"Sayang, kenapa kamu menghindar terus, hem? Kita enggak akan melakukan hubungan suami istri sekarang juga sebelum saya mengucapkan ijab qobul,” ucap Somat dengan suara mendayu dilembut-lembutkan.
Tangan Utari semakin mencengkram kuat kaos usang yang dipakainya. Apalagi tatapan cabul dari juragan Somat mampu membuat harga diri Utari hancur berkeping-keping.
“Kayaknya saya perlu belikan kamu jamu untuk membesarkan dua gunung kembar kamu itu. Saya lebih suka yang besar dari pada kecil seperti milik kamu itu,” ungkap Somat yang semakin mencabuli Utari dengan kata-kata kotornya.
Utari masih membungkam mulutnya rapat-rapat.
“Ayolah, Utari. Keluarkan suara merdu kamu itu,” rayu Somat sambil mengelus pipi Utari dengan gerakan seduktif.
“Jangan sentuh saya, juragan!” sentak Utari dengan suara bergetar.
“Kamu ini kenapa, sih? Suka menolak sentuhan dari saya, hah!” bentak Somat yang merasa tersinggung.
Tubuh Utari bergetar hebat karena ketakutan. Kepalanya semakin menunduk dan bibirnya juga semakin digigit kuat oleh Utari.
“Nanti malam saya enggak akan tanggung-tanggung lagi untuk membuat kamu menjerit kesakitan, Utari!” ancam Somat tegas dengan rahang gempalnya yang mengetat.
“Persiapkan diri kamu dari sekarang, Utari! Karena nanti malam kamu saya akan kawinkan!” titah Somat tak bisa dibantah.
Tubuh mungil Utari langsung luruh ke lantai. Tangisannya yang ditahan dari tadi akhirnya pecah juga.
“Ampun, Gusti. Salah Utari apa sampai mempunyai takdir seperti ini,” ucap Utari di sela-sela tangisannya.
***Ajeng mengikuti langkah kaki istri kedua dari juragan Somat dengan lamat. Kepalanya terus menunduk, tangannya pun saling meremas cemas.“Izin bertanya nyonya, Mbak Utari apakah sudah makan?” tanya Ajeng seperti suara bisikan.
Dena, yang sebagai istri kedua dari juragan Somat, langsung menghentikan langkahnya. Lalu, berbalik badan guna menatap sengit Ajeng.
“Heh, bocah miskin! Kamu kira mbak kamu itu sepenting apa sampai saya harus memberikannya makan, hah!” sentak Dena kasar.
“Maaf, Nyonya. Saya hanya bertanya saja, jika Nyonya tidak ingin menjawab tidak apa-apa, kok,” ucap Ajeng mencicit seperti tikus terjepit.
“Awas kamu kalau tanya-tanya lagi sama saya!” ancam Dena melototkan matanya garang.
Ajeng hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan tanpa bisa membalas ancaman dari Dena.
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan mereka menuju ke arah kamar Utari. Meski berulang kali terdengar cibiran dari bibir Dena.
Sesampainya mereka di depan pintu kamar Utari. Dena langsung mendorong kasar bahu Ajeng dan menyuruhnya masuk ke dalam.“Jagain Mbak kamu yang jalang itu, Ajeng! Awas saja kalau dia kabur dari sini, kamu dan bapak kamu yang akan menjadi jaminannya!” ancam Dena tidak main-main.
“Iya, Nyonya,” balas Ajeng dengan suara pelan.
Sebelum masuk ke dalam, Ajeng mengetuk pintu tiga kali.
Tok ... Tok ... Tok ...
“Mbak Utari, ini Ajeng. Ajeng boleh masuk enggak ke dalam?” tanya Ajeng berseru.
“Masuk saja, Dik. Pintunya tidak dikunci,” sahut Utari yang suaranya terdengar serak.
Buru-buru Ajeng masuk ke dalam, sebelum menutup pintunya rapat-rapat. Kepala Ajeng menoleh kanan-kiri melihat keadaan sekitarnya. Kemudian, Ajeng dengan berani mengunci pintunya dari dalam.
“Mbak Utari, maafkan Ajeng yang enggak bisa nolongin Mbak Utari.” Ajeng langsung bersimpuh di bawah kaki Utari.
Dengan lembut Utari mengelus puncak kepala adiknya itu. “Enggak apa-apa, Dik. Memang sudah begini jalan takdir Mbak.”
“Tapi, pasti Mbak tersiksa di sini. Ayo Mbak, kita kabur saja dari kampung ini,” ajak Ajeng yang sudah menangis tergugu.
“Kalau kita pergi, nanti Bapak siapa yang jaga, toh? Kan, Bapak cuma punya kita berdua, Dik,” ucap Utari dengan tegar, meski hatinya sudah menjerit-jerit tersiksa.
“Biarkan saja Bapak tinggal sendirian, asalkan nasib Mbak dan nasib aku enggak diperjualbelikan sama Bapak.”
“Jangan begitu, Dik. Selama ini Bapak yang menerima kita untuk tinggal dari kecil di rumahnya. Sedangkan ibu, selama ini tidak ada kabar sedikit pun.”
Riasan sederhana di wajah Utari sangat membuat Utari semakin dewasa. Apalagi pakaian kebaya khas pengantin cocok membalut tubuh mungil Utari.
“Mbak, sebenarnya aku ke sini mau membantu Mbak kabur dari pernikahan paksa ini,” ungkap Ajeng dengan jujur.
Sontak Utari terkejut bukan main.
“Dek, kamu tahu sendiri 'kan kalau anak buah juragan Somat selalu menjaga ketat rumah ini,” ucap Utari cemas.
“Maka dari itu, Mbak. Aku sudah menyelidiki semuanya. Mbak harus pergi lewat belakang rumah ini menggunakan sepeda milik aku, nanti menembus jalan menuju kota. Mbak harus pergi ke kota untuk menggagalkan pernikahan ini, Mbak,” jelas Ajeng menggebu-gebu.
“Tapi, Dik. Apakah tidak berbahaya?” tanya Utari meragu.
Ajeng menggelengkan kepalanya tegas. “Kalau Mbak mengikuti semua arahan aku, semuanya akan berjalan lancar tanpa terkendali sedikit pun.”
Sebuah handphone genggam jadul diberikan Ajeng kepada Utari. “Bawa ini buat pegangan Mbak nanti. Jangan sampai hilang, karena ini satu-satunya alat komunikasi kita, Mbak."
“Terima kasih, Ajeng. Kamu jaga diri baik-baik di sini. Kalau Mbak sudah sukses di kota nanti, pasti Mbak akan ajak kamu ke sana,” ucap Utari berjanji pada Ajeng.
“Pokoknya Mbak harus hati-hati nanti. Karena Ajeng sangat sayang sekali sama Mbak, sama seperti ibu kandung Ajeng sendiri.”
***
Halo para pembaca, jangan lupa untuk vote, komen, dan share.
Utari diam-diam sudah melancarkan aksinya dengan berjalan mengendap-endap menuju ke arah belakang rumah juragan Somat. Berbekal handphone butut tanpa aplikasi senter dan juga sepeda rinjing yang besinya sudah berkarat menjadi kendaraan untuk Utari kabur."Pokoknya aku harus pergi dari sini. Dan jangan sampai para anak buah juragan Somat mengetahui rencana aksi kabur aku ini," gumam Utari yang menyemangati dirinya agar tidak takut untuk melancarkan aksinya ini.Kepala Utari celingak-celinguk ke kanan dan kiri. Rok kebaya yang sempit membuat jalan Utari semakin lambat. Selama ini, keadaan masih aman. Namun, dalam beberapa detik semuanya langsung kacau balau."Gue dengar-dengar kalau juragan Somat mau nikahin si Utari cuma mau merasakan keperawanannya itu. Katanya juga sehabis juragan Somat ngambil keperawanannya, Utari bakalan digilir sama pekerja konstruksi yang juga sudah booking sama juragan Somat," ucap seseorang pada temannya dengan suara pe
Sedangkan di lain tempat, Utari sedang berjuang melarikan dirinya dari kejaran anak buah juragan Somat. Kaki mungil Utari pun sudah terasa kebas menggoes pedal sepeda."Astaga, kenapa enggak ada mobil yang lewat pisan, sih," decak Utari menoleh ke kanan dan kiri.Utari sudah sampai jalanan raya besar. Namun, ternyata ekspetasinya tidak sesuai realita.Jantung Utari semakin berdegup kencang. Apalagi pasti anak buahnya juragan Somat sudah dekat menuju ke arahnya."Aduh, ini gimana, nih? Masa sudah capek-capek kabur langsung ketangkep, sih." Utari menggigiti kukunya cemas, dirinya masih duduk di atas sepeda.Percuma jika ia kabur hanya ke kampung sebelah, yang ada malah bertemu juragan baru. Karena wilayah kekuasaan juragan Somat sudah sampai ke kampung sebelah."Utari, jangan kabur kamu!" seru Nirman kembali, ketika jaraknya dengan Utari sudah dekat.Bersamaan itu pula, ada sorot lampu mobil yang tearah ke wajah polos Utari."Alh
Di sepajang jalan, mata tuan Darsa tidak fokus untuk mengemudikan mobilnya. Lirikan ekor matanya selalu tertuju pada bukit kembar dan kulit mulus pada betis yang menggoda milik Utari."Kamu kenapa kabur dari anak buahnya juragan Somat. Bukannya enak ya jadi istri juragan Somat yang kaya raya itu?" tanya Darsa, lagi dan lagi melirik ke arah bukit kembar Utari."Enghhh ... Itu, Tuan." Utari menjeda ucapannya sejenak, karena merasa gugup. "Sebenarnya saya dijual sama Bapak saya ke juragan Somat untuk melunasi hutang," jelas Utari dengan kepala tertunduk malu."Oh, ternyata begitu," sahut Darsa menganggukkan kepalanya pelan."Lalu, tujuan kamu sekarang ke mana?" tanya Darsa lagi pada utari.Utari melirik takut-takut ke arah wajah tampan lelaki matang yang ada di sampingnya itu. "Saya mau ke kota, Tuan," jawab Utari pelan."Waduh, kalau ke kota malam-malam terus sendirian kayak gini berbahaya untuk kamu. Nanti yang ada kamu diperkosa sama o
Mobil yang dikendarai oleh tuan Darsa akhirnya sampai di sebuah villa yang sangat megah dan mewah. Ada gerbang tinggi yang menghalangi masuk ke dalam villa.Dengan gerakan luwes, Darsa mengambil remote control di balik dasboard mobilnya. Kemudian, membuka kaca jendela mobilnya dan langsung menjulurkan tangannya ke luar guna menyatukan sensor yang tertempel di dinding pagar itu."Wah ... Ini villa pribadi milik Tuan?" tanya Utari berdecak kagum menyaksikannya."Iya, ini punya saya. Tapi, sudah lama tidak ditempati. Karena saya terlalu sibuk di luar kota," jawab Darsa sekenanya."Berarti Tuan ini orang kaya juga di kampung ini, ya?" tanya Utari yang semakin tidak mengontrol rasa antusiasnya mengetahui seluk beluk dari seorang Darsa."Enggak juga lah. Saya sama kayak kalian semua, manusia yang membutuhkan sesuap nasi," elak Darsa yang tidak mau mengaku kebenarannya.Utari hanya bisa mengulum senyuman manisnya yang malu-malu."Kalau jaran
Di dalam ruang persegi empat yang lumayan luas dan megah, namun terasa minimalis. Ada Utari yang sedang melihat-lihat isi dari ruang tersebut. Koleksi sabun cair yang beraneka rasa dan masih banyak lagi perlengkapan untuk mandi."Tuan, Utari merasa sedang mimpi melihat kamar mandi orang kaya sebagus kayak gini," ucap Utari terpesona melihat kemewahan yang ditampilkan oleh kamar mandi milik Darsa.Darsa menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu ini norak sekali 'sih, Utari. Masa cuma lihat kamar mandi saja sampai air liur kamu tumpah-tumpah," decak Darsa menunjuk sudut bibir Utari yang basah.Sontak Utari langsung mengelap air liurnya yang keluar dikatakan oleh Darsa."Aduh, maaf banget, Tuan. Kalau sikap Utari bikin Tuan Darsa jijik." Utari membukukan tubuhnya beberapa kali guna meminta maaf pada Darsa."Bukannya saya jijik sama kamu Utari. Melainkan saya merasa rugi kalau air liur kamu terbuang sia-sia," jelas Darsa yang terasa ambigu di
Sepanjang malam sampai pagi, mata Utari masih terjaga dengan segar bisa dibilang mata Utari kuat melotot. Sejak kejadian di dalam kamar mandi bersama tuan Darsa membuat Utari langsung demam tinggi. Sedangkan tuan Darsa tidurnya malah tambah nyenyak setelah memainkan squisi alami milik Utari. "Tuan, kenapa kita berangkatnya pagi-pagi sekali? Memangnya pejalanannya sangat jauh, ya?" tanya Utari masih dalam keadaan ngantuk, melirik kek arah Darsa yang sedang fokus menyetir mobil. Kenapa Utari bertanya sedemikian seperti itu. Karena, mereka berangkat sebeluum matahari terbit. Sehabis shalat subuh Utari bersama Darsa sudah berangkat untuk meeninggalkan kampung tersebut. Dan Darsa pun melupakan janjinya pada anak buah juragan Somay, tentang janjinya yang menyuruh juragan Somat untuk menemuinya pagi hari. "Sangat jauh, Utari. Sudah begitu Mamah saya dari semalam menanyakan saya kenapa membatalkan rencana saya untuk pulang semalam," jawab Darsa yang menjelaskan secar
Suara ketukan di kaca mobil Darsa terdengar nyaring membuat tubuh mereka refleks saling menjauh. Buru-buru Darsa membuka pintunya dengan gerakan yang lumayan tergesa. "Wah, ternyata Tuan Darsa yang ada di dalam. Saya kira tamu nyonya Indri, Tuan," ucap seorang satpam dengan sopan pada Darsa. Darsa menganggukkan kepalanya kaku dengan senyuman canggung. "Iya, Pak Dirman. Saya baru saja ganti mobil, pasti Pak Dirman enggak mengenalinya, kan?" "Hahaha ... Tuan Darsa tahu saja apa yang otak saya pikirkan," ucap Dirman terkekeh geli. Lalu, Dirman melongok kan kepalanya guna melihat Utari. "Tuan, yang di dalam itu siapa, ya? Kok, kayak masih anak-anak, ya?" tanya Dirman penasaran. Darsa menghela napasnya sejenak. Kemudian melirik Utari mengkode gadis itu untuk turun dari mobil. Seakan mengerti kode dari Darsa, Utari langsung turun dari mobil dan menghampiri Darsa. "Kenalkan, Pak Dirman. Ini pembantu baru yang akan berkerja di
Tubuh Darsa dan juga Utari saling menegang di tempat. Refleks mereka berdua saling menjauhkan dirinya masing-masing dengan gerakan cepat. Utari menatap penuh raut pias pada wajah Darsa, sedangkan Darsa sudah menebalkan wajahnya dengan raut wajah yang sangat dingin sekali."Loh, kamu sudah pulang, Sayang?!" tanya Darsa berseru pelan sambil berjalan ke arah sosok wanita yang berusia matang, namun masih sangat terlihat cantik dan anggun."Ih, kok Mas sambutannya begitu, sih. Jangan bilang Mas Darsa enggak senang kalau aku sudah pulang," tuduh wanita cantik itu yang merajuk kesal.Darsa langsung meraup tubuh istrinya itu dengan lembut, lalu mengecup kening istrinya dengan mesra. "Sssttt ... Kamu ini merajuk terus kayak anak kecil saja. Saya enggak akan senang selama kamu pergi jauh dari saya," ucap Darsa yang mencoba menyakinkan istrinya itu.Utari yang masih berdiri mematung di tempat hanya bisa terdiam dengan jari tangan saling bertaut cemas, ketika menyaks