Happy Reading
*****"Di mana Aryan, Pak?" tanya Dirga keras pada lelaki berumur lima puluh enam tahun. Dia sudah kehilangan akal untuk menghormati Lingga sebagai atasan karena Hanum."Kenapa mencari Aryan? Bukankah kamu tahu di mana dia sekarang dan kenapa kamu membawa Hanum?" Lelaki berkumis dengan kulit sedikit gelap dari Aryan itu berbalik arah dan meninggalkan kedua tamunya."Pak, Aryan itu sudah menyakiti Hanum. Dia tidak jujur tentang statusnya saat ini. Apakah Bapak sebagai orang tuanya akan tetap membela Aryan?" kata Dirga tampak marah."Kenapa kamu yang repot, Ga? Apakah kamu punya perasaan khusus pada wanita ini? Ayolah, Ga. Dari kecil kamu sudah mengenal Aryan dengan baik. Pasti wanita ini yang merayu lebih dulu." Lingga berkata seolah Hanum tidak ada di hadapannya.Mata Dirga memerah, kemarahannya sudah mencapai puncak. Jika bukan lebih tua darinya, tentu Lingga sudah mendapat bogeman. Sayangnya, Dirga masih ingat jika lelaki itu lebih tua dan atasannya sehingga, hanya kalimat pedas yang dikeluarkan."Apa begini cara orang kaya memperlakukan orang yang berada di bawahnya. Usia saja yang bertambah, tapi otak tetap saja berada di bawah," cibir Dirga cukup keras.Hanum mulai pusing mendengar perdebatan kedua lelaki di dekatnya. Dia tak pernah mengerti mengapa Dirga sampai berbuat di luar batas seperti ini. Rasanya, kepala Hanum mau pecah saja menyaksikan semua ini."Hei, berani kamu datang ke rumah ini dan membentak-bentak suamiku?" kata seroang perempuan yang baru saja bergabung dengan mereka.Menyipitkan mata, Hanum mulai mencerna perkataan perempuan itu. "Apakah Mas Dirga dan Mas Aryan adalah teman dekat?" kata hati perempuan itu."Diam!" bentak Dirga. Dia mulai kehilangan kontrol emosi. Matanya merah menyala, tatapan tajam pada perempuan paruh baya tersebut."Hanya, karena perempuan tidak tahu malu ini kamu datang lagi? Begitulah? Bahkan dia tidak pantas untuk kamu bela. Perempuan baik tidak akan pernah mau dirayu oleh lelaki yang sudah berstatus istri."Jedar....Kalimat terakhir yang diucapkan perempuan paruh baya itu bagai samurai yang membelah jantung Hanum. Patah tak berbentuk seketika. Pandangan perempuan mulai menggelap seiring tubuhnya yang meluruh ke lantai.Ketiga orang tersebut panik, Dirga segera membawa si model ke kamar sesuai perintah sang atasan sebagai pemilik rumah.Entah berapa lama, berada di kamar tersebut. Hanum mulai tersadar saat aroma minyak kayu putih tercium menyengat pada inderanya. Samar-samar pertengkaran antara Dirga dengan seseorang juga terdengar. Sudah dipastikan bahwa orang tersebut adalah Pak Lingga, pemilik usaha tempatnya bekerja. Namun, mengapa perdebatan mereka belum juga selesai sejak tadi.Menurut Hanum, Dirga hanyalah karyawan biasa di garment walau jabatannya sebagai kepala produksi. Andai pun, lelaki itu adalah sahabat Aryan, tak seharusnya berkata kasar seperti tadi. Jika sampai Pak Lingga marah dan tidak terima dengan sikap arogan sang kepala produksi, tentunya pekerjaan sebagai jabatan yang dipegang sekarang akan terancam.Memikirkan semua hal itu membuat Hanum bangkit. Tertatih dia melangkah keluar kamar mendekati sumber suara. Kepala yang masih terasa berat dan tubuh lemah tak lagi dipedulikan. Dia takut jika Dirga akan terkena masalah hingga dipecat dari pekerjaannya.Letak kamar yang tidak begitu jauh dari tempat kedua orang yang berdebat itu memudahkan Hanum untuk cepat sampai di hadapan mereka."Mas Dirga," panggil Hanum. Berpegangan pada tembok, dia berjalan lebih dekat pada Dirga dan juga atasannya yang tengah duduk di sofa. Ada juga seorang perempuan paruh baya yang perkataannya tadi sempat mengguncang tubuh Hanum. Dia adalah Septi Ningrum, istri dari Lingga dan juga ibunya Aryan."Tolong hentikan semua perdebatan ini. Nggak baik, Mas Dirga menyalahkan Pak Lingga yang nggak tahu masalahku dengan Mas Aryan."Perempuan di sebelah Lingga, melirik Hanum sinis. Terlihat sekali jika dia tidak menyukai gadis yang memanggil Dirga tadi."Kamu sumber masalah. Harusnya kamu tidak mendekati anak saya hingga membuat Dirga marah pada suami saya. Apa kamu tidak tahu jika Aryan itu sudah memiliki istri? Kenapa masih nekat mendekatinya," kata Septi sinis. Kedua bola matanya berputar-putar tanda tidak menyukai Hanum."Ibu," kata Lingga keras disertai tatapan tajam."Harusnya Ibu memperingati anak manja itu. Bukannya menyelesaikan masalah dengan istrinya, malah nambah masalah kalau begini," tambah Dirga. Dia mengepalkan kedua tangan menahan amarah. "Bagaimana keadaanmu, Num?""Baik. Mas," kata Hanum, memperingati Dirga. Kepalanya juga menggeleng agar lelaki itu diam dan tidak melanjutkan perkataan buruknya. Lalu, dia menatap Lingga dan istrinya yang bernama Septi Ningrum."Maaf, saya nggak tahu jika Mas Aryan sudah menikah. Benar kata Ibu, saya terlalu rendahan. Didekati dan diperlakukan manis oleh Mas Aryan sebentar saja sudah baper dan kegeeran. Andai saya mencari tahu status Mas Aryan mungkin kabar negatif yang mengatakan bahwa saya kegatalan nggak akan berembus. Maaf juga jika hari ini, saya dan Mas Dirga menganggu ketenangan Anda berdua."Hanum beralih menatap Dirga. "Ayo, Mas. Kita pulang sekarang. Sudah nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kedekatanku dengan Mas Aryan, hanyalah sebuah kesalahan. Sekarang aku ngerti kenapa dia pergi tanpa kabar."Jantung Hanum begitu sesak mendapati bahwa lelaki yang bertahta di hatinya sudah memiliki istri. Namun, untuk meminta pertanggung jawaban sang kekasih jelas tidak mungkin. Ada hati yang lebih berhak, dia hanyalah orang ketiga di antara Aryan dan istrinya. Cinta itu kini bernama penyesalan apalagi Hanum sudah kehilangan kehormatannya. Entah bagaimana kelanjutan hidup si wanita setelah ini.Sebelum kedua tamunya melangkah pergi, Lingga berkata, "Kamu karyawan yang menurut saya cukup sempurna dengan segala attitude baik, tapi mengapa harus terlena dengan harta. Jika Aryan bukan putra kami, tentu kamu tidak akan mudah dekat dengannya. Benar begitu? Bapak harap, kalian belum melangkah terlalu jauh. Melakukan hal terlarang yang tak seharusnya dilakukan." Lingga menyorot tajam Hanum. Seolah lelaki paruh baya itu tengah menelanjangi perbuatan asusila yang dilakukan putra dan karyawannya."Jangan sembarangan kalau ngomong, Pak. Hanum itu wanita baik-baik. Dia tidak akan mudah menyerahkan kehormatannya pada lelaki sebelum menikah. Anak kalian yang kurang ajar. Memang benar, buah jatuh itu tak akan jauh dari pohonnya," kata Dirga dengan suara lantang, entah menyindir siapa. Lelaki itu tidak terima dengan penghinaan Lingga pada Hanum padahal perempuan itu tidak mengatakan apa pun untuk menjawab. Hanum, hanya bisa menunduk lesu."Dirga!" teriak Septi seolah tak ingin ada orang yang membela perempuan di depannya. "Jaga batasanmu dengan kami."Mereka bertiga terus saja berdebat membuat kepala Hanum kembali berputar dan kini kakinya melemah. Setelah itu, si perempuan tidak lagi bisa mendengar apa pun karena semua menjadi gelap sekarang. Hanum kembali pingsan kedua kalinya."Hanum!" teriak Dirga.Happy Reading*****Dirga berjalan cepat menangkap tubuh lemah perempuan itu yang sudah tak sadarkan diri. Septi dan Lingga saling pandang, arah mata mereka terus saja menatap Hanum. Seperti tengah berbicara dari dalam hati, kedua orang tua Aryan itu menganggukkan kepala, entah apa yang dipikirkan."Kenapa kamu gampang sekali pingsan. Ada apa denganmu?" Dirga masih saja heran, Hanum yang dia kenal sudah banyak berubah. Perempuan itu menjadi sangat ringkih sekarang, tidak seperti dulu selalu kuat dan optimis menghadapi masalah hidup.Lelaki itu, lalu menatap Lingga dan Septi bergantian. "Telpon anak manja kalian. Suruh dia datang dan bertanggung jawab dengan keadaan Hanum saat ini.""Kenapa harus telpon Aryan? Dia pasti sedang sibuk dengan bayi dan juga istrinya," kata Septi. Perempuan itu masih saja angkuh, tidak mau anaknya disalahkan atas kejadian yang menimpa karyawan suaminya."Telpon dia seorang atau aku akan mengobrak-abrik rumah ini. Sekalian saja hancur. Apa perlu aku panggil
Happy Reading*****Masih menatap benda yang dicelupkan pada urine miliknya, Hanum menatap dengan linangan air mata. Tubuhnya bergetar hebat kalau melihat garis dua warna merah yang masih samar. Segala ketakutan membayang. Kemarahan ibunya yang menaruh harapan begitu besar. Impian untuk menjadi sarjana demi kesejahteraan ekonomi keluarga. Semua impian dan harapan itu akan kandas jika hamil tanpa suami saat ini."Ya Allah. Mungkinkah ini benar adanya? Mengapa ... mengapa harus berakhir begini? Masih banyak impianku yang belum tercapai. Bagaimana jika Ibu tahu aku hamil?" Semua pertanyaan-pertanyaan itu, Hanum gunakan sendirian di dalam kamar mandi kosnya.Tubuh Hanum meluruh di lantai kamar mandi. Memegang kepala serta meremas rambut, menyalurkan semua kekecewaan. Sungguh, penyesalan itu kini terjadi. Mengapa dia harus terlena dengan segala bujuk rayu dan menuruti nafsu yang menguasai sesaat. Tidakkah yang dirugikan adalah dirinya jika sudah seperti ini?Tangan Hanum memukul kuat tembo
Happy Reading*****Tidak ada harapan bagi Hanum bahwa alat yang dilihatnya kemarin hanyalah mimpi. Benda bulat lonjong yang dibelinya, semua menunjukkan dua garis walau tidak pekat. Hari ini, si perempuan berencana untuk mengecek langsung pada dokter. Sebelum berangkat menuju klinik, Hanum menyempatkan diri melihat saldo tabungannya. "Jika aku berhenti bekerja, sepertinya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai satu tahun ke depan. Ya Allah, aku harus bagaimana," keluh Hanum sendirian ketika dia menunggu ojek online datang menjemput.Dua menit kemudian, ojek yang ditunggu datang. Niat semula akan ke dokter untuk pemeriksaan kepastian tentang keadaannya, kini malah berubah arah. Perempuan itu mendapat panggilan dari bagian event dan promosi bahwa hari ini dia ada pemotretan produk baru untuk tamu Australia.Sangat terpaksa Hanum mengubah arah tujuannya setelah meminta maaf pada sopir ojek online. Jika saja tahu dari awal akan ke garment tentunya Hanum tidak perlu memesan oje
Happy Reading*****Hampir sebulan, Dirga tidak mendengar kabar tentang Hanum. Gadis itu menghilang bak ditelan bumi. Tempat tinggalnya sudah pindah entah ke mana demikian juga dengan nomer ponsel. Dirga benar-benar kehilangan jejak di gadis. Seseorang yang sempat membantunya untuk mengawasi Hanum juga kehilangan jejak bahkan gadis itu belum pulang ke kampung halamannya.Dua bulan pasca kejadian menghilangnya Hanum, Aryan kembali ke pulau Dewata. Berkumpul dengan sang istri dan juga keluarganya. Saat ini, lelaki itu mendatangi Dirga di ruangannya."Apa kabar Pak Kepala Produksi?" sapa Aryan. Dirga yang tengah mengecek berkas-berkas produksi mendongakkan kepala. Lelaki itu berdiri dan mencengkeram kerah leher Aryan dengan kuat. "Berani kamu menampakkan wajah setelah merusak seluruh hidup Hanum?" ucapnya keras penuh kemarahan. Wajahnya memerah menahan amarah sejak lama."Heh," sindir Aryan, sangat meremehkan lawannya. "Gadis seperti itu yang kamu cintai dan bela. Gadis yang dengan suka
Happy Reading*****Dirga tak kan pernah menyerah untuk menemukan sang pujaan. Meski sempat mendapat SP 3 dari pihak garment. Namun, lelaki itu tidak putus asa bahkan meski jabatannya menjadi taruhan. Dia sudah tak peduli. Dirga mulai muak dengan sikap Aryan yang seenaknya saja ketika bekerja bahkan sikap playboy tak juga hilang dalam dirinya.Sang lelaki yang digadang-gadang akan menjadi pengganti Lingga itu masih terus menggoda para karyawan wanita terutama para model. Dirga cuma bisa menggelengkan kepala saja melihat tingkahnya tersebut.Pergi ke kampus dan meminta data lengkap Hanum, juga sudah dilakukan lelaki itu. Enam bulan lalu, si perempuan sudah menyelesaikan kuliah. Walau begitu, Dirga tidak pernah bertemu dengannya sekalipun. Mengunjungi rumah yang berada di kampung pun sudah dilakukan. Ibunya Hanum, mengatakan jika putrinya sudah lama tidak pulang. Terakhir kali datang ketika mengatakan bahwa setahun ke depan, perempuan itu tidak bisa mudik karena banyak pekerjaan yang
Happy Reading*****"Kenapa, Num?" tanya Lathif. Tangan kanan Hanum tanpa sengaja meremas tangan lelaki paruh baya itu. Jelas, ada yang tidak beres pada anak angkatnya sekarang, tetapi Lathif tidak tahu sebabnya.Hanum diam saja, dia bahkan menyerahkan sang buah hati pada lelaki tersebut. "Pa, aku mau ke toilet sebentar. Pembicaraan selanjutnya, tolong Papa yang handle saja, ya.""Oh, jadi kamu kebelet. Ya, sudah sana. Biar Papa yang bereskan semua." Setengah berlari, Hanum menuju toilet. Berharap bahwa Aryan tidak melihatnya tadi. Sungguh, perempuan itu belum sanggup bertemu dengan lelaki yang sudah menjungkirbalikkan kehidupannya. Namun, semua angan itu hanyalah semu ketika Hanum mendapati sosok perempuan yang menemani Aryan tadi. "Hai, boleh kenalan?" tanya Meilia. Sorot matanya meneliti tampilan Hanum dari atas sampai ke bawah. Dalam hati bertanya-tanya, apa menariknya perempuan itu."Maaf, saya nggak punya banyak waktu. Permisi." Hanum nyelonong pergi meninggalkan Meilia, ma
Happy Reading*****Dirga diam menunggu si lelaki menjauh dari sosok perempuan yang diikutinya tadi. Sampai pada keyakinan hati bahwa siluet perempuan yang dilihatnya adalah Hanum, Dirga tersenyum."Mataku masih cukup baik untuk mengenali dirimu, Num. Sekalipun, hanya punggung yang aku lihat tadi," gumam Dirga. Lelaki itupun menunggu di sebuah meja dalam restoran. Sesekali mengamati ke mana Hanum bergerak.Sementara itu perempuan yang diamati sama sekali tidak terganggu. Dia tetap saja beraktifitas memberi perintah pada para karyawannya. Dirga gemas sendiri jadinya. Bagaimana perempuan itu bertransformasi sedemikian rupa sekarang. Makin cekatan dan sangat pandai mengatur banyak orang."Apa posisimu di tempat ini, Num?" Gumam Dirga sendirian sambil menikmati minuman yang sempat diambilnya tadi sebelum duduk mengamati.Sebuah tepukan terasa di bahu Dirga, lelaki itu menoleh dan terperanjat melihat sosok di depannya."Datang sama siapa, Ga?" sapa seorang perempuan paruh baya seumuran den
Happy Reading*****"Suruh masuk saja, Sayang," kata lelaki di samping Hanum. Tangan Dirga terkepal. Dia begitu marah atas panggilan sayang lelaki paruh baya di depannya. Rasa panas menjalar di setiap nadi. Padahal siapalah dia bagi Hanum, hanya seorang rekan kerja dan kebetulan posisinya lebih tinggi di garment."Kita bicara di dalam, Mas. Silakan," ajak Hanum setelah mengurai pelukan sang lelaki tadi.Masuk ruang tamu, Dirga duduk di sofa tunggal. Hanum duduk di seberangnya dan lelaki paruh baya tadi pamit ke dalam terlebih dahulu. "Jadi, kamu menikah dengan lelaki itu, Num? Kenapa tidak meminta pertanggungjawaban dari Aryan." Teramat kecewa, Dirga berkata demikian. Padahal hatinya akan jauh lebih sakit jika orang yang dicintai menikah dengan lelaki play boy itu.Hanum mendengkus. "Dari mana Mas Dirga tahu, aku hamil anaknya Mas Aryan? Jangan berspekulasi sendiri, Mas. Bukankah Mas Dirga percaya bahwa aku gadis baik yang bisa mempertahankan kehormatan.""Maaf, jika apa yang Mas ka