Share

Bab 3. Rencana Ajeng

"Sayang, kenapa kamu menghindar terus, hem? Kita enggak akan melakukan hubungan suami istri sekarang juga sebelum saya mengucapkan ijab qobul,” ucap Somat dengan suara mendayu dilembut-lembutkan.

Tangan Utari semakin mencengkram kuat kaos usang yang dipakainya. Apalagi tatapan cabul dari juragan Somat mampu membuat harga diri Utari hancur berkeping-keping.

“Kayaknya saya perlu belikan kamu jamu untuk membesarkan dua gunung kembar kamu itu. Saya lebih suka yang besar dari pada kecil seperti milik kamu itu,” ungkap Somat yang semakin mencabuli Utari dengan kata-kata kotornya.

Utari masih membungkam mulutnya rapat-rapat.

“Ayolah, Utari. Keluarkan suara merdu kamu itu,” rayu Somat sambil mengelus pipi Utari dengan gerakan seduktif.

“Jangan sentuh saya, juragan!” sentak Utari dengan suara bergetar.

“Kamu ini kenapa, sih? Suka menolak sentuhan dari saya, hah!” bentak Somat yang merasa tersinggung.

Tubuh Utari bergetar hebat karena ketakutan. Kepalanya semakin menunduk dan bibirnya juga semakin digigit kuat oleh Utari.

“Nanti malam saya enggak akan tanggung-tanggung lagi untuk membuat kamu menjerit kesakitan, Utari!” ancam Somat tegas dengan rahang gempalnya yang mengetat.

“Persiapkan diri kamu dari sekarang, Utari! Karena nanti malam kamu saya akan kawinkan!” titah Somat tak bisa dibantah. 

Tubuh mungil Utari langsung luruh ke lantai. Tangisannya yang ditahan dari tadi akhirnya pecah juga.

“Ampun, Gusti. Salah Utari apa sampai mempunyai takdir seperti ini,” ucap Utari di sela-sela tangisannya.

***

Ajeng mengikuti langkah kaki istri kedua dari juragan Somat dengan lamat. Kepalanya terus menunduk, tangannya pun saling meremas cemas.

“Izin bertanya nyonya, Mbak Utari apakah sudah makan?” tanya Ajeng seperti suara bisikan.

Dena, yang sebagai istri kedua dari juragan Somat, langsung menghentikan langkahnya. Lalu, berbalik badan guna menatap sengit Ajeng.

“Heh, bocah miskin! Kamu kira mbak kamu itu sepenting apa sampai saya harus memberikannya makan, hah!” sentak Dena kasar.

“Maaf, Nyonya. Saya hanya bertanya saja, jika Nyonya tidak ingin menjawab tidak apa-apa, kok,” ucap Ajeng mencicit seperti tikus terjepit.

“Awas kamu kalau tanya-tanya lagi sama saya!” ancam Dena melototkan matanya garang.

Ajeng hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan tanpa bisa membalas ancaman dari Dena.

Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan mereka menuju ke arah kamar Utari. Meski berulang kali terdengar cibiran dari bibir Dena. 

Sesampainya mereka di depan pintu kamar Utari. Dena langsung mendorong kasar bahu Ajeng dan menyuruhnya masuk ke dalam.

“Jagain Mbak kamu yang jalang itu, Ajeng! Awas saja kalau dia kabur dari sini, kamu dan bapak kamu yang akan menjadi jaminannya!” ancam Dena tidak main-main.

“Iya, Nyonya,” balas Ajeng dengan suara pelan.

Sebelum masuk ke dalam, Ajeng mengetuk pintu tiga kali.

Tok ... Tok ... Tok ...

“Mbak Utari, ini Ajeng. Ajeng boleh masuk enggak ke dalam?” tanya Ajeng berseru.

“Masuk saja, Dik. Pintunya tidak dikunci,” sahut Utari yang suaranya terdengar serak.

Buru-buru Ajeng masuk ke dalam, sebelum menutup pintunya rapat-rapat. Kepala Ajeng menoleh kanan-kiri melihat keadaan sekitarnya. Kemudian, Ajeng dengan berani mengunci pintunya dari dalam.

“Mbak Utari, maafkan Ajeng yang enggak bisa nolongin Mbak Utari.” Ajeng langsung bersimpuh di bawah kaki Utari.

Dengan lembut Utari mengelus puncak kepala adiknya itu. “Enggak apa-apa, Dik. Memang sudah begini jalan takdir Mbak.”

“Tapi, pasti Mbak tersiksa di sini. Ayo Mbak, kita kabur saja dari kampung ini,” ajak Ajeng yang sudah menangis tergugu.

“Kalau kita pergi, nanti Bapak siapa yang jaga, toh? Kan, Bapak cuma punya kita berdua, Dik,” ucap Utari dengan tegar, meski hatinya sudah menjerit-jerit tersiksa.

“Biarkan saja Bapak tinggal sendirian, asalkan nasib Mbak dan nasib aku enggak diperjualbelikan sama Bapak.”

“Jangan begitu, Dik. Selama ini Bapak yang menerima kita untuk tinggal dari kecil di rumahnya. Sedangkan ibu, selama ini tidak ada kabar sedikit pun.”

Riasan sederhana di wajah Utari sangat membuat Utari semakin dewasa. Apalagi pakaian kebaya khas pengantin cocok membalut tubuh mungil Utari.

“Mbak, sebenarnya aku ke sini mau membantu Mbak kabur dari pernikahan paksa ini,” ungkap Ajeng dengan jujur.

Sontak Utari terkejut bukan main.

“Dek, kamu tahu sendiri 'kan kalau anak buah juragan Somat selalu menjaga ketat rumah ini,” ucap Utari cemas.

“Maka dari itu, Mbak. Aku sudah menyelidiki semuanya. Mbak harus pergi lewat belakang rumah ini menggunakan sepeda milik aku, nanti menembus jalan menuju kota. Mbak harus pergi ke kota untuk menggagalkan pernikahan ini, Mbak,” jelas Ajeng menggebu-gebu.

“Tapi, Dik. Apakah tidak berbahaya?” tanya Utari meragu.

Ajeng menggelengkan kepalanya tegas. “Kalau Mbak mengikuti semua arahan aku, semuanya akan berjalan lancar tanpa terkendali sedikit pun.”

Sebuah handphone genggam jadul diberikan Ajeng kepada Utari. “Bawa ini buat pegangan Mbak nanti. Jangan sampai hilang, karena ini satu-satunya alat komunikasi kita, Mbak."

“Terima kasih, Ajeng. Kamu jaga diri baik-baik di sini. Kalau Mbak sudah sukses di kota nanti, pasti Mbak akan ajak kamu ke sana,” ucap Utari berjanji pada Ajeng. 

“Pokoknya Mbak harus hati-hati nanti. Karena Ajeng sangat sayang sekali sama Mbak, sama seperti ibu kandung Ajeng sendiri.”

***

Halo para pembaca, jangan lupa untuk vote, komen, dan share.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status