Share

1. Malam Kelam

Bukan pahlawan 1

Malam Kelam

Aku baru saja turun dari sepeda motor keluarga pasien yang mengantarku pulang dari puskesmas tempatku bekerja setelah merujuk seorang ibu yang mengalami perdarahan setelah melahirkan tadi pagi. Suasana di sekitarku gelap gulita karena listrik mati.  Tidak ada penerangan apapun setelah keluarga pasien tadi pergi dari hadapanku.

Aku merasa sedikit merinding karena aku hanya sendirian di rumah ini. Rumah yang juga berfungsi sebagai PKD atau Poliklinik Kesehatan Desa ini memang agak terpisah dari rumah-rumah penduduk yang lain. Rumah ini berada di perbatasan dusun di pinggir jalan desa. Rumah terdekat berjarak kurang lebih  lima ratus meter dari rumah kutempati.

Aku mengira ini sudah jam dua belas lebih, sebuah rasa takut tiba-tiba saja menyergapku saat hembusan angin dingin menerpa tubuhku. Biasanya aku tak pernah punya rasa takut walau selarut apapun aku pulang dari rumah pasien tapi malam ini aku merasa aneh, mungkin karena suasana begitu gelap atau karena aku hanya sendirian di rumah ini karena mbok Semi yang biasanya menemaniku tadi sering mendadak pamit karena  anaknya sakit.

Aku berjalan sambil berapa menuju pintu, dengan naluriku aku memasukkan anak kunci ke dalam lubang kunci dan membuka pintunya. Tadi aku emang pergi dengan tergesa-gesa ketika mendapat kabar kalau ibu yang melahirkan tadi pagi mengalami perdarahan hebat  hingga aku sampai lupa membawa ponselku.

Aku bisa merasa sedikit lega ketika perdarahan berkurang setelah aku  memberikan pertolongan pertama dengan membersihkan sisa plasenta yang ada di dalam rahim  dan memasang infus untuk mengganti cairan tubuh yang hilang karena perdarahan, setelah itu aku mendampingi mereka membawa ibu ke puskesmas tempatku berkerja untuk dilakukan rujukan ke rumah sakit terdekat.

Aku baru tahu kalau listrik mati setelah menyadari jalanan terlihat lebih gelap karena sepanjang jalan menuju rumah yang aku tempati tak ada lampu jalanan yang menyala.

Aku baru saja hendak memasuki rumah saat merasa sesuatu yang dingin menyentuh mulut dan hidungku  dan setelah itu aku merasa di sekitarku makin gelap.

Aku masih bisa merasakan sepasang tangan meraihku dan membopong tubuhku setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.

Keesokan harinya aku terbangun karena sinar matahari yang mengintip dari sela-sela gorden terasa menyilaukan ku. Aku  merasa aneh karena biasanya aku tak pernah bangun sesiang ini. Aku mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam tapi nihil, aku tak ingat apa-apa yang kulakukan semalam selain merujuk pasien perdarahan ke puskesmas.

“Aaah,” aku tak sengaja berteriak saat merasakan nyeri di bagian bawah tubuhku saat aku berusaha menggerakkan tubuhku. Aku semakin merasa nyeri saat melihat tubuh telanjang ku di bawah selimut dan  ada darah yang mengering di paha dan di sprei yang kutiduri.

Aku langsung menangis saat sebuah bayangan melintas begitu saja di benakku. Bayangan seorang laki-laki dengan wajah tertutup tengah berada di atas tubuhku dan menindihku dengan keras. Tenaganya yang luar biasa membuatku sama sekali tak bisa melawan.

Dengan perasaan hancur, aku mengenakan bajuku yang sudah berserakan di lantai.

Tiga bulan lagi aku akan menikah, selama ini aku selalu menjaga kesucianku hanya untuk Rizwan, calon suami tercintaku. Kami sudah bertuangan dua bulan yang lalu dan kami juga sudah mulai mempersiapkan pernikahan bahkan tanggal pernikahan kami pun sudah ditentukan. Tapi seorang durjana merenggut kesucianku tadi malam dan membuatku menjadi seorang yang sang sangat kotor.

Masih layakkah aku untuk menjadi istri Rizwan? Laki-laki tercintaku yang selama ini menjadi pusat hidupku?

Aku kembali menangis sesenggukan sambil terduduk bersandar di dinding kamarku, kedua kakiku terasa lunglai. Aku tak tahu kenapa aku harus mengalami hal ini. Apa salahku? Aku mengutuk laki-laki bajingan yang telah melakukan hal ini kepadaku dalam hati.

“Kenapa, Non?” seorang perempuan setengah baya segera muncul di hadapanku, mbok Seni.

Tangisku makin keras melihat keberadaan mbok Seni di kamarku. Aku juga tak tahu bagaimana mengatakan hal ini kepada Mbok Seni yang menatapku bingung.

Dalam kebingungannya karena aku hanya menangis dan tak menjawab pertanyaannya, perempuan paruh baya itu segera menghubungi seseorang, sepertinya dia menghubungi Bu Teguh, orang yang sudah aku anak sebagai ibuku sendiri semenjak aku berada di desa ini.

Bu Teguh dan suaminya sangat baik kepadaku. Sebelum tinggal di rumah yang dibangun oleh pemerintah desa untukku sebagai tempat tinggal dan tempatku melayani masyarakat, aku tinggal bersama Bu Teguh dan keluarganya.  Keluarga bu Teguh sangat menyayangiku, bahkan anak-anak mereka sudah seperti kakak dan adik bagiku.

Mereka mempunyai dua anak laki-laki yang juga sangat baik padaku. Si sulung Zayn, mengelola Café Rendezvous miliknya, dia lebih banyak tinggal di kota kecamatan mengurusi café dan jual beli kopi yang diperayakan sang ayah kepadanya semenjak dia lulus kuliah tiga tahun yang lalu. Sedang si bungsu Zyan masih kelas lima SD. Si bungsu sangat akrab denganku sedang dengan Zayn aku tak seakrab seperti dengan Zyan karena dia hanya sesekali pulang, meski begitu kami cukup akrab meski kadang aku merasa Zayn seperti menjaga jarak denganku.

Tak lama kemudian bu Teguh  sudah sampai ke rumah yang ku tempati. Bu Teguh segera memelukku begitu melihatku tengah menangis. Dia segera membimbingku untuk duduk di atas ranjang tanpa melepas pelukannya. Bu Teguh mengusap punggungku dengan lembut membiarkan aku menangis di sana.

“Saya salah apa, Bu? Kenapa ini mesti terjadi pada saya,” tangisku dalam pelukan Bu Teguh.

Pelukan Bu Teguh membuatku merasa nyaman, dengan terbata-bata aku bercerita apa yang aku alami tadi malam di antara tangisku. Bu Teguh tampak murka setelah  mendengar ceritaku, dia segera menelpon putranya untuk segera datang ke rumah yang kutempati.

“Kamu tidak salah, Ay. Sudah jangan menyalahkan diri sendiri. Kamu  harus tabah, ya. Kamu tenangkan dirimu dulu,” Bu teguh menepuk- nepuk  punggungku dengan pelan untuk memberi kekuatan kepadaku.

Tak sampai setengan jam Zayn sudah berada di kamarku, sama seperti ibunya, wajah Zayn tampak sangat marah saat mendengar bu Teguh menceritakan hal ini  kepadanya. Sebenarnya aku sudah  melarang Bu Teguh bercerita pada Zayn karena aku malu tapi Bu Teguh tetap menceritakan hal itu pada anaknya.

“Kita harus melaporkan kejadian ini pada Polisi,” kata Zayn lembut sambil mengusap kepalaku.

Aku terhenyak saat  mendengar kata polisi, aku memang merasa kotor dan terhina karena kejadian ini tapi mendengar kata Polisi pikiranku menjadi kacau. Melaporkan kasus ini sama saja aku membuka aibku sendiri dan belum tentu mereka akan bersimpati kepadaku apalagi aku sama sekali tak mengetahui kejadian yang sebenarnya karena aku dalam kondisi di bius dan suasana malam juga begitu gulita dan tak ada saksi yang melihat kejadian itu.

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, aku tak mau kejadian ini diketahui banyak orang.

Aku masih berada dalam pelukan Bu Teguh saat mbok Seni masuk ke dalam kamarku dan memberiku segelas teh hangat.

“Minumlah,” perintah Bu Teguh lembut setelah menerima gelas berisi teh manis dari mbok Seni, “Mbok, siapkan air panas buat mandi Ayana.”

“Baik, Bu,” jawab mbok Asih.

Aku segera meneguk teh yang disodorkan Bu Teguh dengan perlahan kemudian setelah selesai  Bu Teguh segera mengulurkan tangannya meminta gelas kosong dariku.

“Mandi dulu, Ay,” perintah Bu Teguh lembut.

Aku mengangguk, aku hanya menurut ketika Bu Teguh membimbingku keluar dari kamarku. Di luar kamar, aku bertemu dengan Zayn yang menatapku dengan tatapan lembut, aku tahu dia pasti merasa kasihan dengan apa yang menimpaku. Aku yakin dia pasti mendengar apa yang aku bicarakan dengan  dengan ibunya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Mantaapp ceritanya thoorr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status