Happy Reading
*****Dirga berjalan cepat menangkap tubuh lemah perempuan itu yang sudah tak sadarkan diri. Septi dan Lingga saling pandang, arah mata mereka terus saja menatap Hanum. Seperti tengah berbicara dari dalam hati, kedua orang tua Aryan itu menganggukkan kepala, entah apa yang dipikirkan."Kenapa kamu gampang sekali pingsan. Ada apa denganmu?" Dirga masih saja heran, Hanum yang dia kenal sudah banyak berubah. Perempuan itu menjadi sangat ringkih sekarang, tidak seperti dulu selalu kuat dan optimis menghadapi masalah hidup.Lelaki itu, lalu menatap Lingga dan Septi bergantian. "Telpon anak manja kalian. Suruh dia datang dan bertanggung jawab dengan keadaan Hanum saat ini.""Kenapa harus telpon Aryan? Dia pasti sedang sibuk dengan bayi dan juga istrinya," kata Septi. Perempuan itu masih saja angkuh, tidak mau anaknya disalahkan atas kejadian yang menimpa karyawan suaminya."Telpon dia seorang atau aku akan mengobrak-abrik rumah ini. Sekalian saja hancur. Apa perlu aku panggil semua warga dan membeberkan seberapa busuknya keluarga Lingga di hadapan semua orang? Bukankah itu akan sangat mempengaruhi omset garment dan semua usaha kalian yang lain?" Dirga sudah meletakkan Hanum pada ranjang. Matanya nyalang menatap kedua orang tersebut. Tidak takut sama sekali walau Lingga adalah atasannya.Seperti ketakutan dengan delikan yang diberikan Dirga, Septi gegas mencari ponsel dan menghubungi Aryan. Namun, lagi-lagi putranya tidak menjawab panggilan. Hal itu sungguh membuat perempuan yang telah melahirkan Aryan mengumpat dalam hati. Putranya itu memang selalu membuat masalah.Sebenarnya, sebelum datang ke rumah tersebut, Dirga sempat menghubungi Aryan, tetapi tidak pernah diangkat. Geram sekali dengan anak semata wayang Lingga dan Septi, maka Dirga mendatangi kediaman mereka. Sesungguhnya sangat malas untuk mendatangi rumah ini."Kenapa tidak memanggil dokter saja?" tanya Lingga pada sang istri yang sudah menyerah untuk menghubungi putranya.Septi mengajak suaminya keluar kamar. Tak jelas apa yang dibicarakan. Dirga juga penasaran mengapa Lingga tidak memanggilkan dokter untuk Hanum. Apakah mereka takut jika orang lain mengetahui bahwa putra mereka sudah menyakiti seorang gadis dan menyebabkannya terluka saat ini.Namun, Dirga tak mau ambil pusing dengan bertanya. Lelaki itu fokus agar Hanum segera siuman. Mencoba membalurkan minyak kayu putih pada telapak kaki sang wanita, kini Dirga merangkak ke atas dan meletakkan botol tersebut dekat dengan hidung.Beberapa menit kemudian, Hanum mencium aroma minyak kayu putih di dekat hidungnya. Kelopak matanya mulai bergerak, tetapi belum terbuka. Masih mengumpulkan segenap kesadaran."Mas, panggilkan dokter, ya, Num. Supaya tahu kamu sakit apa," kata Dirga setelah melihat gadis di depannya membuka mata. Lelaki itu juga ingin mengetahui apa yang menyebabkan Hanum sampai pingsan dua kali."Nggak usah, Mas. Tolong antar aku pulang saja. Aku cuma kecapean, tadi juga belum sempat makan sejak pagi. Tidur sebentar di kosan pasti sudah baikan." Hanum berusaha bangun dan duduk dengan benar. Mencoba membuat dirinya kuat agar Dirga tidak terlalu curiga akan penyakitnya. Perempuan itu tidak ingin siapa pun mengetahui keresahan hatinya. Jika diperiksa dan dokter, tentu akan diketahui penyakitnya. Sementara Hanum belum siap akan hal itu.Tak lama kemudian, Septi dan Lingga masuk ke kamar yang ditempati Hanum. Perempuan paruh baya itu memberikan amplop cokelat. Diperkirakan isinya uang. Kening si gadis berkerut. Sementara Dirga mulai mengepalkan tangan, siap menghajar dua orang paruh baya tersebut jika sampai menghina Hanum kembali."Pake ini untuk pengobatanmu. Saya harap kamu melupakan Aryan. Dia sudah bahagia bersama dengan istri dan anaknya yang baru lahir," kata Septi. Jelas nada suaranya begitu merendahkan Hanum.Belum cukup kejutan yang diberikan tadi, kini Septi menambahkan berita baru pada Hanum. Sungguh, karyawan itu makin merasa kotor dengan perbuatannya bersama Aryan. Mengapa ... mengapa dia tidak berhati-hati saat menjatuhkan rasa pada seorang lelaki. Apalagi lelaki itu adalah atasan dengan segala kekuasaan uang yang bisa kapan saja merendahkan harga dirinya. Seperti saat ini."Bu, tidak perlu merendahkan Hanum seperti ini. Sebagai teman, saya masih bisa membantunya," sahut Dirga tidak suka. Lelaki itu berdiri siap memasang badan untuk membela Hanum."Sudahlah, Dirga. Biarkan Hanum mengambil uang itu. Kamu sendiri harus berjuang untuk mencukupi semua kebutuhanmu tidak perlu sok untuk membantunya. Bukankah mamamu sangat membutuhkan banyak uang untuk biaya pengobatannya, makanya kamu rela melakukan ..." tambah Lingga."Cukup, Pak. Jangan sampai mulutmu yang kotor menyebut nama Mama." Dirga sudah mengangkat tangan kanannya, tetapi Hanum segera memegang.Malas mendengar perdebatan lagi, Hanum mengambil amplop cokelat pemberian Septi dengan cepat. "Terima kasih atas perhatiannya, Pak, Bu."Perempuan itu menelan salivanya susah payah. Dia sudah seperti wanita penjaja cinta yang baru saja menyelesaikan tugas dan mendapat imbalan. Harga diri serta kehormatannya benar-benar hancur sekarang. Jika dia terus mendebat dan menolak pemberian itu, tentu akan semakin lama pulang ke kos. Sementara ada sesuatu yang harus dipastikan dengan segera."Ayo antar aku pulang, Mas. Rasanya semakin pusing aku berada di sini. Bukankah aku sudah dapat uang sebagai kompensasi kesakitan ini?" sindir Hanum pada dua orang paruh baya di depannya. Dirga mengangguk patuh dan membawa gadis itu keluar dari rumah Aryan.Sepenjang perjalanan pulang mengantar Hanum, Dirga memikirkan perkataan Lingga. Lelaki paruh baya itu bersama istrinya sempat menduga bahwa Hanum hamil. Semoga Hanum dan Aryan tidak berbuat jauh yang akan menyebabkan. Wajah lemah, pucat dan beberapa kali melihat Hanum muntah serta pingsan membuat dada Dirga sesak."Jangan sampai terjadi. Aku yakin Hanum masih menjaga kesuciannya," kata Dirga dalam hati. Fokusnya kini terpecah saat berkendara.Sesampainya di kos, Hanum langsung masuk tanpa mengucapkan apa pun pada Dirga. Terlalu banyak pikiran dan kekecewaan dalam hatinya saat ini."Besok periksalah ke dokter, Num. Mas takut kamu kenapa-kenapa," kata Dirga sebelum perempuan itu menutup pintu kamar kos."Nggak perlu mengkhawatirkan keadaanku, Mas. Aku baik-baik saja cuma kelelahan sedikit."Meskipun menganggukkan kepala, tetapi pikiran Dirga masih berkelana jauh. Sejak Aryan mengatakan tertarik pada Hanum, lelaki itu selalu was-was. Ingin melarang si gadis, tetapi dia tidak memiliki hak apa pun juga. Jika sudah begini, sesal di hati Dirga membiarkan orang yang selama ini disukainya jatuh pada pesona Casanova seorang Aryan.Mendengar motor milik Dirga menjauh dari kosnya, Hanum melongokkan kepala diambang pintu. Dia mengambil kembali tasnya dan melangkah pergi menuju suatu. Ada yang ingin dipastikan sebelum semuanya terlambat."Mbak, beli test pack 3, ya?" ucap Hanum lirih. Mengenakan kacamata hitam, masker dan kerudung, gadis itu pergi ke apotik."Yang biasa apa yang bagus, Mbak.""Biasa dua yang bagus satu saja," tambah Hanum. Kepalanya menengok kanan kiri. Takut juga jika sampai ada yang melihat serta mendengar pembicaraannya.Tak butuh waktu lama, pegawai apotik segera mencarikan pesanan Hanum. Kurang dari tiga menit, karyawan itu sudah menyerahkan barang yang dibutuhkan. Setelah menyebut nominal uang yang harus di bayar, Hanum dengan cepat menyerahkan lembar biru uang pecahan kertas dan pergi dari tempat itu.Napas yang memburu membuat Hanum mengambil segelas air putih dan meminumnya sampai tandas. Tanpa menunggu esok hari untuk mengetahui hasilnya, dia segera menggunakan alat yang baru saja dibeli. Sebelum masuk kamar mandi, si gadis berdoa semoga apa yang ditakutkan tidak terjadi.Menunggu beberapa menit hasil dari tes urin yang dilakukan, keringat mulai membasahi wajah gadis berkulit kuning langsat dengan rambut lurus melebihi bahu. Satu garis merah terlihat, Hanum tersenyum karena apa yang dipikirkan tidak terjadi. Namun, detik berikutnya matanya membulat sempurna.Happy Reading*****"Apakah saya harus keluar," tanya Dirga. Dia sendiri bingung harus berbuat apa jika tetap di dalam. Namun, untuk meninggalkan sang istri yang tengah berjuang melahirkan buah hatinya yang diprediksi perempuan, dia tidak sanggup."Sebaiknya di sini saja, Pak. Bu Hanum lebih membutuhkan kehadiran Pak Dirga," ucap sang dokter.Keluar dan memanggil para perawat serta bidan. Beberapa saat kemudian, mereka semua masuk dan langsung menangani Hanum. Dirga bahkan diminta untuk berada di belakang sang istri dan membantu proses persalinan.Tak terhitung berapa banyak ketegangan yang kini dialami lelaki yang akan segera menjadi ayah yang sebenarnya dari putri kandungnya sendiri. Bulir-bulir keringat mulai turun. Andai bisa menggantikan posisi Hanum saat ini, tentu sudah lelaki itu lakukan. Hanum begitu banyak mengeluarkan tenaga demi menghadirkan buah hati mereka ke dunia ini. Kedua tangannya mencengkeram erat pergelangan Dirga hingga lelaki itu juga merasakan kesakitan. Namun
Happy Reading*****"Ma, Bunda kenapa?" tanya Azri yang ikut-ikutan panik ketika mengetahui Hanum memegangi perutnya. Tak jarang wanita berperut buncit itu mendesis kesakitan."Bunda sakit perut, Sayang. Kayaknya dedek mau minta keluar," jelas Sabrina, "Mbak, bisa minta tolong panggilkan orang rumah.""Manggil siapa, Bu?" tanya si Mbak yang membantu menjaga Azri selama Sabrina dinyatakan hamil."Siapa saja boleh. Papa kan selalu ada di rumah. Katakan pada beliau jika Mbak Hanum mulai merasakan sakit perut. Kalau ada Mas Dirga malah lebih bagus."Si Mbak mengangguk. "Bagaimana sama Mas Azri, Bu?""Azri biarkan sama saya dulu. Cepat, Mbak. Kasihan Mbak Hanum. Kita harus bawa dia ke rumah sakit," suruh wanita bercadar tersebut. Melihat si Mbak yang menjaga Azri berlari menuju rumah mereka, Sabrina membawa kakak iparnya untuk duduk. "Sakit sekali, ya, Mbak? Sabar, ya. Bentar lagi Papa atau mas Dirga pasti datang. ucapkan istighfar setiap kali sakitnya terasa," saran Sabrina.Patuh, Hanum
Happy Reading*****Sang dokter cum tersenyum dengan perkataan si sulung. Keluarga Lingga semuanya masuk ke ruang perawatan Sabrina.Perempuan bercadar itu tengah berbaring. Melihat seluruh keluarganya datang menjenguk, senyumnya tampak. Sewaktu diperiksa tadi, Aryan memang membuka cadar yang dikenakan sang istri. "Bagaimana keadaanmu, Yang?" tanya Aryan. mencium kening perempuan yang sudah memberikan begitu banyak kebahagiaan padanya.Sabrina mengambil tangan kanan sang suami, lalu menciumnya penuh hormat dan bahagia. Menatap satu per satu seluruh keluarganya. "Alhamdullilah keadaanku sangat baik, Mas.""Apa kata dokter, Nak?" tambah Septi."Kamu pasti kelelahan menjaga Azri yang sangat aktif. Padahal aku sudah ngasih saran. Sebaiknya, kita nyari orang untuk menemani Azri. Eh, kamu malah nggak mau. Aku jadi nggak enak kalau kamu sampai sakit gini, Bi," kata Hanum. Terlalu lama duduk menyebabkan wanita hamil itu memegang pinggangnya."Aku tidak sakit, lho. Cuma tadi mencium aroma so
Happy Reading *****Secepat mungkin, Aryan menghubungi Dirga dan meminta saudaranya itu menjemput dengan kendaraan roda empat. Papa kandung Azri itu juga meminta si sulung untuk memanggil dokter ke rumah mereka."Ar, kelamaan kalau kita panggil dokter ke rumah. Minta masmu untuk mengantar ke klinik terdekat saja," sahut Septi.Menganggukkan kepala, Aryan meminta Dirga untuk segera datang dan membawa mereka ke klinik terdekat. "Kenapa kamu, Bi. Padahal tadi baik-baik saja," gumam Aryan.Melihat para orang dewasa kebingungan, Azri menarik-narik ujung kaos yang digunakan oleh kakeknya. Mukanya menatap penuh tanya pada Lingga."Mama lagi sakit, Nak. Azri diam dulu, ya. Sebentar lagi, Ayah datang menjemput." Lingga mencoba memberi pengertian pada bocah kecil itu."He em," ucap si kecil sambil menganggukkan kepala.Tak berselang lama, Dirga sudah datang bersama dengan Hanum. Mereka berdua turun dari mobil dan menghampiri Aryan yang sudah mengangkat istrinya di sebuah bangku taman."Kenapa
Happy Reading*****Waktu berjalan begitu cepat, kandungan Melati dan Hanum kini sudah memasuki bulan ke tujuh. Aryan dan keluarga juga sudah kembali ke Indonesia setelah pengobatan panjang yang harus dia jalani.Perlahan, tetapi pasti. Kesehatan suami Sabrina itu berangsur membaik. Aryan sudah mulai hidup normal selayaknya dulu sebelum kecelakaan walau benih yang dihasilkan masih belum bagus. Semua berkat ketelatenan Sabrina. Setiap sesi pengobatan Aryan, perempuan bercadar itu ikut dan bertanya ini itu. Sama sekali tidak malu sekalipun yang perempuan itu tanyakan sedikit vulgar menurut suaminya.Antara bangga dan juga malu, tentu dirasakan Aryan. Mungkin perbedaan kultur yang membuat perempuan itu menjadi lebih terbuka membicarakan masalah seks. Setiap kali sang suami bertanya mengapa dia berani bertanya pada dokter. Jawaban Sabrina adalah karena apa yang ditanyakan bukanlah menjurus pada mesum, tetapi ilmu yang harus dia pelajari demi kesembuhan Aryan.Pagi ini, Aryan berjanji pada
Happy Reading*****Mendapat kabar gembira dari sang istri, Dirga segera menelepon orang tuanya yang masih berada di luar negeri menemani Aryan. Berkali-kali Hanum mendapat selamat dan juga ciuman baik dari ibu, adik maupun sang suami. Mereka semua sangat bahagia mendapat kabar kehamilan perempuan itu.Panggilan terangkat oleh Septi, wajah perempuan paruh baya itu terlihat. "Ya, Mas. Apa kabar? bagaimana keadaan cucu Mama? Apa dia sehat-sehat saja."Selalu saja, para orang tua tiap kali menelepon atau ditelepon pertama kali yang ditanyakan adalah keadaan Azri. sepenting itu memang bocah gembul yang sudah bisa berjalan itu."Azri baik, Ma. Gimana kabar Mama sama Papa?""Papa baik, Mas," jawab Lingga. Wajahnya sudah muncul di layar ponsel milik Septi. "Mas, kameranya arahin ke Azri, dong. kangen nih," sahut Aryan yang hanya terdengar suaranya saja.Dirga mengarah kamera pada Azri yang tengah berjalan dengan ditemani sang adik ipar. bocah gembul itu tertawa-tawa ketika bisa mencapai ad