Share

6. Syok

Happy Reading

*****

"Di mana Aryan, Pak?" tanya Dirga keras pada lelaki berumur lima puluh enam tahun. Dia sudah kehilangan akal untuk menghormati Lingga sebagai atasan karena Hanum.

"Kenapa mencari Aryan? Bukankah kamu tahu di mana dia sekarang dan kenapa kamu membawa Hanum?" Lelaki berkumis dengan kulit sedikit gelap dari Aryan itu berbalik arah dan meninggalkan kedua tamunya.

"Pak, Aryan itu sudah menyakiti Hanum. Dia tidak jujur tentang statusnya saat ini. Apakah Bapak sebagai orang tuanya akan tetap membela Aryan?" kata Dirga tampak marah.

"Kenapa kamu yang repot, Ga? Apakah kamu punya perasaan khusus pada wanita ini? Ayolah, Ga. Dari kecil kamu sudah mengenal Aryan dengan baik. Pasti wanita ini yang merayu lebih dulu." Lingga berkata seolah Hanum tidak ada di hadapannya.

Mata Dirga memerah, kemarahannya sudah mencapai puncak. Jika bukan lebih tua darinya, tentu Lingga sudah mendapat bogeman. Sayangnya, Dirga masih ingat jika lelaki itu lebih tua dan atasannya sehingga, hanya kalimat pedas yang dikeluarkan.

"Apa begini cara orang kaya memperlakukan orang yang berada di bawahnya. Usia saja yang bertambah, tapi otak tetap saja berada di bawah," cibir Dirga cukup keras.

Hanum mulai pusing mendengar perdebatan kedua lelaki di dekatnya. Dia tak pernah mengerti mengapa Dirga sampai berbuat di luar batas seperti ini. Rasanya, kepala Hanum mau pecah saja menyaksikan semua ini.

"Hei, berani kamu datang ke rumah ini dan membentak-bentak suamiku?" kata seroang perempuan yang baru saja bergabung dengan mereka.

Menyipitkan mata, Hanum mulai mencerna perkataan perempuan itu. "Apakah Mas Dirga dan Mas Aryan adalah teman dekat?" kata hati perempuan itu.

"Diam!" bentak Dirga. Dia mulai kehilangan kontrol emosi. Matanya merah menyala, tatapan tajam pada perempuan paruh baya tersebut.

"Hanya, karena perempuan tidak tahu malu ini kamu datang lagi? Begitulah? Bahkan dia tidak pantas untuk kamu bela. Perempuan baik tidak akan pernah mau dirayu oleh lelaki yang sudah berstatus istri."

Jedar....

Kalimat terakhir yang diucapkan perempuan paruh baya itu bagai samurai yang membelah jantung Hanum. Patah tak berbentuk seketika. Pandangan perempuan mulai menggelap seiring tubuhnya yang meluruh ke lantai.

Ketiga orang tersebut panik, Dirga segera membawa si model ke kamar sesuai perintah sang atasan sebagai pemilik rumah.

Entah berapa lama, berada di kamar tersebut. Hanum mulai tersadar saat aroma minyak kayu putih tercium menyengat pada inderanya. Samar-samar pertengkaran antara Dirga dengan seseorang juga terdengar. Sudah dipastikan bahwa orang tersebut adalah Pak Lingga, pemilik usaha tempatnya bekerja. Namun, mengapa perdebatan mereka belum juga selesai sejak tadi.

Menurut Hanum, Dirga hanyalah karyawan biasa di garment walau jabatannya sebagai kepala produksi. Andai pun, lelaki itu adalah sahabat Aryan, tak seharusnya berkata kasar seperti tadi. Jika sampai Pak Lingga marah dan tidak terima dengan sikap arogan sang kepala produksi, tentunya pekerjaan sebagai jabatan yang dipegang sekarang akan terancam.

Memikirkan semua hal itu membuat Hanum bangkit. Tertatih dia melangkah keluar kamar mendekati sumber suara. Kepala yang masih terasa berat dan tubuh lemah tak lagi dipedulikan. Dia takut jika Dirga akan terkena masalah hingga dipecat dari pekerjaannya.

Letak kamar yang tidak begitu jauh dari tempat kedua orang yang berdebat itu memudahkan Hanum untuk cepat sampai di hadapan mereka.

"Mas Dirga," panggil Hanum. Berpegangan pada tembok, dia berjalan lebih dekat pada Dirga dan juga atasannya yang tengah duduk di sofa. Ada juga seorang perempuan paruh baya yang perkataannya tadi sempat mengguncang tubuh Hanum. Dia adalah Septi Ningrum, istri dari Lingga dan juga ibunya Aryan.

"Tolong hentikan semua perdebatan ini. Nggak baik, Mas Dirga menyalahkan Pak Lingga yang nggak tahu masalahku dengan Mas Aryan."

Perempuan di sebelah Lingga, melirik Hanum sinis. Terlihat sekali jika dia tidak menyukai gadis yang memanggil Dirga tadi.

"Kamu sumber masalah. Harusnya kamu tidak mendekati anak saya hingga membuat Dirga marah pada suami saya. Apa kamu tidak tahu jika Aryan itu sudah memiliki istri? Kenapa masih nekat mendekatinya," kata Septi sinis. Kedua bola matanya berputar-putar tanda tidak menyukai Hanum.

"Ibu," kata Lingga keras disertai tatapan tajam.

"Harusnya Ibu memperingati anak manja itu. Bukannya menyelesaikan masalah dengan istrinya, malah nambah masalah kalau begini," tambah Dirga. Dia mengepalkan kedua tangan menahan amarah. "Bagaimana keadaanmu, Num?"

"Baik. Mas," kata Hanum, memperingati Dirga. Kepalanya juga menggeleng agar lelaki itu diam dan tidak melanjutkan perkataan buruknya. Lalu, dia menatap Lingga dan istrinya yang bernama Septi Ningrum.

"Maaf, saya nggak tahu jika Mas Aryan sudah menikah. Benar kata Ibu, saya terlalu rendahan. Didekati dan diperlakukan manis oleh Mas Aryan sebentar saja sudah baper dan kegeeran. Andai saya mencari tahu status Mas Aryan mungkin kabar negatif yang mengatakan bahwa saya kegatalan nggak akan berembus. Maaf juga jika hari ini, saya dan Mas Dirga menganggu ketenangan Anda berdua."

Hanum beralih menatap Dirga. "Ayo, Mas. Kita pulang sekarang. Sudah nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kedekatanku dengan Mas Aryan, hanyalah sebuah kesalahan. Sekarang aku ngerti kenapa dia pergi tanpa kabar."

Jantung Hanum begitu sesak mendapati bahwa lelaki yang bertahta di hatinya sudah memiliki istri. Namun, untuk meminta pertanggung jawaban sang kekasih jelas tidak mungkin. Ada hati yang lebih berhak, dia hanyalah orang ketiga di antara Aryan dan istrinya. Cinta itu kini bernama penyesalan apalagi Hanum sudah kehilangan kehormatannya. Entah bagaimana kelanjutan hidup si wanita setelah ini.

Sebelum kedua tamunya melangkah pergi, Lingga berkata, "Kamu karyawan yang menurut saya cukup sempurna dengan segala attitude baik, tapi mengapa harus terlena dengan harta. Jika Aryan bukan putra kami, tentu kamu tidak akan mudah dekat dengannya. Benar begitu? Bapak harap, kalian belum melangkah terlalu jauh. Melakukan hal terlarang yang tak seharusnya dilakukan." Lingga menyorot tajam Hanum. Seolah lelaki paruh baya itu tengah menelanjangi perbuatan asusila yang dilakukan putra dan karyawannya.

"Jangan sembarangan kalau ngomong, Pak. Hanum itu wanita baik-baik. Dia tidak akan mudah menyerahkan kehormatannya pada lelaki sebelum menikah. Anak kalian yang kurang ajar. Memang benar, buah jatuh itu tak akan jauh dari pohonnya," kata Dirga dengan suara lantang, entah menyindir siapa. Lelaki itu tidak terima dengan penghinaan Lingga pada Hanum padahal perempuan itu tidak mengatakan apa pun untuk menjawab. Hanum, hanya bisa menunduk lesu.

"Dirga!" teriak Septi seolah tak ingin ada orang yang membela perempuan di depannya. "Jaga batasanmu dengan kami."

Mereka bertiga terus saja berdebat membuat kepala Hanum kembali berputar dan kini kakinya melemah. Setelah itu, si perempuan tidak lagi bisa mendengar apa pun karena semua menjadi gelap sekarang. Hanum kembali pingsan kedua kalinya.

"Hanum!" teriak Dirga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status