Utari diam-diam sudah melancarkan aksinya dengan berjalan mengendap-endap menuju ke arah belakang rumah juragan Somat. Berbekal handphone butut tanpa aplikasi senter dan juga sepeda rinjing yang besinya sudah berkarat menjadi kendaraan untuk Utari kabur.
"Pokoknya aku harus pergi dari sini. Dan jangan sampai para anak buah juragan Somat mengetahui rencana aksi kabur aku ini," gumam Utari yang menyemangati dirinya agar tidak takut untuk melancarkan aksinya ini.
Kepala Utari celingak-celinguk ke kanan dan kiri. Rok kebaya yang sempit membuat jalan Utari semakin lambat. Selama ini, keadaan masih aman. Namun, dalam beberapa detik semuanya langsung kacau balau.
"Gue dengar-dengar kalau juragan Somat mau nikahin si Utari cuma mau merasakan keperawanannya itu. Katanya juga sehabis juragan Somat ngambil keperawanannya, Utari bakalan digilir sama pekerja konstruksi yang juga sudah booking sama juragan Somat," ucap seseorang pada temannya dengan suara pelan.
Meski suara itu terucap pelan, tetap saja Utari bisa mendengarnya karena keadaan sangat sepi dan sunyi.Hati Utari merasa teriris mendengarnya. Sebegitu tidak berharganya diri Utari di mata para pria hidung belang itu. Apalagi bapak kandungnya sendiri yang tega menjual Utari pada pria hidung belang itu.
"Ya Allah, selamatkan Utari dari para lelaki brengsek macam mereka. Utari enggak mau dipakai apalagi digilir dengan hina oleh mereka," gumam Utari berdoa pada sang pencipta dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Bantu Utari untuk terbebas dari jeratan yang hina ini, ya Allah," mohon Utari kembali menyatukan kedua tangannya di depan dadanya seperti sedang berkomunikasi oleh sang pencipta.
Utari pun kemudian melanjukan langahnya. Sepeda rinjing mungil milik Ajeng sudah terlihat di mata Utari. Dengan gerakan tergesa-gesa Utari berlari menuju sepeda itu terparkir.
"Nirman, itu bukannya Utari, ya? Dia mau ke mana lari-lari ke belakang rumah juragan Somat?" tanya Karto dengan suara kencang bertanya pada Nirman, temannya.
"Jancuk! Dia mau kabur, Karto!" seru Nirman histeris menunjuk Utari.
"Ayo, buruan kejar dia, Karto!" seru Nirman kembali dengan kencang, menepuk bahu temannya itu.
Utari yang menyadari kalau dirinya sudah diketahui oleh anak buahnya juragan Somat, lantas Utari semakin menambahkan kecepatan larinya.
"Woy ... Utari, berhenti!" teriak Nirman yang mengejar Utari.
"Juraga! Calon mempelai pengantin wanita kabur!" teriak Karto dengan suara mengelegarnya.
Sontak para anak buah juragan Somat ysng lainnya langsung ikut lari mengejar Utari.
"Ya ampun, gawat kalau sampai juragan Somat tahu kalau aku pergi," ucap Utari cemas.
Handphone yang ada di genggaman tangan Utari, lantas gadis itu menyimpannya di dalam bra yang dipakainya meski merasa mengganjal di area dadanya.
Sepeda yang dikendarai oleh Utari perlahan meninggalkan jarak yang lumayan jauh dai kejaran anak buahnya juragan Somat.
"Ayo, Utari. Jalanan raya besar sudah terlihat!" seru Utari yang menyemangati dirinya sendiri.
"Di mana gadis itu!" bentak Somat pada anak buahnya. Napasnya pun masih tersengal-sengal akibat terlalu panik berlari.
"Di menuju jalan raya besar, Juragan," jawab anak buah Somat takut-takut. "Tapi, Juragan. Narmin dan Karto sedang mengejarnya," sambung orang itu lagi.
"Ya sudah, ngapain kalian di sini, hah! Cepat, kejar sana!" bentak Somat murka dengan urat-urat di lehernya yang tercetak jelas.
"Iya, baik, Juragan."
Somat mengusap wajahnya kasar frustasi. Rumih, istri pertamanya, yang berada di sampingnya hanya bisa terdiam saja.
"Sudah lah, Mas. Masih banyak wanita di kampung ini yang enggak kalah cantik dari Utari," celetuk Rumih yang jengah, karena pusat perhatian suaminya selalu tertuju pada Utari.
"Iya, emang banyak yang cantik di sini. Tapi enggak ada yang perawan kayak Utari! Kamu saja saya nikahkan sudah enggak perawan, Rumih!" sentak Somat tanpa sadar membuka aib Rumih, karena dirinya sudah terlalu kesal pada istri pertamanya itu.
"Mas, tapi 'kan kamu sendiri yang bilang, yang mau menerima aku apa adanya! Kenapa jadi bawa permasalahan itu, hah!" seru Rumih marah, tidak terima aibnya diungkit-ungkit oleh Somat.
Somat mengibaskan tangannya seolah mengusir Rumih. "Sudah lah, sana kamu pergi! Jadi istri enggak ada gunanya sedikit pisan. Bisanya cuma menghambur-hamburkan duit, doang," cibir Somat yang sudah muak berdekatan dengan Rumih.
"Ish ... Awas kamu, Mas! Aku enggak akan kasih tubuh aku lagi ke kamu!" ancam Rumih pada Somat. Kemudian, Rumih pergi meninggalkan Somat dengan kaki dihentakkan kesal ke tanah.
***
Halo para pembaca. Jangan lupa untuk memberikan vote, coment, dan share.
Di sebuah Villa keluarga Munthe.Utari ingin memberitahukan kepada Samu tentang kabar ini. Namun, Utari harus mengumpulkan keberanian untuk menelepon Darsa.Dalam lima detik, panggilannya ditolak. Karena itu, Utari hanya bisa mengirim pesan dengan takut-takut untuk memberitahunya bahwa dia memiliki sesuatu untuk dikatakan dan berharap Darsa bisa pulang malam ini.Pernikahan mereka sekarang sedang jalan menuju satu bulan, namun Darsa tidak pernah menghabiskan malam di rumah. Utari akan selalu sendirian di kamar tidur, dan Utari tahu betul di mana Darsa menghabiskan malamnya.Darsa tidak mengangkat teleponnya juga tidak membalas pesannya. Karena itu, hati Utari menjadi resah karena dia tahu Darsa tidak akan pulang malam ini juga.Utari pun beranjak dari duduknya untuk mandi. Setelah itu hendak beristirahat. Namun, ketika pintu dibanting hingga terbuka lebar membuat Utari mengur
Gemercik suara air yang bertabrakan dengan lantai menjadi pengiring irama di sela-sela tangisan Utari. Tubuh mungil nan rapuhnya bergetar hebat menahan dingin dan kehancuran secara bersamaan.“Hiks ... Kenapa harus aku yang mengalami semua ini ...!” jerit Utari frustrasi yang tertelan dengan kehancuran hati dan fisiknya.“Kenapa semua orang selalu enggak percaya sama aku? Padahal aku sudah berkata dengan sejujurnya,” lirih Utari yang menangis pilu sambil menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.Tubuh Utari pun perlahan merosot begitu saja di lantai. Membiarkan tubuhnya terus-menerus dihujami oleh rintikan air dari shower. Ia menekuk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lututnya, dan kembali menangisi nasib malangnya.Tok ... Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu membuat kesadaran Utari kembali. Terlebih suara yang sangat familiar bagin
Sarah mengacak rambutnya sambil mengerang frustrasi. Kepalanya berdengung sakit ketika memaksakan tubuhnya bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengingat semua kejadian di ruangan kerja Darsa semalam.“Sial! Kenapa Darsa harus pergi menghilang begitu saja! Padahal dia lagi dalam keadaan terbakar gairah. Harusnya dia meminta bantuan padaku,” dengus Sarah yang menggeram marah.Memang benar Darsa menghilang tanpa jejak ketika ia izin ke toilet. Sampai acara puncak di ruangan itu pun dia tetap tidak kembali. Dan akhirnya, Sarah harus menanggung malu dan kekalahan atas taruhannya pada dirinya sendiri bahwa Darsa masih bisa ditaklukkan oleh pesonanya.“Kalau berakhir kayak gini sama saja aku yang rugi!” decak Sarah yang masih tidak terima dengan kekalahannya.Sarah pun lantas keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju ke dapur untuk mengambil minum.Ruang tamu rumah Indri -ibunya Darsa- sudah kembali rapi dan bersih berkat p
Bab 17.Utari mengambil semua pakaian yang sedang di jemur. Teriknya matahari membuat Utari kegerahan. Terlebih ranjang pakaian bersih yang terlihat besar menutupi tubuh Utari.“Bagaimana Darsa? Apa ‘kah rumah kamu yang ada di sana sudah selesai di bangun?”Langkah kaki mungil milik Utari terhenti. Ia tidak sengaja mendengar suara Nyonya besar yang sedang berbicara dengan Tuan Darsa. Meski Utari tahu menguping adalah sebuah kesalahan, tetapi Utari merasa perlu mendengarkan percakapan mereka berdua.“Mah, mamah tenang saja. Saya sudah menyiapkan semuanya di rumah itu. Lagian renovasinya sudah selesai lama. Mamah tidak usah khawatir. Secepatnya saya bersama istri saya akan pindah,” ucap Darsa dengan tenang penuh dengan kejelasan.“Mamah tahu soal itu, Darsa. Tapi Mamah enggak mau istri kamu itu menunda momongan lagi. Sudah hampir lima tahun pernikahan kamu berjalan, tapi sampai sekarang belum juga dapat momongan,&r
Bab 16.Sinar matahari yang sangat menyorot terik membuat tubuh atletik milik Darsa semakin berkilau karena keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.“Huh, sudah berapa lama saya enggak olahraga lagi? Padahal cuma baru setengah jam saja napas saya sudah ngos-ngosan,” gumam Darsa yang mendesa lelah.Darsa menyeka keringat di wajahnya menggunakan handuk kecil yang terlampir di bahunya. Tidak sengaja, mata Darsa bertemu dengan bokong Utari yang seksi.“Pagi-pagi sudah disuguhkan pemandangan yang luar biasa sempurna nan indah,” decak Darsa sambil menggelengkan kepalanya pelan dengan senyuman culasnya.Karena tidak mau membuang waktu lama, Darsa langsung menghampiri Utari yang sedang sibuk menyirami tanaman milik ibunya.“Ehem!” Darsa berpura-pura batuk untuk mengalihkan fokus Utari.“Eh, Tuan Darsa. Ada apa ya, Tuan?” tanya Utari terkejut, buru-buru ia menaruh selang di atas tanah.&l
Prang ...! Nampan yang dipegang Utari sontak terjatuh ke lantai ketika mata sucii Utari benar-benar melihat belalai panjang, besar, dan berurat milik Darsa. "Utari!" *** Kedua mata Utari terpejam sangat erat sekali dengan kedua tangan saling meremas sisi samping bajunya untuk mengurangi rasa takut, cemas, dan juga malu. Sarah langsung naik ke daratan guna mengambil handuk untuk suaminya, sedangkan Darsa hanya menenggelamkan dirinya di dalam kolam renang agar mata Utari tidak lagi jelalatan. "Pakai ini, Mas." Sarah memberikan baju handuk tersebut kepada Darsa. Dengan gerakan cepat Darsa naik ke atas daratan dan juga langsung memakai baju handuk itu untuk menutupi tubuhnya. Kali ini, Sarah menatap tajam ke arah Utari. "Heh, Utari! Siapa yang suruh kamu ke sini, hah! Pasti kamu sengaja kan ganggu kegiatan kami berdua!" tuduh Sarah dengan suara menggeram marah. Utari menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak, Nyonya. S