Happy Reading
*****"Mas, jangan salah paham dulu. Aku beneran nggak ada perasaan apa pun sama dia." Hanum berusaha memegang tangan Aryan. Sungguh, perempuan itu begitu takut jika lelaki yang dekat dengannya kini salah paham.Masih dengan wajah marah dan tidak suka ketika Hanum membela Dirga, Aryan berkata, "Jangan pernah lagi menceritakan tentang semua kebaikan Dirga di depan, Mas. Kamu tidak mengenal hatinya."Meski tidak setuju dengan pendapat lelaki di sebelahnya, Hanum memilih menganggukkan kepala. Sepanjang perjalanan yang tidak diketahui ke mana akan di bawa, Hanum dan Aryan saling diam. Hingga lelaki itu menghentikan mobilnya di pelataran sebuah rumah."Mas ini di mana?" Hanum mengedarkan pandangan pada bangunan indah di depannya. Sebuah rumah bergaya modern dengan pemandangan pantai di kanan kirinya. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam tidak terasa."Ayo turun. Kamu akan tahu di mana tempat ini berada."Seseorang telah membukakan pintu pagar, Aryan memasukkan kendaraannya di parkiran sisi kiri halaman rumah tersebut. Berdua berjalan beriringan, Hanum mengedarkan pandangan ke segala arah.Semakin melangkahkan kaki masuk, hunian itu makin terlihat memukau. Hijaunya rerumputan terlihat dengan sangat jelas. Ketika Aryan menarik kelambu dan membuka pintu samping. Maka, mata Hanum dimanjakan oleh pasir putih pantai yang tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis itu bahkan menganga dengan mata membuka sempurna. Saking takjub dengan pemandangan yang dilihatnya kini, tanpa sadar dia membiarkan Aryan memeluknya dari belakang. Tidak ada siapa pun di dalam rumah itu. Seorang lelaki yang membukakan pagar tadi tak lagi terlihat."Suka dengan tempat ini?" bisik si lelaki dengan suara begitu merdu didengar oleh Hanum. Helaan napas Aryan bahkan membuat si perempuan meremang."Mass." Tak kalah merdu, Hanum memanggil Aryan bahkan suaranya terkesan begitu manja dan sensual. Si lelaki merasakan panas dalam tubuhnya meningkat ketika mendengar hal itu.Aryan menggiring Hanum untuk duduk di sofa yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Segera membalik tubuh ramping nan mulus milik pegawainya itu hingga keduanya kini saling berhadapan. Hanum duduk dipangkuan sang pewaris tempatnya bekerja karena lelaki itu yang menariknya. Takut jatuh, si gadis mengalungkan kedua tangan di leher Aryan."Maas, aku." Suara Hanum tercekat di tenggorokan karena setelahnya, Aryan menempelkan bibir dengan begitu lembut. Keduanya terbuai beberapa saat hingga pasokan udara hampir habis. Tak ada kata yang terucap, hanya napas yang saling memburu setelah adegan tersebut.Sedikit tersengal, Hanum berkata, "Katanya punya rancangan gaun khusus buat aku. Mana?"Tak ingin kejadian mesra itu terulang lagi, Hanum mengalihkan fokus. Tatapan mata Aryan kian intens dengan kabut gairah di dalamnya. Sungguh, perempuan itu takut jika mereka berdua terjebak dalam gairah yang akan menjerumuskan nantinya.Menempelkan jari telunjuk pada bibir si gadis yang belepotan karena salivanya, Aryan tersenyum. Memindahkan tubuh mungil si gadis ke samping, lelaki itu berdiri dan berjalan menuju sebuah kamar. Namun, baru sampai di depan pintu, tangannya melambai memanggil Hanum."Sini, Sayang. Gaunnya ada di dalam."Ragu-ragu, Hanum menghampiri lelaki yang beberapa bulan ini dekat dengannya. "Harus, ya, Mas. Aku ikut masuk ke sana?""Harus dong, Sayang." Aryan menatap tak percaya pada gadis yang sudah mengoyak hatinya itu. "Apa yang kamu takutkan? Mas tidak akan menyakitimu." Tangan kanannya terulur mengajak Hanum untuk segera masuk."Aku tahu Mas Aryan nggak akan menyakiti. Cuma ...." Kalimat Hanum sengaja dibiarkan menggantung. Tidak etis jika dia melanjutkan mengingat status Aryan sebagai atasannya.Aryan melempar senyum dengan sedikit memainkan mata. "Ayolah, Sayang. Kita hidup di jaman modern. Dua orang dewasa berbeda jenis berada dalam satu ruangan itu sudah biasa. Mas, cuma mau menunjukkan rancangan terbaru yang sengaja dibuat khusus untukmu. Bukan mau macam-macam."Raut kekecewaan sang kekasih jelas terlihat, membuat Hanum tidak enak hati karena ketakutannya tertebak. "Oke ... oke. Aku akan masuk, Mas, jangan cemberut lagi, ya. Tapi, beneran nggak macam-macam. Kita belum punya ikatan halal untuk melakukannya."Aryan tertawa mendengar perkataan gadisnya. Mencubit gemas hidung Hanum. "Jadi, pengen dihalalin, nih?"Hanum menggelengkan kepala. "Masih banyak yang ingin aku raih. Lagian, kita belum lama kenal. Biarkan berjalan seperti ini dulu, ya?"Aryan menyeringai tanpa sepengetahuan Hanum. Tak ingin menunggu waktu lebih lama lagi, dia mengajak gadis itu ke kamar.Begitu pintu dibuka, pandangan Hanum pertama kali jatuh pada gaun berwarna pink yang dipakai oleh manekin. Potongan lehernya cukup rendah dengan belahan dada yang cukup membuat tonjolan setiap wanita akan terlihat menantang. Belum lagi belahan bagian bawah berada di atas lutut.Tentu saja siapa pun yang memakai gaun itu dan memiliki kaki jenjang akan terekspos secara sempurna. Hanum membayangkan jika dirinya yang akan memakai gaun tersebut, tentu banyak pasang mata menatap ke arahnya."Apa itu rancangan untukku, Mas?""Iya. Bagaimana menurutmu?" Aryan berjalan mendekati manekin dan mulai mencopot gaun tersebut. "Coba sekarang. Mas, pengen tahu jika gaun ini melekat di tubuh indahmu, Sayang." Segera memberikan gaun itu setelah berhasil melepasnya.Hanum mengambil gaun dengan kening berkerut karena tangan Aryan aktif mencoba melepas pakaian yang dikenakan olehnya. Namun, hal itu tak lantas membuat Aryan mengurungkan niat untuk mendekap si gadis setelah berhasil membuka satu kancing kemeja.Tangan si lelaki semakin lancar membuka pakaian yang dikenakan, Hanum berusaha menghindar. Namun, kecepatan tangan Aryan tidak bisa diragukan lagi. Sang perempuan tidak bisa menghindar bahkan menjauh.Lelaki itu telah berhasil membuka kemeja dan kini sedang berusaha menurunkan resleting rok yang dikenakan Hanum. Merasa risih karena tak biasa membuka pakaian di depan orang lain, si gadis mulai protes."Mas, biar aku yang mengganti pakaian sendiri. Di mana kamar mandinya?"Tak menggubris perkataan Hanum, Aryan memaksa melepas rok. Tangan yang semula memegang gaun rancangan baru, kini gadis itu lepaskan. Hanum, berusaha melindungi aset tubuhnya yang kini mulai terekspos secara nyata."Mas!" sentak Hanum karena dia tidak terbiasa cuma mengenakan pakaian dalam di depan seorang lelaki. "Jika Mas Aryan nggak membiarkan aku ganti baju di kamar mandi. Mending aku pergi sekarang."Happy Reading*****"Apakah saya harus keluar," tanya Dirga. Dia sendiri bingung harus berbuat apa jika tetap di dalam. Namun, untuk meninggalkan sang istri yang tengah berjuang melahirkan buah hatinya yang diprediksi perempuan, dia tidak sanggup."Sebaiknya di sini saja, Pak. Bu Hanum lebih membutuhkan kehadiran Pak Dirga," ucap sang dokter.Keluar dan memanggil para perawat serta bidan. Beberapa saat kemudian, mereka semua masuk dan langsung menangani Hanum. Dirga bahkan diminta untuk berada di belakang sang istri dan membantu proses persalinan.Tak terhitung berapa banyak ketegangan yang kini dialami lelaki yang akan segera menjadi ayah yang sebenarnya dari putri kandungnya sendiri. Bulir-bulir keringat mulai turun. Andai bisa menggantikan posisi Hanum saat ini, tentu sudah lelaki itu lakukan. Hanum begitu banyak mengeluarkan tenaga demi menghadirkan buah hati mereka ke dunia ini. Kedua tangannya mencengkeram erat pergelangan Dirga hingga lelaki itu juga merasakan kesakitan. Namun
Happy Reading*****"Ma, Bunda kenapa?" tanya Azri yang ikut-ikutan panik ketika mengetahui Hanum memegangi perutnya. Tak jarang wanita berperut buncit itu mendesis kesakitan."Bunda sakit perut, Sayang. Kayaknya dedek mau minta keluar," jelas Sabrina, "Mbak, bisa minta tolong panggilkan orang rumah.""Manggil siapa, Bu?" tanya si Mbak yang membantu menjaga Azri selama Sabrina dinyatakan hamil."Siapa saja boleh. Papa kan selalu ada di rumah. Katakan pada beliau jika Mbak Hanum mulai merasakan sakit perut. Kalau ada Mas Dirga malah lebih bagus."Si Mbak mengangguk. "Bagaimana sama Mas Azri, Bu?""Azri biarkan sama saya dulu. Cepat, Mbak. Kasihan Mbak Hanum. Kita harus bawa dia ke rumah sakit," suruh wanita bercadar tersebut. Melihat si Mbak yang menjaga Azri berlari menuju rumah mereka, Sabrina membawa kakak iparnya untuk duduk. "Sakit sekali, ya, Mbak? Sabar, ya. Bentar lagi Papa atau mas Dirga pasti datang. ucapkan istighfar setiap kali sakitnya terasa," saran Sabrina.Patuh, Hanum
Happy Reading*****Sang dokter cum tersenyum dengan perkataan si sulung. Keluarga Lingga semuanya masuk ke ruang perawatan Sabrina.Perempuan bercadar itu tengah berbaring. Melihat seluruh keluarganya datang menjenguk, senyumnya tampak. Sewaktu diperiksa tadi, Aryan memang membuka cadar yang dikenakan sang istri. "Bagaimana keadaanmu, Yang?" tanya Aryan. mencium kening perempuan yang sudah memberikan begitu banyak kebahagiaan padanya.Sabrina mengambil tangan kanan sang suami, lalu menciumnya penuh hormat dan bahagia. Menatap satu per satu seluruh keluarganya. "Alhamdullilah keadaanku sangat baik, Mas.""Apa kata dokter, Nak?" tambah Septi."Kamu pasti kelelahan menjaga Azri yang sangat aktif. Padahal aku sudah ngasih saran. Sebaiknya, kita nyari orang untuk menemani Azri. Eh, kamu malah nggak mau. Aku jadi nggak enak kalau kamu sampai sakit gini, Bi," kata Hanum. Terlalu lama duduk menyebabkan wanita hamil itu memegang pinggangnya."Aku tidak sakit, lho. Cuma tadi mencium aroma so
Happy Reading *****Secepat mungkin, Aryan menghubungi Dirga dan meminta saudaranya itu menjemput dengan kendaraan roda empat. Papa kandung Azri itu juga meminta si sulung untuk memanggil dokter ke rumah mereka."Ar, kelamaan kalau kita panggil dokter ke rumah. Minta masmu untuk mengantar ke klinik terdekat saja," sahut Septi.Menganggukkan kepala, Aryan meminta Dirga untuk segera datang dan membawa mereka ke klinik terdekat. "Kenapa kamu, Bi. Padahal tadi baik-baik saja," gumam Aryan.Melihat para orang dewasa kebingungan, Azri menarik-narik ujung kaos yang digunakan oleh kakeknya. Mukanya menatap penuh tanya pada Lingga."Mama lagi sakit, Nak. Azri diam dulu, ya. Sebentar lagi, Ayah datang menjemput." Lingga mencoba memberi pengertian pada bocah kecil itu."He em," ucap si kecil sambil menganggukkan kepala.Tak berselang lama, Dirga sudah datang bersama dengan Hanum. Mereka berdua turun dari mobil dan menghampiri Aryan yang sudah mengangkat istrinya di sebuah bangku taman."Kenapa
Happy Reading*****Waktu berjalan begitu cepat, kandungan Melati dan Hanum kini sudah memasuki bulan ke tujuh. Aryan dan keluarga juga sudah kembali ke Indonesia setelah pengobatan panjang yang harus dia jalani.Perlahan, tetapi pasti. Kesehatan suami Sabrina itu berangsur membaik. Aryan sudah mulai hidup normal selayaknya dulu sebelum kecelakaan walau benih yang dihasilkan masih belum bagus. Semua berkat ketelatenan Sabrina. Setiap sesi pengobatan Aryan, perempuan bercadar itu ikut dan bertanya ini itu. Sama sekali tidak malu sekalipun yang perempuan itu tanyakan sedikit vulgar menurut suaminya.Antara bangga dan juga malu, tentu dirasakan Aryan. Mungkin perbedaan kultur yang membuat perempuan itu menjadi lebih terbuka membicarakan masalah seks. Setiap kali sang suami bertanya mengapa dia berani bertanya pada dokter. Jawaban Sabrina adalah karena apa yang ditanyakan bukanlah menjurus pada mesum, tetapi ilmu yang harus dia pelajari demi kesembuhan Aryan.Pagi ini, Aryan berjanji pada
Happy Reading*****Mendapat kabar gembira dari sang istri, Dirga segera menelepon orang tuanya yang masih berada di luar negeri menemani Aryan. Berkali-kali Hanum mendapat selamat dan juga ciuman baik dari ibu, adik maupun sang suami. Mereka semua sangat bahagia mendapat kabar kehamilan perempuan itu.Panggilan terangkat oleh Septi, wajah perempuan paruh baya itu terlihat. "Ya, Mas. Apa kabar? bagaimana keadaan cucu Mama? Apa dia sehat-sehat saja."Selalu saja, para orang tua tiap kali menelepon atau ditelepon pertama kali yang ditanyakan adalah keadaan Azri. sepenting itu memang bocah gembul yang sudah bisa berjalan itu."Azri baik, Ma. Gimana kabar Mama sama Papa?""Papa baik, Mas," jawab Lingga. Wajahnya sudah muncul di layar ponsel milik Septi. "Mas, kameranya arahin ke Azri, dong. kangen nih," sahut Aryan yang hanya terdengar suaranya saja.Dirga mengarah kamera pada Azri yang tengah berjalan dengan ditemani sang adik ipar. bocah gembul itu tertawa-tawa ketika bisa mencapai ad