Share

2. Mimpi

Bukan Pahlawan 2

Aku memasuki kamar mandi dibimbing oleh Bu Teguh karena kakiku masih terasa lemas dan juga rasa nyeri yang menyengat di selangkanganku membuatku sangat sulit melangkah.

“Terima kasih, bu,” kataku setelah sampai di dalam kamar mandi, aku segera duduk di atas di atas closet dengan lemah setelah bu Teguh meninggalkanku sendiri di tempat ini.

Aku menatap ember yang telah terisi air hangat yang sudah disiapkan mbok Seni untuk aku pakai mandi. Uapnya yang panas menerpa wajahku. Dengan perlahan aku membuka bajuku dan aku langsung berteriak saat melihat begitu banyak tanda merah di tubuhku. Aku tak ingat kejadian tadi malam tapi melihat banyaknya kiss mark di sana, aku menjadi ngeri membayangkan apa yang dilakukan bajingan itu padaku tadi malam.

“Ay, kenapa?” Bu Teguh mengetuk pintu kamar mandi dengan cemas.

Aku segera menutup mulutku dengan tangan dan menangis tertahan, aku tidak mau Bu Teguh makin cemas dengan keadaannku. Aku segera melepas semua bajuku dan menyiram air hangat ke tubuhku. Aku mencoba menggosok kiss mark yang ada di tubuhku sambil menangis tertahan dan mengutuk orang yang telah melakukan ini kepadaku.

“Tidak ada apa-apa, Bu. Cuma kepleset,” dustaku.

Aku menggosok tubuhku semakin keras berharap  tanda merah di tubuhku segera hilang. Tanda itu membuatku merasa sangat kotor karena itu berharap aku bisa kembali bersih bila semua tanda kemerahan di tubuhku hilang. Tapi sayangnya harapanku hanya sebuah harapan karena semakin keras dan semakin lama aku menggosoknya kulitku bahkan semakin memerah dan juga perih karena mulai lecet.

Aku mengabaikan rasa sakit di tubuhku dengan terus menggosoknya hingga air hangat yang tadi  kugunakan untuk mengguyur tubuhku menjadi dingin. Aku masih terus menggosok tubuhku dan mengguyur tubuhku dengan shower. Entah binatang apa yang merasuk ke dalam  tubuh laki-laki durjana ini hingga dia tega melakukan hal ini.

Entah berapa lama aku berada di kamar mandi, tiba-tiba seseorang mendobrak pintu kamar mandi. Aku terkejut saat Bu Teguh dan Zayn merangsek masuk ke kamar mandi.

“Gila, Ay!  Apa yang kamu lakukan? Kamu bisa mati kedinginan kalau begini!” teriak Zayn cemas melihatku yang kedinginan di bawah kucuran shower.

Aku hanya menatapnya kosong dan mencoba menutupi tubuhku yang masih polos dengan kedua tanganku, tapi aku tak mampu melakukannya karena seluruh tubuhku terasa lemas.  Aku merasa sangat malu karena Zayn melihat tubuh telanjangku, dia  segera mengambil handuk untuk menutupi tubuhku sementara Bu Teguh segera mematikan kran shower.

Tak lama setelah Zayn melingkarkan handuk ke tubuhku, aku merasa tubuhku melayang karena Zayn telah membopongku dan membawaku ke kamar. Bu teguh membuntuti di belakang kami. Aku hanya bisa menurut karena aku merasa sangat lemas, tubuhku menggigil karena kedinginan.

“Aku tak tega melihat dia seperti ini, Bu,” bisik Zayn pada ibunya saat membaringkanku ke tempat tidur.

Aku hanya diam saja mendengar perkataan Zayn, aku tak menyangka dia akan seperhatian ini kepadaku, aku menatap kosong ke  wajah tampannya yang berada tepat di depanku.

“Ibu juga gak tega lihat keadaan Nana seperti ini, Zayn. Sekarang kamu keluar, ibu akan memakaikan baju pada Nana, dia sangat kedinginan.  Dia pasti akan merasa malu pada kamu,” Bu Teguh segera mendorong Zayn keluar dari kamar.

Zayn hanya menurut saja ketika Bu Teguh mendorongnya keluar dari dalam kamar. Zayn mengepalkan tangannya karena sangat marah.

Bu Teguh segera mengambil baju di dalam lemari dan dipakaikan ya kepadaku setelah itu dia menyelimuti tubuhku yang menggigil karena kedinginan. Dengan lembut Bu Teguh memijit kakiku dan mengoleskan minyak kayu putih di sana.

Bu Teguh tak mengatakan apa-apa, tapi dia berusaha menguatkan hatiku dengan sentuhannya. Tanpa aku sadari, aku kembali mengingat kejadian tadi malam saat laki-laki itu menindihku dengan brutal. Aku menutup mataku dan saat membuka mata, aku melihat ada darah di spreiku. Darah itu awalnya hanya sedikit tapi makin lama menjadi semakin banyak bahkan sampai menetes ke lantai. 

Aku kembali menjerit dan setelah itu aku merasa segalanya menjadi gelap.

Saat aku terbangun, aku tak melihat Zayn, ibu Teguh dan Mbok Seni di sekitarku. Aku juga sudah tidak berada lagi di kamarku, aku berdiri di tepi sebuah jurang dan tak ada siapaun. Aku merasa sangat putus asa. Aku hampir saja terjatuh ke dalam jurang yang entah berapa dalam dalamnya kalau saja tidak berpegangan pada ilalang yang ada di tepi jurang. Aku bergelantungan di sana dan berusaha untuk naik ke atas.

Saat aku merasa kesulitan untuk naik ke atas, sebuah tangan yang kokoh terulur ke arahku. Aku mendongak dan melihat seorang laki-laki berdiri di atas tanah, di atasku. Tubuhnya begitu menjulang wajahnya yang tampan tampak bersinar.  Aku berharap laki-laki itu Rizwan tapi ternyata laki-laki itu Zayn. Dia menyeretku ke atas tanah di pinggir jurang itu dan memelukku.

Zayn tak mengatakan apa-apa, dia hanya membawaku menjauh dari tepi jurang, sembari menggandeng tanganku. Tiba-tiba kami sudah berada di padang rumpu yang luas saat Zayn melepas genggamannya dan memelukku dengan hangat.

“Kamu aman sekarang, Ay,” bisiknya di telingaku membuatku merinding.

Aku mendongak menatapnya, dan melihat sepasang matanya yang berwarna coklat tua menatapku dengan lembut membuatku terhanyut. Sebelum aku sadar, aku merasakan sebuah benda kenayal menyentuh bibirku dan melumatnya dengan lembut.

“Nana!” aku seperti mendengar suara Rizwan memanggilku, tapi aku tak tahu di mana karena terlalu samar dan jauh membuatku terpana dari pesona Zayn.

Aku mengedarkan tatapanku ke seluruh penjuru dan tak mendapati siapapun berada di tempat selain aku dan Zayn yang masih memelukku.  Angin yang bertiup membuatku menggigil membuat Zayn mengeratkan pelukannya.

“Nana…………,”

“Nana………..,’

“Nana………….,”

Suara-suara itu kembali bergema di telingaku, aku bahkan mendengar suara Zayn dari kejauhan padahal dia ada di depanku. Aku kembali mendongak menatap Zayn dan hanya melihat laki-laki tampan itu tersenyum. Wajahnya semakin bersinar membuatku merasa silau setelah itu aku kembali merasa gelap.

“Nana?” suara Rizwan kembali terdengar.

Aku membuka mata dan melihat Rizwan tengah mengulurkan sebuah buket mawar merah yang sangat cantik, aku menyambutnya tapi saat buket bunga mawar itu berpindah ke tanganku tiba-tiba bunganya menjadi layu. Aku terkejut dan menantapnya, Rizwan menyeringai.

“Nana….,” sebuah suara memanggilku lagi.

Aku menoleh mencari arah suara, tapi tak menemukan siapapun. Saat aku kembali menoleh ke arah Rizwan, laki-laki tercintaku itu sudah tak ada di tempatnya. Aku tak lagi berada di tempat aku bertemu di Rizwan di sebuah tempat yang romantic tapi kini aku berada di sebuah ruangan. Ya sebuah ruangan serba biru yang sangat kukenali.

Ini…. kamarku di PKD?  suara nafas yang begitu kentara membuatku menoleh dan melihat seorang laki-laki yang memutupi seluruh wajahnya kecuali sepasang matanya berjalan mendekat ke arahku dan hendak meraihku.

“Aaaaaakh,” teriakku ngeri.

“Nana?” suara lembut Bu Teguh membuatku kembali membuka mata, aku melihat kecemasan di matanya. Kecemasan seorang ibu.

“Ini ibu, Na. Jangan takut sayang, ibu di sini,” Bu teguh memelukku membuatku merasa nyaman, melihat ke sekelilingku dan melihat ada Zayn dan Risya juga di kamar ini membuatku merasa nyaman. 

Aku menatap ragu, jangan-jangan aku masih bermimpi seperti tadi tapi ketika semua yang ada di depanku tak lagi berubah baru aku merasa yakin kalau aku sudah tidak lagi bermimpi. Tatapanku beralih dari Bu Teguh kepada Risya, lalu saat tatapanku bertemu dengan tatapan Zayn, aku segera menunduk karena teringat mimpi tadi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status