Kini, Yoshiro berdiri diam di samping ranjang rumah sakit. Menatap ke arah wajah ibunya yang sedang tertidur pulas dengan bagian tangan terpasang infus.
Wajah keriput, tubuh yang kurus kering, dan rambut yang sudah penuh dengan uban. Benar-benar tidak enak untuk dipandang. Setiap Yoshiro menatap wajah Sheila, Yoshiro merasa bahwa ia harus pergi. Menuju ke tempat di mana ia bisa menghasilkan banyak uang dan membayar segala pengobatan ibunya. "Apa kamu tidak berangkat ke sekolah lagi? Bukankah saat ini seharusnya kamu berada di sekolah?" tanya Sheila membuka mata dan menatap Yoshiro. "Aku ke sekolah. Hanya saja pulang lebih awal. Guru mengatakan bahwa mereka akan rapat dan para murid bisa pulang lebih dulu," bohong Yoshiro. "Jangan seperti itu. Sekolah itu penting. Ibu tidak masalah jika harus berada di rumah sakit sendiri. Masa depanmu lebih penting. Ibu tidak mau anak Ibu dikeluarkan dari sekolah hanya karena sering tidak masuk kelas." "Aku tidak berbohong." "Lucu sekali. Ibu sudah berada di dekatmu sejak kamu lahir. Ibu mengawasimu sejak kamu ada di dunia ini. Mana mungkin Ibu tidak sadar saat kamu sedang berbohong." Yoshiro sudah lama sekali tidak pergi ke sekolah. Bahkan Yoshiro lupa kapan terakhir kali ia duduk di bangku sekolahnya. Yoshiro terus berpergian ke sana ke mari mencari pekerjaan sampingan. Dan melakukan 'aksi' di setiap matahari terbenam. Hanya untuk membayar biaya rumah sakit Sheila. "Oh, iya. Ibu baru ingat. Sepertinya kamu belum pernah membawa temanmu untuk menemui Ibu. Sesekali ajak mereka ke mari. Ibu mau berbicara dengannya," ujar Sheila tersenyum ke arah Yoshiro. "Aku akan membawanya jika aku ingat," balas Yoshiro memalingkan wajahnya. "Kamu selalu menggunakan alasan itu untuk menghindar. Bukankah seharusnya tidak masalah jika kamu membawa satu temanmu ke sini dan membiarkannya berbicara dengan Ibu?" "Aku akan membawanya jika aku bertemu dengannya." Sheila menghela nafas. Yoshiro mengubah alasannya dengan tujuan yang sama. Tidak akan membawa temannya ke hadapan Sheila. "Bagaimana dengan pekerjaan paruh waktumu? Apakah itu tidak masalah? Bukankah itu akan mengganggu waktu belajarmu?" "Tidak masalah. Lagipula aku melakukan pekerjaan paruh waktu itu untuk diriku sendiri. Aku bisa belajar saat jam istirahat. Dan nilai pelajaran ku pun masih sama seperti dulu." Yoshiro adalah murid yang jenius. Yoshiro selalu mendapatkan peringkat pertama di semua ujian yang diadakan. Hanya saja semua itu berubah semenjak Sheila harus dirawat karena tumor otak yang dideritanya. Ayah Yoshiro sudah tiada. Hanya Yoshiro yang bisa mencari uang untuk menutupi biaya rumah sakit Sheila. Maka dari itu, Yoshiro melepaskan seragam sekolahnya dan mulai bekerja paruh waktu di segala tempat yang memerlukan tenaga karyawan tambahan. "Apakah kamu bertengkar lagi dengan temanmu? Akhir-akhir ini kamu selalu datang dengan wajah babak belur," tanya Sheila menunjuk ke arah wajah Yoshiro. "Tidak juga. Ini bekas pertengkaran yang dulu. Belum hilang," balas Yoshiro. "Jangan bertengkar, Yoshiro. Ibu tidak mau melihat anak Ibu satu-satunya menggunakan tangannya untuk melukai orang lain." "Aku tidak akan bertengkar selama tidak ada yang menggangguku. Aku tau itu. Jadi jangan terus memberitahuku. Aku sudah mulai bosan mendengar itu." "Baiklah. Baiklah. Anak Ibu sekarang sudah mulai dewasa ternyata." "Aku sudah besar sejak lama. Apakah kamu tidak menyadarinya?" "Bagaimana mengatakannya? Di mata Ibu, kamu tetap anak kecil yang sama dengan anak kecil dulu Ibu awasi saat sedang berlatih berjalan. Dan sampai kapan pun juga, di mata ibu, kamu tetaplah anak kecil." Mata Yoshiro mulai memanas mendengar itu. Yoshiro sudah benar-benar tidak bisa lagi bertahan di sana lebih lama lagi. "Aku akan menemui dokter. Tunggulah di sini sebentar lagi," balas Yoshiro berbalik badan. "Yoshiro," panggil Sheila. "Kenapa?" tanya Yoshiro masih dalam keadaan membelakangi Sheila. "Jaga dirimu dan makanlah dengan baik." "Ibu sudah mengatakan itu berulang kali." "Ibu hanya ingin mengatakannya lagi." Yoshiro diam. Ada banyak sekali pantangan yang dilanggar oleh Yoshiro. Dan mengenai makan, Yoshiro benar-benar sering melupakan itu. "Jika aku menemukan uang lebih di kantongku, aku akan membeli bubur dan ayo makan bersama," ujar Yoshiro memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong. "Iya, ayo kita makan bersama setelah ini," balas Sheila tersenyum lebar. "Tunggulah sebentar lagi. Aku pasti akan mendapatkan banyak uang dan ibu melakukan operasi." Yoshiro keluar dari ruangan setelah mengucapkan itu. Meninggalkan Sheila. Dengan mata yang masih mulai memanas. Dan Yoshiro berusaha sebisa mungkin untuk tidak meneteskan air mata. Sheila adalah alasan utama bagi Yoshiro untuk melakukan segala hal yang bisa menghasilkan uang. Entah itu dengan cara lembut. Maupun dengan cara kasar.Hanya saja, saat Yoshiro merogoh sakunya, kartu nama pria asing itu tak sengaja terpegang.
Sheila menggaruk keningnya saat melihat ada banyak sekali laporan perusahaan yang menumpuk di meja kerjanya. Sheila sudah bergabung dengan perusahaan milik Keluarga Olivia semenjak keberangkatan Yoshiro ke Jepang sebelas tahun lalu.Selama sebelas tahun itu, Yoshiro dan Ivona selalu menyempatkan waktu untuk kembali dan menemui Sheila. Namun satu tahun ke belakangan ini kedua orang itu sama sekali tidak memberikan tanda-tanda bahwa akan kembali. Membuat Sheila sedikit takut jika seandainya ada sesuatu yang buruk terjadi pada mereka.Perhatian Sheila teralihkan saat mendengar ada suara ketukan pintu. Ia merasa malas karena ia yakin itu adalah salah satu bawahannya yang membawa dokumen untuk diperiksa."Masuk," ujar Sheila dengan suara lemas.Pintu terbuka. Namun tidak terlalu lebar. Sheila memandangi pintu itu, bertanya-tanya siapakah orang yang sedang mengerjainya. Serena? Tidak, Sheila yakin itu bukan Serena. Karena pada jam seperti sekarang, Serena masih berada di universitas dan bar
Yoshiro dan Ivona sudah berada di Jepang selama beberapa minggu. Dan mereka lebih sibuk dari biasanya. Bahkan Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah. Namun semuanya mulai membaik setelah dua minggu berlalu.Ivona sudah mulai bisa bernafas lega dan pulang ke rumah lebih awal. Sedangkan Yoshiro juga sudah mulai berhasil mengikuti lebih banyak kelas di universitas tempatnya berkuliah.Seperti saat ini, Yoshiro dan Ivona sedang berada di cafe kecil. Ivona menikmati kopi hitam. Dan Yoshiro menikmati minuman cokelat hangat."Aku akan mulai menyerahkan tanggung jawab beberapa perusahaan pada CEO yang aku tunjuk mulai minggu depan. Jadi kemungkinan aku akan memimpin satu perusahaan utama dan hotel yang kamu pegang sekarang," ujar Ivona memegang gelas kopinya dengan kedua tangan untuk memastikan seberapa panas kopi itu."Aku rasa tidak masalah jika aku yang masih memimpin hotel itu. Lagipula membiarkanmu bekerja sendiri, itu tidak masuk di akalku. Lebih baik kamu me
Yoshiro menghela nafas sambil memandang ke arah pantai. Ia melepaskan segala penatnya setelah selama seminggu dirinya harus fokus pada ujian akhir sekolahnya. Dan kini ia sudah berhasil melewati itu semua. Hanya sisa pengambilan berkas nilai. Lalu acara kelulusan siswa.Pandangan Yoshiro teralihkan dari ombak pantai saat melihat sebuah mobil putih menuju ke arahnya dan berhenti tepat di hadapan mobilnya. Pemilik mobil itu keluar. Kening Yoshiro mengkerut. Ia mengenal siapa perempuan itu. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah kenapa perempuan itu ada di sini? Bukankah seharusnya perempuan itu berada di kantor untuk menyelesaikan tugasnya?Ivona Olivia. Pemimpin Keluarga Olivia yang sebentar lagi akan berpindah ke Jepang untuk membangun beberapa perusahaan baru bersama Yoshiro."Apakah ada masalah?" tanya Yoshiro menghadap Ivona."Tidak ada. Aku sempat melacak mobilmu dan melihatnya menuju ke arah pantai. Aku berpikir bahwa kamu sedang bersama seseorang di sini. Jadi aku ke mari,"
Yoshiro terkejut saat Ivona datang ke kantornya dan masuk ke dalam ruang kerjanya. Perempuan itu masih menggunakan setelan jas berwarna hitam. Menandakan bahwa perempuan itu langsung menemuinya setelah melakukan rapat penting di kantor utama. "Kenapa?" tanya Yoshiro bangkit dari kursi kerjanya."Tidak ada. Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Kita sudah lama tidak makan bersama bukan?" jawab Ivona menutup pintu."Bukankah akan menjadi masalah jika ada orang yang melihat kita bersama?""Kita makan di sini. Aku sudah memesan makanan. Dan akan diantar oleh Yuri.""Kenapa tidak makan nanti setelah pulang dari kantor saja?""Aku ingin makan sekarang. Kenapa? Apakah tidak boleh?""Boleh."Ivona duduk di sofa. Lalu Yoshiro pun duduk di samping Ivona. Ivona merangkul tangan Yoshiro. Dan menyandarkan kepalanya pada bahu Yoshiro."Aku belum membelikanmu hadiah ulang tahun. Kemarin pun tidak sempat merayakannya karena kamu pulang tengah malam," ujar Ivona."Tidak masalah. Kita sudah sama-sam
Yoshiro berjalan mengendap-endap saat memasuki kamar. Karena ia melihat ada tubuh Ivona terbaring di atas kasurnya. Ia tidak mengerti mengapa perempuan itu akhir-akhir ini lebih sering tidur di kamarnya. Namun itu jelas-jelas membuatnya tidak memiliki banyak ruang.Secara hati-hati, Yoshiro melepas jas dan sepatunya. Lalu duduk di kasur secara perlahan supaya tidak membuat kasur bergoyang. Namun tiba-tiba saja tubuh Ivona bangkit dan membuat Yoshiro terkejut."Kenapa kamu baru pulang?!" tanya Ivona dengan nada keras."Aku bertemu dengan teman lamaku. Bukankah aku sudah mengirim pesan tadi?" balas Yoshiro dengan nada lemah karena takut."Kamu hari ini ulang tahun! Kenapa kamu tidak bertemu dengan temanmu besok atau lusa saja?! Seharusnya kamu menghabiskan hari ini bersamaku!""Aku tidak pernah merayakan hari ulang tahunku. Aku pikir tidak ada perayaan spesial hari ini. Dan aku pikir kamu tidak tau. Jadi aku minum bersama temanku sepulang kerja.""Kamu minum?""Sedikit.""Berapa orang?"
Keenan mendatangi club malam yang selalu menjadi tempat berkumpulnya dengan anggota kelompok White Owl. Ia datang bukan untuk bertemu dengan client yang ingin menyewa jasa kelompoknya. Melainkan karena ia mendapatkan kabar bahwa ada seorang laki-laki mengamuk di bar dan menghantam seluruh orang termasuk seluruh anggota White Owl yang sedang asik berdansa di sana.Saat memasuki club, sama sekali tidak ada suara musik terdengar. Bahkan tidak ada suara-suara orang. Benar-benar senyap. Saat Keenan mulai masuk lebih dalam, Keenan bisa melihat ada banyak sekali orang terkapar di lantai dengan luka memar dan beberapa bagian wajah mengeluarkan darah. Di antara semua orang yang jatuh pingsan itu, ada seorang laki-laki menggunakan jas sedang duduk di kursi meja bar. Dengan gelas kecil dan sebotol minuman beralkohol."Apa kamu ke sini untuk membunuhku?" tanya Keenan pada laki-laki itu.Remaja itu memutar badannya. Dan saat itu Keenan bisa melihat jelas sosok laki-laki yang telah mengacaukan mar