"Kakak, pulangnya hati-hati, ya. Salam buat Kak Alya. Sampaikan maafku untuk Ibu," ucap Shofi ketika mengantar Akbar menuju mobil.
Akbar tak lekas masuk, wajahnya menyiratkan kecemasan. "Dek ...."
"Iya, Kak," jawab Shofi. Ia menunggu Akbar yang terlihat ragu-ragu ketika hendak berucap. Ia pun kembali bertanya. "Kenapa, Kak?"
"Kalau terjadi sesuatu segera telfon Kakak. Juga ... kalau kepingin apapun segera bilang Bi Susi, kalau di sini nggak ada telfon Kakak nanti biar Kakak belikan. Jangan nahan apapun kalau kepingin sesuatu."
Usai mendapati tentang kehamilan sang adik, Akbar memilih untuk tak menegur Shofi. Ia tidak ingin kembali membuat Shofi tertekan. Ia harus memindai situasi lebih dulu sebelum memberitahu hal ini pada semua terutama Rafa.
"Kamu hati-hati di sini, ya. Minggu depan Kakak akan kembali lagi sama Kak Alya," tutur Akbar. Ia masih belum mau beranjak untuk mem
Meski malam semakin larut, Rafa tetap bersih kukuh untuk segera menjemput sang istri. Selama perjalan, jantungnya terus bekerja lebih cepat hingga debarannya begitu menyesakkan dada. Rasa cemas tak henti-hentinya mendera hingga ia tak bisa duduk dengan tenang di dalam mobil. Berulang kali ia menghela nafas ketika merasa perjalanan yang ia tempuh seolah begitu lama. Ia sungguh tak sabar. Rafa terus memberi perintah pada Pak Cipto---supir Akbar untuk mengemudikan mobil dengan lebih cepat.Butuh waktu hampir dua jam hingga akhirnya Rafa sampai di vila tengah malam. Rafa yang semula ingin berlari lalu segera merengkuh Shofi dalam dekapannya, ia urungkan ketika melihat beberapa lampu di ruangan dalam vila sudah padam termasuk kamar utama yang pasti dihuni istrinya. Rafa berjalan menuju pintu, mengawasi sekitar mencari lelaki yang biasa menjaga vila tersebut tapi kali ini tak ia temukan.Ia pun memutuskan untuk mengetuk pintu. Baru tangannya hendak menyentuh pintu, ben
Matahari sudah bergerak naik, jarum jam sudah menunjukkan angka 9 waktu setempat dan Rafa baru membuka mata dari tidur ayamnya guna mengembalikan kondisi tubuhnya yang sempat lemah tak berdaya. Jika sebelumnya ia begitu tersiksa ketika membuka mata tak mendapati wajah cantik sang istri, berbeda dengan kali ini bibir Rafa seketika mengulas senyum mendapati wajah Shofi yang berada tepat di hadapannya Shofi yang semula khawatir menjadi lebih tenang usai mendapat penjelasan dari Alya mengenai mual muntah yang dialami sang suami karena pengaruh kehamilannya. Ia yang baru pertama kali mengetahui ada kejadian seperti itu sempat tak percaya, tapi tak urung ia merasa lucu. Bagaimana bisa dirinya yang hamil, tapi yang ngidam dan mual muntah malah sang suami. Shofi mengulas senyum. "Kakak merindukan senyum ini," ucap Rafa sambil mengusap bibir Shofi. Shofi menahan tawanya. Ia kemudian bertanya," Kakak sejak kapan mual muntah
Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa
"Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.
Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.
Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo
"Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho
Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i