Sedangkan di lain tempat, Utari sedang berjuang melarikan dirinya dari kejaran anak buah juragan Somat. Kaki mungil Utari pun sudah terasa kebas menggoes pedal sepeda.
"Astaga, kenapa enggak ada mobil yang lewat pisan, sih," decak Utari menoleh ke kanan dan kiri.
Utari sudah sampai jalanan raya besar. Namun, ternyata ekspetasinya tidak sesuai realita.
Jantung Utari semakin berdegup kencang. Apalagi pasti anak buahnya juragan Somat sudah dekat menuju ke arahnya.
"Aduh, ini gimana, nih? Masa sudah capek-capek kabur langsung ketangkep, sih." Utari menggigiti kukunya cemas, dirinya masih duduk di atas sepeda.
Percuma jika ia kabur hanya ke kampung sebelah, yang ada malah bertemu juragan baru. Karena wilayah kekuasaan juragan Somat sudah sampai ke kampung sebelah.
"Utari, jangan kabur kamu!" seru Nirman kembali, ketika jaraknya dengan Utari sudah dekat.
Bersamaan itu pula, ada sorot lampu mobil yang tearah ke wajah polos Utari.
"Alhamdulillah, ini ada kesempatan untuk Utari," gumam Utari dengan mata yang berbinar senang.
Dalam hati, Utari menghitung mundur dari angka tiga menuju satu. Setelah mobil itu sudah dekat, Utari juga langsung menggoes pedal sepedanya dengan sekuat tenaga.
Tin ... Tin ... Tin ...
Braakkh ...!
"UTARI ...!"
Nirman dan Karto seketika menghentikan langkah kaki mereka berdua.
"Man, kalau si Utari mati di tempat gimana? Lo saja yang nanti bilang sama juragan Somat," ucap Karto yang masih syok melihat tubuh kecil Utari terepental bersama dengan sepedanya jauh.
"Coba kita lihat dulu si Utarinya, siapa tahu saja dia cuma pingsan," balas Nirman yang langsung menarik tangan Karto.
Sedangkan Utari hanya bisa terbaring lemah di aspal yang dingin. Mata Utari mengerjap melihat sosok gagah nan tampan keluar dari mobil yang baru saja menabraknya.
"Heh, bocah kampungan! Ngapain kamu nabrakin diri ke mobil saya, hah! Kamu mau buat saya jadi seorang pembunuh, hah!" semprot pria matang itu pada Utari.
"Tuan, tolong bawa kabur Utari," ucap Utari yang merangkak bersimpuh di kaki orang tersebut.
Darsa, pemilik mobil yang ditabrak oleh sepeda Utari melotot garang. "Heh, anak bocil setan! Kamu kira saya ini penculik anak-anak yang suka ambil organ dalam tubuh, hah!" sentak Darsa yang kesal sekaligus geram atas kelakuan Utari.
"Utari mohon, bawa kabur Utari dari kampung ini, Tuan. Utari enggak mau dijual sama Bapak." Tangis Utari akhirnya kembali pecah lagi.
Sedangkan Darsa yang mendengarnya juga terkejut, tetapi langsung menetralkan rasa terkejutnya dalam hitungan detik.
"Memangnya kenapa kamu bisa dijual sama bapak kamu? Saya enggak mau ikut campur masalah orang lain, yang ada diri saya sendiri yang akan susah."
Netra hitam legam milik Utari mengerjap pelan. Lalu, mendongakkan kepalanya guna melihat wajah Darsa.
"Tuan, Utari janji akan memberikan imbalan apapun untuk Tuan," ucap Utari dengan sungguh-sungguh.
Bibir Darsa berkedut kecil mendengarnya. Arah matanya kini tertuju pada gundukan bulat yang ada di depan tubuh Utari. Otaknya pun langsung menyusun rencana untuk kesejahteraan dirinya dan juga hidup Utari.
"Oke, saya akan bawa kamu keluar dari kampung ini. Asalkan kamu mau memberikan saya imbalan apapun itu," putus Darsa final.
Senyuman lega nan bahagia kini terukir di bibir mungil merah muda milik Utari.
"Terima kasih banyak, Tuan." Utari mengecup berulang kali punggung kaki Darsa.
Sampai tiba dua anak buah juragan Somat datang menghampiri Utari dan juga Darsa.
"Heh, Utari! Jangan kabur lagi kamu!" seru Karto menggeram marah, langsung menarik bahu Utari kasar.
"Ampun, Pak. Utari enggak mau dikawinkan sama juragan Somat." Utari mencoba berontak dari kekangan Karto
Darsa yang merasa terganggu, lantas membantu melepaskan Utari. "Jangan kasar. Tangan kamu sudah sakiti dia," ucap Darsa bernada dingin.
"Lo jangan ikut campur sama urusan kita! Sana pergi lo dari sini!" usir Karto yang menepis tangan Darsa.
"Mulai sekarang Utari menjadi urusan saya juga!" balas Darsa tegas.
"Loh, Tuan Darsa?" ucap Nirman terkejut, selaku temannya Karto.
Karto melirik ke arah Nirman dengan pandangan bertanya.
"Kamu Nirman, kan?" tanya Darsa mengangkat sebelah alisnya.
Nirman menganggukkan kepalanya segan. "Iya benar, Tuan Darsa."
"Bilang 'kan ke juragan kamu itu. Saya yang akan membeli Utari dengan harga dua kali lipat!" ucap Darsa tegas menekankan diserap katanya.
"Ta-tapi, Tuan. Nanti juragan Somat marah pada kita," balas Nirman ragu.
"Bilang saja, saya yang menyuruh. Dan ini, ambilah kartu nama saya. Saya yakin Somat akan mengerti maksud saya nanti." Darsa langsung memberikan kartu namanya pada Nirman.
"Baik, Tuan Darsa."
"Ayo, kamu ikut saya masuk ke dalam mobil!" suruh Darsa pada Utari.
Utari pun langsung mengekor di belakang Darsa. "Sekali lagi, terima kasih sudah mau tolong Utari, Tuan," ucap Utari pelan yang langsung dijawab dengan deheman dari Darsa.
***Halo, para pembaca. Jangan lupa untuk memberikan vote, coment, dan share.
Di sebuah Villa keluarga Munthe.Utari ingin memberitahukan kepada Samu tentang kabar ini. Namun, Utari harus mengumpulkan keberanian untuk menelepon Darsa.Dalam lima detik, panggilannya ditolak. Karena itu, Utari hanya bisa mengirim pesan dengan takut-takut untuk memberitahunya bahwa dia memiliki sesuatu untuk dikatakan dan berharap Darsa bisa pulang malam ini.Pernikahan mereka sekarang sedang jalan menuju satu bulan, namun Darsa tidak pernah menghabiskan malam di rumah. Utari akan selalu sendirian di kamar tidur, dan Utari tahu betul di mana Darsa menghabiskan malamnya.Darsa tidak mengangkat teleponnya juga tidak membalas pesannya. Karena itu, hati Utari menjadi resah karena dia tahu Darsa tidak akan pulang malam ini juga.Utari pun beranjak dari duduknya untuk mandi. Setelah itu hendak beristirahat. Namun, ketika pintu dibanting hingga terbuka lebar membuat Utari mengur
Gemercik suara air yang bertabrakan dengan lantai menjadi pengiring irama di sela-sela tangisan Utari. Tubuh mungil nan rapuhnya bergetar hebat menahan dingin dan kehancuran secara bersamaan.“Hiks ... Kenapa harus aku yang mengalami semua ini ...!” jerit Utari frustrasi yang tertelan dengan kehancuran hati dan fisiknya.“Kenapa semua orang selalu enggak percaya sama aku? Padahal aku sudah berkata dengan sejujurnya,” lirih Utari yang menangis pilu sambil menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.Tubuh Utari pun perlahan merosot begitu saja di lantai. Membiarkan tubuhnya terus-menerus dihujami oleh rintikan air dari shower. Ia menekuk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lututnya, dan kembali menangisi nasib malangnya.Tok ... Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu membuat kesadaran Utari kembali. Terlebih suara yang sangat familiar bagin
Sarah mengacak rambutnya sambil mengerang frustrasi. Kepalanya berdengung sakit ketika memaksakan tubuhnya bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengingat semua kejadian di ruangan kerja Darsa semalam.“Sial! Kenapa Darsa harus pergi menghilang begitu saja! Padahal dia lagi dalam keadaan terbakar gairah. Harusnya dia meminta bantuan padaku,” dengus Sarah yang menggeram marah.Memang benar Darsa menghilang tanpa jejak ketika ia izin ke toilet. Sampai acara puncak di ruangan itu pun dia tetap tidak kembali. Dan akhirnya, Sarah harus menanggung malu dan kekalahan atas taruhannya pada dirinya sendiri bahwa Darsa masih bisa ditaklukkan oleh pesonanya.“Kalau berakhir kayak gini sama saja aku yang rugi!” decak Sarah yang masih tidak terima dengan kekalahannya.Sarah pun lantas keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju ke dapur untuk mengambil minum.Ruang tamu rumah Indri -ibunya Darsa- sudah kembali rapi dan bersih berkat p
Bab 17.Utari mengambil semua pakaian yang sedang di jemur. Teriknya matahari membuat Utari kegerahan. Terlebih ranjang pakaian bersih yang terlihat besar menutupi tubuh Utari.“Bagaimana Darsa? Apa ‘kah rumah kamu yang ada di sana sudah selesai di bangun?”Langkah kaki mungil milik Utari terhenti. Ia tidak sengaja mendengar suara Nyonya besar yang sedang berbicara dengan Tuan Darsa. Meski Utari tahu menguping adalah sebuah kesalahan, tetapi Utari merasa perlu mendengarkan percakapan mereka berdua.“Mah, mamah tenang saja. Saya sudah menyiapkan semuanya di rumah itu. Lagian renovasinya sudah selesai lama. Mamah tidak usah khawatir. Secepatnya saya bersama istri saya akan pindah,” ucap Darsa dengan tenang penuh dengan kejelasan.“Mamah tahu soal itu, Darsa. Tapi Mamah enggak mau istri kamu itu menunda momongan lagi. Sudah hampir lima tahun pernikahan kamu berjalan, tapi sampai sekarang belum juga dapat momongan,&r
Bab 16.Sinar matahari yang sangat menyorot terik membuat tubuh atletik milik Darsa semakin berkilau karena keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.“Huh, sudah berapa lama saya enggak olahraga lagi? Padahal cuma baru setengah jam saja napas saya sudah ngos-ngosan,” gumam Darsa yang mendesa lelah.Darsa menyeka keringat di wajahnya menggunakan handuk kecil yang terlampir di bahunya. Tidak sengaja, mata Darsa bertemu dengan bokong Utari yang seksi.“Pagi-pagi sudah disuguhkan pemandangan yang luar biasa sempurna nan indah,” decak Darsa sambil menggelengkan kepalanya pelan dengan senyuman culasnya.Karena tidak mau membuang waktu lama, Darsa langsung menghampiri Utari yang sedang sibuk menyirami tanaman milik ibunya.“Ehem!” Darsa berpura-pura batuk untuk mengalihkan fokus Utari.“Eh, Tuan Darsa. Ada apa ya, Tuan?” tanya Utari terkejut, buru-buru ia menaruh selang di atas tanah.&l
Prang ...! Nampan yang dipegang Utari sontak terjatuh ke lantai ketika mata sucii Utari benar-benar melihat belalai panjang, besar, dan berurat milik Darsa. "Utari!" *** Kedua mata Utari terpejam sangat erat sekali dengan kedua tangan saling meremas sisi samping bajunya untuk mengurangi rasa takut, cemas, dan juga malu. Sarah langsung naik ke daratan guna mengambil handuk untuk suaminya, sedangkan Darsa hanya menenggelamkan dirinya di dalam kolam renang agar mata Utari tidak lagi jelalatan. "Pakai ini, Mas." Sarah memberikan baju handuk tersebut kepada Darsa. Dengan gerakan cepat Darsa naik ke atas daratan dan juga langsung memakai baju handuk itu untuk menutupi tubuhnya. Kali ini, Sarah menatap tajam ke arah Utari. "Heh, Utari! Siapa yang suruh kamu ke sini, hah! Pasti kamu sengaja kan ganggu kegiatan kami berdua!" tuduh Sarah dengan suara menggeram marah. Utari menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak, Nyonya. S