya masalah. Kalau tidak mana mungkin kamu coba bunuh diri dengan berusaha menabrakkan diri ke depan mobilku, ya ‘kan?” tembaknya langsung.

Kepala Marina menggeleng cepat. “Bukan begitu kejadiannya.” Dia sampai tercekat ludahnya sendiri. “Sebenarnya tadi malam itu ...”

“Oh iya aku lupa sesuatu,” potong sang pria tiba-tiba. “Mungkin kamu sudah dengar para maid menyebut-nyebut namaku. Tetapi alangkahnya baiknya kalau aku perkenalkan kembali. Namaku Marco.” Tangan kanannya terjulur ke depan wajah Marina. “Namamu?”

“Marina.”

“Marina? Kayak nama merek hand and body lotion.”

“Apa?” Marina sedikit berteriak. Mukanya tertekuk, merasa tersinggung. Entah pria itu sedang bercanda atau memang bagian dari kepolosannya saja.

“Aku tidak salah ‘kan? Di televisi banyak kok muncul.”

Memang benar, hanya saja Marina merasa kalau itu adalah bentuk ejekan untuknya. Baru kali ini ada yang berkata seperti itu, biasanya mereka akan langsung memuji kesepadanan nama dengan wajah cantik yang dimilikinya.

“Apa tujuanmu melakukan ini?” Marina mati-matian agar bisa menatap Marco lama. Namun dia selalu kalah karena tatapan pria itu dinilai terlalu menyeramkan. “Apa kamu sengaja menolong agar bisa memanfaatkanku?”

“Kalau aku jahat, buat apa aku repot-repot membawamu ke rumahku, menjamu dengan baik padahal kamu pingsan saja bukan gara-gara aku. Dan soal tujuan, kamu baca saja kontrak itu, semuanya akan dijelaskan di sana.” Marco mulai sewot, mana terima dia dituduh begitu. “Mari kita buat simbiosis mutualisme.”

Hasil pemeriksaan dokter keluarga semalam mengatakan kalau Marina kelelahan dan magnya kambuh makanya pingsan, selebihnya dia baik-baik saja.

Lalu mengapa dia memilih Marina?

Alasannya, dia sedang dikejar-kejar waktu. Lagipula Marina adalah seorang wanita yang bila dilihat-lihat cukup menarik hanya perlu sedikit polesan saja.

“Kalau aku tidak mau, bagaimana?” Mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan ini sama beratnya dengan mengumpulkan kekuatan menelepon budenya meminta bantuan.

Marco berkedik bahu. “Silakan angkat kaki dari rumahku. Plus bayar semua layanan yang sudah kamu terima. Mulai dari makanan, tempat tidur sampai biaya periksa dokter. Dan itu nominalnya tidak sedikit. Seratus juta paling sedikit.”

Pupil mata seketika Marina membesar. Marco mengatakannya dengan sangat santai ditambah seringai khas yang membuat Marina makin tersudutkan. Semalam dia sempat berpikir bahwa Marco adalah sosok malaikat berjubah putih. Dalam sekejap pikiran tersebut berubah, dia tak ubahnya malaikat pencabut nyawa.

“Aku kasih kamu kesempatan buat pikir-pikir dulu. Tapi ... hanya sampai jam makan siang. Aku tidak punya banyak waktu. Kalau kamu menolak, aku harus cari penggantimu dan itu tidak mudah,” katanya tegas.

Marina yang bingung hanya bisa mengusap wajah piasnya. Waktu makan siang sebentar lagi, mana bisa dia mengambil keputusan secepat kilat?

“Sekarang aku akan ke kantor. Kamu masih bisa tinggal di rumahku sampai waktu makan siang. Tetapi jangan lupa, ongkosnya tentu akan bertambah.” Marco tersenyum puas telah berhasil membuat lawannya tidak berkutik di tempat.

Setelah Marco pergi, Marina melepaskan resah. Ditatapnya map merah tadi sebelum dibuka lembar demi lembar untuk mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan pria tampan itu.

“Ternyata soal harta warisan,” gumamnya. Tujuan Marco tertulis jelas di lembaran pertama. Kontrak berlaku hanya sampai besok, saat rapat pemegang saham dilaksanakan. Setelahnya Marina bisa bebas. “Tiga keinginan?” Kontrak tersebut juga dibuat sedemikian rupa agar bisa menguntungkan bagi kedua belah pihak.

“Puhh!” Marina mengangkat pantat untuk berpindah ke kamarnya ―maksudnya kamar tamu milik Marco. Sambil berbaring dia kembali membaca lembaran berikut dari kontrak mereka. Tawanya seketika pecah. “Kamu pembuat skenario yang buruk.”

Benar-benar lengkap Marco tuliskan pertemuan pertama mereka, siapa yang jatuh cinta pertama, sampai pas pacaran mereka seperti apa.

“Pertemuan pertama di British Library, Marco sedang membaca buku, Marina lewat dan langsung mengagumi ketampanannya yang memang menjadi idola para gadis di kampus.” Selain perfeksionis, rupanya dia juga narsis. “Pertemuan kedua waktu itu Marina sedang menunggu bus pulang, hari sedang hujan, Marco datang bak superhero membawakan payung untuknya. Marina makin terpesona.”

“Gila!” pekiknya. “Dia benaran menulis ini semalam? Bisa kupastikan dia kurang membaca novel romansa atau menonton film penuh romantisme. Selera romantisnya buruk sekali. Pria yang kaku!”

Lembaran kertas itu dibuang asal. “Apa aku harus terima tawaran ini?” Dia menatap langit-langit kamar. “Dengan segala koneksinya, ia pasti bisa membantuku mencari tahu keberadaan Nathan. Atau mengembalikan surat-surat rumahku dari tangan debt collector bank Semesta.”

Sungguh, simbiosis mutualisme. Malah Marina menang banyak. Kontraknya berakhir besok, tetapi dia dapat kesempatan untuk menyelesaikan semua masalah hidupnya. Benar-benar untung ada dipihaknya.

Drrt!

Ponselnya bergetar. Ketika dilihat bahwa itu panggilan dari sang bude. Dia mengurungkan niat untuk mengangkatnya. Sebab dia tahu kalau budenya pasti akan bertanya alasan mengapa semalam dia tidak jadi menginap yang ujung-ujung merembet ke banyak hal tak masuk akal.

“Maaf, bude. Tetapi kalau bude cuman mau menyalahkan papaku, aku tidak akan pernah tinggal diam.” Dan nomor budenya langsung diblokir.

Perbuatan Marina mungkin akan dinilai tidak sopan, baginya itu bukan masalah yang besar. Toh, hubungan mereka juga tak pernah baik, hanya karena almarhum mamanya yang minta makanya nomor sang bude masih tersimpan rapi di handphonenya.

“Benar Marina, apa yang kamu lakukan sudah benar. Ini adalah kesempatan untuk melanjutkan hidup tanpa gangguan mereka.”

Untuk meredakan rasa kesalnya dan gerah semalam belum mandi, Marina putuskan bersih-bersih diri. Lagi-lagi Marina dibuat berdecak kagum begitu melihat kamar mandi di rumah itu. Mewah, terbuat dari keramik-keramik yang sangat mahal. Membuatnya keasyikan berendam sampai akhirnya ketiduran saking rileksnya. Baru terbangun saat hampir mendekati jam makan siang.

“Alamak!” dia berseru panik sambil buru-buru bangkit kemudian keluar kamar mandi. Berdandan seadanya dengan pakaian yang tak sempat dibuang oleh para debt collector, dia akan menuju meja makan.

“Eh, nyonya kebetulan sekali,” ujar maid yang ditugaskan untuk memanggilnya. Mereka bertemu di depan pintu kamar. “Tuan Marco sudah menunggu di meja makan. Mari.”

Marina mengekor di belakang. Dia tengah mempersiapkan diri bertemu Marco. Pria tampan berwajah blasteran, seorang pekerja keras yang bahkan di meja makan masih sempat membaca dokumen kerjanya dan punya senyum menawan andaikan dia mau terus menebarkan senyumannya itu.

Mendengar langkah kaki mendekat, kepala Marco terangkat. Begitu mereka saling menatap, Marco langsung berdiri lantas berkata, “Waktumu sudah habis. Sekarang katakan keputusanmu!”

Marina tercekat ludahnya sendiri.

“Aku harap kamu tidak akan membuat kesalahan dengan memberi jawaban yang salah, Marina,” sambung Marco.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status