Share

7. Kotor

Happy Reading

*****

Dirga berjalan cepat menangkap tubuh lemah perempuan itu yang sudah tak sadarkan diri. Septi dan Lingga saling pandang, arah mata mereka terus saja menatap Hanum. Seperti tengah berbicara dari dalam hati, kedua orang tua Aryan itu menganggukkan kepala, entah apa yang dipikirkan.

"Kenapa kamu gampang sekali pingsan. Ada apa denganmu?" Dirga masih saja heran, Hanum yang dia kenal sudah banyak berubah. Perempuan itu menjadi sangat ringkih sekarang, tidak seperti dulu selalu kuat dan optimis menghadapi masalah hidup.

Lelaki itu, lalu menatap Lingga dan Septi bergantian. "Telpon anak manja kalian. Suruh dia datang dan bertanggung jawab dengan keadaan Hanum saat ini."

"Kenapa harus telpon Aryan? Dia pasti sedang sibuk dengan bayi dan juga istrinya," kata Septi. Perempuan itu masih saja angkuh, tidak mau anaknya disalahkan atas kejadian yang menimpa karyawan suaminya.

"Telpon dia seorang atau aku akan mengobrak-abrik rumah ini. Sekalian saja hancur. Apa perlu aku panggil semua warga dan membeberkan seberapa busuknya keluarga Lingga di hadapan semua orang? Bukankah itu akan sangat mempengaruhi omset garment dan semua usaha kalian yang lain?" Dirga sudah meletakkan Hanum pada ranjang. Matanya nyalang menatap kedua orang tersebut. Tidak takut sama sekali walau Lingga adalah atasannya.

Seperti ketakutan dengan delikan yang diberikan Dirga, Septi gegas mencari ponsel dan menghubungi Aryan. Namun, lagi-lagi putranya tidak menjawab panggilan. Hal itu sungguh membuat perempuan yang telah melahirkan Aryan mengumpat dalam hati. Putranya itu memang selalu membuat masalah.

Sebenarnya, sebelum datang ke rumah tersebut, Dirga sempat menghubungi Aryan, tetapi tidak pernah diangkat. Geram sekali dengan anak semata wayang Lingga dan Septi, maka Dirga mendatangi kediaman mereka. Sesungguhnya sangat malas untuk mendatangi rumah ini.

"Kenapa tidak memanggil dokter saja?" tanya Lingga pada sang istri yang sudah menyerah untuk menghubungi putranya.

Septi mengajak suaminya keluar kamar. Tak jelas apa yang dibicarakan. Dirga juga penasaran mengapa Lingga tidak memanggilkan dokter untuk Hanum. Apakah mereka takut jika orang lain mengetahui bahwa putra mereka sudah menyakiti seorang gadis dan menyebabkannya terluka saat ini.

Namun, Dirga tak mau ambil pusing dengan bertanya. Lelaki itu fokus agar Hanum segera siuman. Mencoba membalurkan minyak kayu putih pada telapak kaki sang wanita, kini Dirga merangkak ke atas dan meletakkan botol tersebut dekat dengan hidung.

Beberapa menit kemudian, Hanum mencium aroma minyak kayu putih di dekat hidungnya. Kelopak matanya mulai bergerak, tetapi belum terbuka. Masih mengumpulkan segenap kesadaran.

"Mas, panggilkan dokter, ya, Num. Supaya tahu kamu sakit apa," kata Dirga setelah melihat gadis di depannya membuka mata. Lelaki itu juga ingin mengetahui apa yang menyebabkan Hanum sampai pingsan dua kali.

"Nggak usah, Mas. Tolong antar aku pulang saja. Aku cuma kecapean, tadi juga belum sempat makan sejak pagi. Tidur sebentar di kosan pasti sudah baikan." Hanum berusaha bangun dan duduk dengan benar. Mencoba membuat dirinya kuat agar Dirga tidak terlalu curiga akan penyakitnya. 

Perempuan itu tidak ingin siapa pun mengetahui keresahan hatinya. Jika diperiksa dan dokter, tentu akan diketahui penyakitnya. Sementara Hanum belum siap akan hal itu.

Tak lama kemudian, Septi dan Lingga masuk ke kamar yang ditempati Hanum. Perempuan paruh baya itu memberikan amplop cokelat. Diperkirakan isinya uang. Kening si gadis berkerut. Sementara Dirga mulai mengepalkan tangan, siap menghajar dua orang paruh baya tersebut jika sampai menghina Hanum kembali.

"Pake ini untuk pengobatanmu. Saya harap kamu melupakan Aryan. Dia sudah bahagia bersama dengan istri dan anaknya yang baru lahir," kata Septi. Jelas nada suaranya begitu merendahkan Hanum.

Belum cukup kejutan yang diberikan tadi, kini Septi menambahkan berita baru pada Hanum. Sungguh, karyawan itu makin merasa kotor dengan perbuatannya bersama Aryan. Mengapa ... mengapa dia tidak berhati-hati saat menjatuhkan rasa pada seorang lelaki. Apalagi lelaki itu adalah atasan dengan segala kekuasaan uang yang bisa kapan saja merendahkan harga dirinya. Seperti saat ini.

"Bu, tidak perlu merendahkan Hanum seperti ini. Sebagai teman, saya masih bisa membantunya," sahut Dirga tidak suka. Lelaki itu berdiri siap memasang badan untuk membela Hanum.

"Sudahlah, Dirga. Biarkan Hanum mengambil uang itu. Kamu sendiri harus berjuang untuk mencukupi semua kebutuhanmu tidak perlu sok untuk membantunya. Bukankah mamamu sangat membutuhkan banyak uang untuk biaya pengobatannya, makanya kamu rela melakukan ..." tambah Lingga.

"Cukup, Pak. Jangan sampai mulutmu yang kotor menyebut nama Mama." Dirga sudah mengangkat tangan kanannya, tetapi Hanum segera memegang.

Malas mendengar perdebatan lagi, Hanum mengambil amplop cokelat pemberian Septi dengan cepat. "Terima kasih atas perhatiannya, Pak, Bu."

Perempuan itu menelan salivanya susah payah. Dia sudah seperti wanita penjaja cinta yang baru saja menyelesaikan tugas dan mendapat imbalan. Harga diri serta kehormatannya benar-benar hancur sekarang. Jika dia terus mendebat dan menolak pemberian itu, tentu akan semakin lama pulang ke kos. Sementara ada sesuatu yang harus dipastikan dengan segera.

"Ayo antar aku pulang, Mas. Rasanya semakin pusing aku berada di sini. Bukankah aku sudah dapat uang sebagai kompensasi kesakitan ini?" sindir Hanum pada dua orang paruh baya di depannya. Dirga mengangguk patuh dan membawa gadis itu keluar dari rumah Aryan.

Sepenjang perjalanan pulang mengantar Hanum, Dirga memikirkan perkataan Lingga. Lelaki paruh baya itu bersama istrinya sempat menduga bahwa Hanum hamil. Semoga Hanum dan Aryan tidak berbuat jauh yang akan menyebabkan. Wajah lemah, pucat dan beberapa kali melihat Hanum muntah serta pingsan membuat dada Dirga sesak.

"Jangan sampai terjadi. Aku yakin Hanum masih menjaga kesuciannya," kata Dirga dalam hati. Fokusnya kini terpecah saat berkendara.

Sesampainya di kos, Hanum langsung masuk tanpa mengucapkan apa pun pada Dirga. Terlalu banyak pikiran dan kekecewaan dalam hatinya saat ini.

"Besok periksalah ke dokter, Num. Mas takut kamu kenapa-kenapa," kata Dirga sebelum perempuan itu menutup pintu kamar kos.

"Nggak perlu mengkhawatirkan keadaanku, Mas. Aku baik-baik saja cuma kelelahan sedikit."

Meskipun menganggukkan kepala, tetapi pikiran Dirga masih berkelana jauh. Sejak Aryan mengatakan tertarik pada Hanum, lelaki itu selalu was-was. Ingin melarang si gadis, tetapi dia tidak memiliki hak apa pun juga. Jika sudah begini, sesal di hati Dirga membiarkan orang yang selama ini disukainya jatuh pada pesona Casanova seorang Aryan.

Mendengar motor milik Dirga menjauh dari kosnya, Hanum melongokkan kepala diambang pintu. Dia mengambil kembali tasnya dan melangkah pergi menuju suatu. Ada yang ingin dipastikan sebelum semuanya terlambat.

"Mbak, beli test pack 3, ya?" ucap Hanum lirih. Mengenakan kacamata hitam, masker dan kerudung, gadis itu pergi ke apotik.

"Yang biasa apa yang bagus, Mbak."

"Biasa dua yang bagus satu saja," tambah Hanum. Kepalanya menengok kanan kiri. Takut juga jika sampai ada yang melihat serta mendengar pembicaraannya.

Tak butuh waktu lama, pegawai apotik segera mencarikan pesanan Hanum. Kurang dari tiga menit, karyawan itu sudah menyerahkan barang yang dibutuhkan. Setelah menyebut nominal uang yang harus di bayar, Hanum dengan cepat menyerahkan lembar biru uang pecahan kertas dan pergi dari tempat itu.

Napas yang memburu membuat Hanum mengambil segelas air putih dan meminumnya sampai tandas. Tanpa menunggu esok hari untuk mengetahui hasilnya, dia segera menggunakan alat yang baru saja dibeli. Sebelum masuk kamar mandi, si gadis berdoa semoga apa yang ditakutkan tidak terjadi.

Menunggu beberapa menit hasil dari tes urin yang dilakukan, keringat mulai membasahi wajah gadis berkulit kuning langsat dengan rambut lurus melebihi bahu. Satu garis merah terlihat, Hanum tersenyum karena apa yang dipikirkan tidak terjadi. Namun, detik berikutnya matanya membulat sempurna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status