"Saya butuh rahim kamu untuk menampung benih saya, Utari!" ucap Darsa tegas. Utari adalah seorang gadis belia yang dijual sebagai jaminan hutang oleh bapak kandungnya sendiri. Bapaknya Utari yang terlibat banyak hutang pada juragan Somat. Maka, nasib Utari dijual sebagai pemuas nafsu dan istri ketiga dari juragan Somat. Ketika Utari berhasil kabur, namun di hari kemudian ada bencana besar yang menenggelamkan Utari dalam label PELAKOR. Tuan Darsa yang membantu Utari kabur, menjadi titik masalah barunya. Lalu, bagaimana Utari menjalaninya?
View More"Assalamu’alaikum, Mbak Utari,” salam Ajeng kepada kakaknya.
“Wa'alaikum salam, adik Mbak yang cantik,” jawab Utari, yang menghentikan kegiatan menyapunya.
“Mbak Utari enggak sekolah lagi hari ini, ya?” tebak Ajeng.
“Iya, Mbak enggak sekolah lagi untuk hari ini. Karena Mbak dapat kuli di kebun juragan Somat. Dan Mbak juga dapat uang banyak buat beli beras,” tutur Utari sambil mengajak adiknya duduk di depan teras rumahnya.
“Mbak, emang enggak capek kerja sambil sekolah?” tanya Ajeng hati-hati pada kakaknya.
Utari menggelengkan kepalanya tegas. “Mbak enggak akan capek sebelum kehidupan kita bisa berjaya dari kemelaratan kemiskinan seperti ini, Dek.”
Ajeng menatap kakaknya dengan sendu. “Kenapa 'sih kita harus terlahir dari Bapak yang selalu menyusahkan anaknya sendiri?” tanya Ajeng lirih.
“Dek, enggak boleh gitu, ah. Dari pada kita enggak punya Bapak, emangnya kamu mau, hah?”
“Tapi, Mbak. Bapak kita hutangnya banyak ada di mana-mana. Apalagi keadaan ekonomi kita yang melarat kayak gini harus menghidupi Bapak yang selalu berjudi dan berhutang sabu. Padahal sabu-sabu itu haram dikonsumsi, Mbak.”
Utari sangat tahu sekali kecemasan yang selalu melanda adiknya dan juga dirinya sendiri. Mau bagaimana lagi untuk menghindari takdir, sedangkan Utari saja sudah tertulis menjadi tulang punggung keluarganya.
Mempunyai bapak seorang penjudi, pemakai sabu-sabu, dan mempunyai hutang bertumpuk-tumpuk. Membuat Utari tidak bisa berkata-kata lagi. Ibunya yang sudah pergi dua tahun lalu akibat terlalu putus asa menghadapi kelakuan bapak yang sangat di luar batas membuat pukulan telak bagi Utari.
“Asal Mbak Utari tahu, ya. Dari kemarin sore, anak buah juragan Somat selalu mengintai rumah kita, Mbak. Aku takut mereka akan berbuat yang tidak-tidak dengan kita dan rumah ini,” ungkap Ajeng memberitahukan ketakutannya pada Utari.
Hati Utari bergetar sesak mendengar ungkapan dari adiknya. Lantas dirinya memboyong adiknya untuk masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan tumpukan sampah yang belum selesai dibersihkan.
“Mending kamu ganti baju sekarang dan bantu Mbak masak di dapur, ya,” suruh Utari pada adiknya, Ajeng.
Mau tidak mau Ajeng pun menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Mbak.”
Selepas kepergian Ajeng, Utari langsung mengintip keadaan luar di balik gorden. Sebenarnya, Utari sudah mengetahui gelagat aneh yang dilakukan oleh anak buah juragan Somat.
“Semoga kita masih dilindungi oleh Tuhan, Ajeng,” bisik Utari berdoa ketika hatinya dilanda kecemasan.
“Mbak Utari ...! Berasnya ada di mana?!” teriak Ajeng yang mengejutkan Utari.
Buru-buru Utari berjalan ke arah dapurnya sambil membawa seplastik hitam berisi beras seliter.
“Ini, Dek. Masaknya tiga gelas saja dulu, ya. Sisanya kita simpan buat makan besok,” ucap Utari menyerahkan kantong plastik yang berisi beras pada adiknya.
***
“Utari! Cepat kamu keluar!” teriak seorang lelaki paruh baya yang menyelonong masuk ke dalam rumah yang ditinggali oleh Utari.
Utari berjalan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan bapaknya yang sedang dilanda amarah.
“Ada apa, Pak?” tanya Utari takut-takut.
“Nih, buruan pakai. Nanti kamu ikut Bapak ke juragan Somat! Mumpung kamu masih gadis. Biar Bapak gadaikan kegadisan kamu buat bayar hutang ke juragan Somat” titah Saman, ayahnya Utari.
“Buat apa, Pak. Utari enggak mau disuruh jual kegadisan Utari sama juragan Somat!” tolak Utari mentah-mentah.
“Heh, kamu siapa yang suruh nolak perintah saya, hah! Enggak ada yang bisa nolak perintah saya di sini selagi kamu masih tinggal di rumah saya!” bentak Saman yang sudah gelap mata.
“Bapak, Utari enggak mau bertemu dengan juragan Somat. Utari masih sekolah. Hutang yang Bapak pinjam, lebih baik Bapak sendiri yang bayar. Utari sudah enggak sanggup kerja sambil sekolah.”
Saman langsung mengambil sapu yang tergeletak di samping pintu rumahnya. Dengan sekali hentakan, sapu tersebut sudah mendarat di tubuh mungil Utari.
Bughh ...!
“Mentang-mentang lo gue sekolahin, tapi lo malah suka melawan gue! Nyesel gue enggak nyuruh tuh lonte buat merawat lo saja!” omel Saman yang masih melayangkan pukulan-pukulannya di punggung Utari.
“Ampun, Pak. Sakit banget, sudah jangan pukul Utari lagi,” mohon Utari pada Saman.
Ajeng yang diam-diam melihat pertengkaran bapaknya dengan kakaknya hanya bisa mengintip bersembunyi di balik gorden kamarnya.
“Makanya, kalau gue bilang jual anu lo sama pekerja proyek didengerin, Utari! Hidup kita enggak akan melarat kayak gini. Mending lo jajakan anu lo yang masih sempit itu ke juragan-juragan di kampung kita dari pada lo sekolah enggak jelas itu!” cecar Saman yang menoyor kepala Utari gemas akan otak sok suci milik anaknya itu.
“Tapi, Pak. Utari enggak mau jadi wanita begitu. Utari enggak mau mengikuti jejak ibu, Pak. Harusnya Bapak yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga, bukan Utari, Pak!” seru Utari yang sudah berderai air mata.
“Heh, bocah bau kencur kayak lo emangnya tahu apa, sih! Dari pada hidup susah, mending lo nikah sama juragan Somat!” bentak Saman.
“Utari enggak mau, Pak! Bapak saja sana yang jual diri!” teriak Utari dengan suara lantang.
“Sialan, lo! Dasar anak enggak tahu di untung. Hidupnya bikin susah gue mulu lo!” balas Saman yang juga ikut berteriak.
Utari pun pasrah tidak bisa melarikan dirinya ketika Saman, bapaknya sendiri menganiaya dirinya dengan brutal. Meskipun percekcokan mereka didengar oleh tetangga, tetap saja tetangga seakan menulikan telinga mereka.
***Halo, jangan lupa coment, vote, dan share.
Di sebuah Villa keluarga Munthe.Utari ingin memberitahukan kepada Samu tentang kabar ini. Namun, Utari harus mengumpulkan keberanian untuk menelepon Darsa.Dalam lima detik, panggilannya ditolak. Karena itu, Utari hanya bisa mengirim pesan dengan takut-takut untuk memberitahunya bahwa dia memiliki sesuatu untuk dikatakan dan berharap Darsa bisa pulang malam ini.Pernikahan mereka sekarang sedang jalan menuju satu bulan, namun Darsa tidak pernah menghabiskan malam di rumah. Utari akan selalu sendirian di kamar tidur, dan Utari tahu betul di mana Darsa menghabiskan malamnya.Darsa tidak mengangkat teleponnya juga tidak membalas pesannya. Karena itu, hati Utari menjadi resah karena dia tahu Darsa tidak akan pulang malam ini juga.Utari pun beranjak dari duduknya untuk mandi. Setelah itu hendak beristirahat. Namun, ketika pintu dibanting hingga terbuka lebar membuat Utari mengur
Gemercik suara air yang bertabrakan dengan lantai menjadi pengiring irama di sela-sela tangisan Utari. Tubuh mungil nan rapuhnya bergetar hebat menahan dingin dan kehancuran secara bersamaan.“Hiks ... Kenapa harus aku yang mengalami semua ini ...!” jerit Utari frustrasi yang tertelan dengan kehancuran hati dan fisiknya.“Kenapa semua orang selalu enggak percaya sama aku? Padahal aku sudah berkata dengan sejujurnya,” lirih Utari yang menangis pilu sambil menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.Tubuh Utari pun perlahan merosot begitu saja di lantai. Membiarkan tubuhnya terus-menerus dihujami oleh rintikan air dari shower. Ia menekuk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lututnya, dan kembali menangisi nasib malangnya.Tok ... Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu membuat kesadaran Utari kembali. Terlebih suara yang sangat familiar bagin
Sarah mengacak rambutnya sambil mengerang frustrasi. Kepalanya berdengung sakit ketika memaksakan tubuhnya bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengingat semua kejadian di ruangan kerja Darsa semalam.“Sial! Kenapa Darsa harus pergi menghilang begitu saja! Padahal dia lagi dalam keadaan terbakar gairah. Harusnya dia meminta bantuan padaku,” dengus Sarah yang menggeram marah.Memang benar Darsa menghilang tanpa jejak ketika ia izin ke toilet. Sampai acara puncak di ruangan itu pun dia tetap tidak kembali. Dan akhirnya, Sarah harus menanggung malu dan kekalahan atas taruhannya pada dirinya sendiri bahwa Darsa masih bisa ditaklukkan oleh pesonanya.“Kalau berakhir kayak gini sama saja aku yang rugi!” decak Sarah yang masih tidak terima dengan kekalahannya.Sarah pun lantas keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju ke dapur untuk mengambil minum.Ruang tamu rumah Indri -ibunya Darsa- sudah kembali rapi dan bersih berkat p
Bab 17.Utari mengambil semua pakaian yang sedang di jemur. Teriknya matahari membuat Utari kegerahan. Terlebih ranjang pakaian bersih yang terlihat besar menutupi tubuh Utari.“Bagaimana Darsa? Apa ‘kah rumah kamu yang ada di sana sudah selesai di bangun?”Langkah kaki mungil milik Utari terhenti. Ia tidak sengaja mendengar suara Nyonya besar yang sedang berbicara dengan Tuan Darsa. Meski Utari tahu menguping adalah sebuah kesalahan, tetapi Utari merasa perlu mendengarkan percakapan mereka berdua.“Mah, mamah tenang saja. Saya sudah menyiapkan semuanya di rumah itu. Lagian renovasinya sudah selesai lama. Mamah tidak usah khawatir. Secepatnya saya bersama istri saya akan pindah,” ucap Darsa dengan tenang penuh dengan kejelasan.“Mamah tahu soal itu, Darsa. Tapi Mamah enggak mau istri kamu itu menunda momongan lagi. Sudah hampir lima tahun pernikahan kamu berjalan, tapi sampai sekarang belum juga dapat momongan,&r
Bab 16.Sinar matahari yang sangat menyorot terik membuat tubuh atletik milik Darsa semakin berkilau karena keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.“Huh, sudah berapa lama saya enggak olahraga lagi? Padahal cuma baru setengah jam saja napas saya sudah ngos-ngosan,” gumam Darsa yang mendesa lelah.Darsa menyeka keringat di wajahnya menggunakan handuk kecil yang terlampir di bahunya. Tidak sengaja, mata Darsa bertemu dengan bokong Utari yang seksi.“Pagi-pagi sudah disuguhkan pemandangan yang luar biasa sempurna nan indah,” decak Darsa sambil menggelengkan kepalanya pelan dengan senyuman culasnya.Karena tidak mau membuang waktu lama, Darsa langsung menghampiri Utari yang sedang sibuk menyirami tanaman milik ibunya.“Ehem!” Darsa berpura-pura batuk untuk mengalihkan fokus Utari.“Eh, Tuan Darsa. Ada apa ya, Tuan?” tanya Utari terkejut, buru-buru ia menaruh selang di atas tanah.&l
Prang ...! Nampan yang dipegang Utari sontak terjatuh ke lantai ketika mata sucii Utari benar-benar melihat belalai panjang, besar, dan berurat milik Darsa. "Utari!" *** Kedua mata Utari terpejam sangat erat sekali dengan kedua tangan saling meremas sisi samping bajunya untuk mengurangi rasa takut, cemas, dan juga malu. Sarah langsung naik ke daratan guna mengambil handuk untuk suaminya, sedangkan Darsa hanya menenggelamkan dirinya di dalam kolam renang agar mata Utari tidak lagi jelalatan. "Pakai ini, Mas." Sarah memberikan baju handuk tersebut kepada Darsa. Dengan gerakan cepat Darsa naik ke atas daratan dan juga langsung memakai baju handuk itu untuk menutupi tubuhnya. Kali ini, Sarah menatap tajam ke arah Utari. "Heh, Utari! Siapa yang suruh kamu ke sini, hah! Pasti kamu sengaja kan ganggu kegiatan kami berdua!" tuduh Sarah dengan suara menggeram marah. Utari menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak, Nyonya. S
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments