Share

5. Samar

Penulis: pramudining
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-17 08:28:26

Happy Reading

*****

Hari berlalu, gosip yang beredar tentang Hanum makin negatif saja. Beberapa karyawan bahkan dengan lancangnya menambah berita baru dengan rumor kehamilan si model yang lagi naik daun tersebut. Berhari-hari juga, Dirga tidak melihat kehadiran sang karyawan untuk bekerja di bagian produksi.

Biasanya, Hanum tidak pernah absen jika memang tidak ada pemotretan. Gadis itu masih bisa bekerja dengan baik pada bagian yang dia jabat sebelumnya di bagian pengepakan. Namun, terhitung sudah lima hari ini si perempuan tidak masuk padahal jadwal pemotretan belum ada. Dirga pun mulai resah. Sempat bertanya mengenai Hanum di bagian model, tetapi lelaki itu tidak mendapat jawaban memuaskan.

Setelah bertanya pada rekan Hanum lainnya di bagian pengepakan dan tidak ada yang mengetahui alasan Hanum absen. Dirga bertekad akan mendatangi kos perempuan itu setelah pulang kerja. Kejadian di kantin beberapa waktu lalu membuatnya yakin ada hal yang tidak beres.

*****

Di tempat kosnya, Hanum tengah resah. Kian hari, kondisi tubuhnya tidak dapat diprediksi dengan baik. Seperti sekarang, tubuhnya kembali tumbang tanpa sebab.

"Ya Allah. Aku ini kenapa sebenarnya? Mungkinkah aku hamil?" Prasangka itu muncul pada diri Hanum ketika dia baru saja selesai kuliah dan diperjalanan tadi sempat muntah karena bau parfum seseorang yang begitu menyengat.

"Bagaimana jika aku hamil, sedangkan aku tidak tahu kabar dan keberadaan Mas Aryan saat ini."

Hanum melihat kalender yang ada di kamar kosnya. Mencoba mengingat kapan terakhir dia mendapat tamu bulanan. Seketika matanya membulat ketika tanggal itu telah terlewat hampir dua Minggu.

Suara pintu diketuk terdengar, Hanum membuka mata setelah tadi sempat memejam karena pikiran-pikiran buruk tentang kehamilannya menyeruak.

"Sebentar," kata Hanum agar orang yang mengetuk tadi tidak menambah volume ketukan pada pintu.

Hanum merapikan rambut dan juga pakaiannya sebelum membuka pintu. Malas, dia berjalan dan melihat siapa orang yang datang berkunjung ke kosnya padahal selama ini jarang ada seseorang bertamu kecuali Dirga. Aryan saja tidak pernah mengunjunginya, lelaki itu selalu berhenti di depan gang yang menuju kos Hanum.

"Mas Dirga," ucap Hanum sedikit terkejut. Pasalnya, sekarang belum jam karyawan garment pulang.

"Kamu kenapa? Sakit?"

Hanum menggeleng dan menutup pintu kamar kosnya kembali. Dia mengajak Dirga untuk duduk di kursi teras yang sudah disediakan. Walau di Bali terkenal dengan pergaulan bebasnya, tetapi Hanum tidak pernah membawa seorang lelaki pun masuk, tak terkecuali Aryan.

"Aku nggak sakit, kok, Mas."

"Terus, kenapa absen beberapa hari ini?"

"Aku sudah mengajukan resign pada HRD. Rasanya aku nggak sanggup, Mas. Merangkap kerja sekaligus kuliah. Saat ini, gaji menjadi model sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kebutuhanku. Kos juga kan sudah dapat bantuan dari garment, jadi nggak terlalu berat buat bayar." Hanum menatap Dirga sebentar, berharap lelaki itu percaya dengan perkataannya.

"Kenapa langsung ke HRD, tidak minta saran atau pendapat Mas lagi."

"Mas Dirga terlalu sibuk akhir-akhir ini. Produksi dengan lebel Sunshine sangat menyita perhatian. Bukankah akhir bulan harus terkirim semua. Jadi, aku nggak mau memecah konsentrasi Mas Dirga dengan pengunduran diriku."

"Sudahlah, lupakan itu. Wajahmu pucat sekali. Apa kamu belum makan?"

Hanum menggeleng dan senyum lelaki itu seketika terbit.

"Ganti baju sana. Ayo makan di luar. Temani Mas Dirga," ajak sang lelaki dengan mata jernih bak malaikat.

"Kok, maksa?"

"Lho, katanya tadi belum makan, gimana, sih. Kalau berat badanmu semaki kurus, kamu tidak akan menjadi model kebanggaan garment lagi." Tangan Dirga mulai jahil dengan mencolek sedikit dagu si gadis. Niatnya, hanya supaya Hanum kembali ceria.

Inilah yang tidak disukai Hanum dari Dirga. Tangannya terlalu bergerak aktif untuk menjamah sesuatu yang tidak seharusnya. Sering sekali, si gadis mendapati tangan itu mencolek bokong karyawan wanita di bagian produksi. Terkadang, malah langsung merangkul saja. Hanum pun pernah menjadi sasaran tangan aktif Dirga dan hal itu membuatnya mogok menyapa sang lelaki hingga beberapa hari.

"Tolong tangannya dikondisikan. Mau nggak tak ajak ngobrol lagi," ucap Hanum tegas dengan wajah marah.

"Sorry, Num. Kelepasan." Dirga mengatupkan dua tangannya. "Jangan marah, dong. Cepat ganti baju dan temani Mas makan."

*****

Di sinilah Hanum dan Dirga berada. Sebuah warung sate favorit keduanya. Mereka beberapa kali sempat makan berdua di tempat ini. Baru masuk tadi, Hanum sudah mencium bau harum dari daging yang dibakar dengan bumbu kecap. Dia bahkan sampai menelan ludahnya sendiri saking inginnya untuk segera menikmati hidangan tersebut.

"Laper banget kayaknya, Num?" Dirga yang baru saja memesan untuk mereka, segera duduk di depan gadis itu.

"Iya, Mas. Sudah lama Hanum nggak main di sini, aroma satenya menggugah selera banget."

"Tunggu sebentar, ya. Mereka masih nyiapin. Warung tidak begitu ramai, jadi kita dapat layanan cepat." Dirga menatap Hanum. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan, tetapi takut jika gadis di depannya ini marah bahkan mengatakan jika terlalu ikut campur urusan pribadi orang lain.

Ditatap seperti itu membuat Hanum tidak nyaman. "Kenapa, sih, Mas. Segitunya ngelihat aku?"

"Gimana hubunganmu sama Pak Aryan?"

Pertanyaan Dirga membuat Hanum syok. Tenggorokannya terasa kering bahkan untuk mengeluarkan satu kata saja, terasa sulit. Wajah si perempuan mulai memucat.

"Minum dulu." Dirga mendorong gelas yang baru disajikan oleh pegawai disusul dengan sate serta lontong pesanan mereka. "Apa dia yang menyebabkan kamu resign di bagian produksi?"

Sangat cepat, Hanum menggerakkan kepalanya sebagai tanda bahwa bukan Aryan yang menyebabkan hal itu.

"Lalu? Apakah dia menyakitimu?" Lagi, pertanyaan Dirga dijawab dengan gelengan kepala oleh perempuan itu.

"Bukan Mas Aryan yang menjadi penyebabnya. Semua murni karena aku sudah nggak kuat dengan seabrek kegiatan yang ada. Aku kesulitan membagi waktu antara kuliah dan kerja. Waktu istirahatku, jadi nggak teratur." Hanum berusaha meraih piring yang berisi sate dan juga lontong. Dia sungguh tidak pandai berbohong. Berkata seperti tadi saja, suaranya sudah bergetar seperti menahan tangis.

"Kamu yakin Pak Aryan tidak menyakiti atau mengabaikanmu?" Dirga belum menjamah makanan di depannya demi mengetahui hal yang sesungguhnya terjadi.

"Tolong jangan bahas itu lagi, Mas."

Kini, Dirga makin yakin jika putra pemilik garment itu telah menyakiti Hanum. Lelaki itu kemudian berdiri dan menggandeng tangan si gadis, meninggalkan meja yang berisi sate serta minuman yang belum sempat dimakan.

"Mas, kita mau ke mana?" Hanum berusaha melepas genggaman tangan Dirga. Tak mau lagi mendengar gosip negatif tentangnya jika ada yang melihat kebersamaan dengan lelaki tersebut. Gosip miring tentang kedekatannya dengan Aryan saja belum mereda.

"Ikut saja. Kamu akan tahu nanti. Dia sudah janji tidak akan menyakitimu, tapi kenapa sekarang malah seperti ini?"

Mau tak mau Hanum mengikuti langkah kaki Dirga, tanpa banyak bertanya. Hampir setengah jam, lelaki itu membawanya berkendara yang entah ke mana tujuannya. Tiba di sebuah bangunan besar, Dirga menghentikan laju motornya. Memencet bel pada rumah besar yang entah siapa pemiliknya.

"Bapak ada?" tanya Dirga pada sang penjaga.

"Ada Mas. Kebetulan beliau baru pulang."

"Terima kasih."

Langkah kaki lebar dengan tangan yang masih menggenggam erat tangan Hanum, Dirga masuk ke rumah besar itu. Sampai di depan pintu, sang lelaki memencet bel dengan brutal.

"Mas, jangan seperti ini. Nggak sopan namanya," keluh Hanum. Sangat takut jika sang pemilik rumah marah.

"Biarkan saja. Pak Aryan sudah menyakitimu. Mas tidak bisa membiarkan ini terjadi."

"Jangan mengambil kesimpulan sendiri, Mas. Aku juga turut andil atas keadaan ini. Mas Dirga nggak tahu apa-apa." Suara Hanum mulai meninggi. Dia tidak menyukai sikap arogan dari Dirga saat ini.

Tepat saat Dirga akan menjawab perkataan Hanum, seseorang membuka pintu.

"Ada apa ini? Kenapa memencet bel dengan sangat keras. Menganggu saja."

Seketika, Hanum seperti dihantam petir melihat orang yang membukakan pintu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Perawan Kegatalan   120. Indah Kebersamaan

    Happy Reading*****"Apakah saya harus keluar," tanya Dirga. Dia sendiri bingung harus berbuat apa jika tetap di dalam. Namun, untuk meninggalkan sang istri yang tengah berjuang melahirkan buah hatinya yang diprediksi perempuan, dia tidak sanggup."Sebaiknya di sini saja, Pak. Bu Hanum lebih membutuhkan kehadiran Pak Dirga," ucap sang dokter.Keluar dan memanggil para perawat serta bidan. Beberapa saat kemudian, mereka semua masuk dan langsung menangani Hanum. Dirga bahkan diminta untuk berada di belakang sang istri dan membantu proses persalinan.Tak terhitung berapa banyak ketegangan yang kini dialami lelaki yang akan segera menjadi ayah yang sebenarnya dari putri kandungnya sendiri. Bulir-bulir keringat mulai turun. Andai bisa menggantikan posisi Hanum saat ini, tentu sudah lelaki itu lakukan. Hanum begitu banyak mengeluarkan tenaga demi menghadirkan buah hati mereka ke dunia ini. Kedua tangannya mencengkeram erat pergelangan Dirga hingga lelaki itu juga merasakan kesakitan. Namun

  • Bukan Perawan Kegatalan   119. Panik Lagi

    Happy Reading*****"Ma, Bunda kenapa?" tanya Azri yang ikut-ikutan panik ketika mengetahui Hanum memegangi perutnya. Tak jarang wanita berperut buncit itu mendesis kesakitan."Bunda sakit perut, Sayang. Kayaknya dedek mau minta keluar," jelas Sabrina, "Mbak, bisa minta tolong panggilkan orang rumah.""Manggil siapa, Bu?" tanya si Mbak yang membantu menjaga Azri selama Sabrina dinyatakan hamil."Siapa saja boleh. Papa kan selalu ada di rumah. Katakan pada beliau jika Mbak Hanum mulai merasakan sakit perut. Kalau ada Mas Dirga malah lebih bagus."Si Mbak mengangguk. "Bagaimana sama Mas Azri, Bu?""Azri biarkan sama saya dulu. Cepat, Mbak. Kasihan Mbak Hanum. Kita harus bawa dia ke rumah sakit," suruh wanita bercadar tersebut. Melihat si Mbak yang menjaga Azri berlari menuju rumah mereka, Sabrina membawa kakak iparnya untuk duduk. "Sakit sekali, ya, Mbak? Sabar, ya. Bentar lagi Papa atau mas Dirga pasti datang. ucapkan istighfar setiap kali sakitnya terasa," saran Sabrina.Patuh, Hanum

  • Bukan Perawan Kegatalan   118. Bahagi Sesungguhnya

    Happy Reading*****Sang dokter cum tersenyum dengan perkataan si sulung. Keluarga Lingga semuanya masuk ke ruang perawatan Sabrina.Perempuan bercadar itu tengah berbaring. Melihat seluruh keluarganya datang menjenguk, senyumnya tampak. Sewaktu diperiksa tadi, Aryan memang membuka cadar yang dikenakan sang istri. "Bagaimana keadaanmu, Yang?" tanya Aryan. mencium kening perempuan yang sudah memberikan begitu banyak kebahagiaan padanya.Sabrina mengambil tangan kanan sang suami, lalu menciumnya penuh hormat dan bahagia. Menatap satu per satu seluruh keluarganya. "Alhamdullilah keadaanku sangat baik, Mas.""Apa kata dokter, Nak?" tambah Septi."Kamu pasti kelelahan menjaga Azri yang sangat aktif. Padahal aku sudah ngasih saran. Sebaiknya, kita nyari orang untuk menemani Azri. Eh, kamu malah nggak mau. Aku jadi nggak enak kalau kamu sampai sakit gini, Bi," kata Hanum. Terlalu lama duduk menyebabkan wanita hamil itu memegang pinggangnya."Aku tidak sakit, lho. Cuma tadi mencium aroma so

  • Bukan Perawan Kegatalan   117. Panik

    Happy Reading *****Secepat mungkin, Aryan menghubungi Dirga dan meminta saudaranya itu menjemput dengan kendaraan roda empat. Papa kandung Azri itu juga meminta si sulung untuk memanggil dokter ke rumah mereka."Ar, kelamaan kalau kita panggil dokter ke rumah. Minta masmu untuk mengantar ke klinik terdekat saja," sahut Septi.Menganggukkan kepala, Aryan meminta Dirga untuk segera datang dan membawa mereka ke klinik terdekat. "Kenapa kamu, Bi. Padahal tadi baik-baik saja," gumam Aryan.Melihat para orang dewasa kebingungan, Azri menarik-narik ujung kaos yang digunakan oleh kakeknya. Mukanya menatap penuh tanya pada Lingga."Mama lagi sakit, Nak. Azri diam dulu, ya. Sebentar lagi, Ayah datang menjemput." Lingga mencoba memberi pengertian pada bocah kecil itu."He em," ucap si kecil sambil menganggukkan kepala.Tak berselang lama, Dirga sudah datang bersama dengan Hanum. Mereka berdua turun dari mobil dan menghampiri Aryan yang sudah mengangkat istrinya di sebuah bangku taman."Kenapa

  • Bukan Perawan Kegatalan   116. Panik

    Happy Reading*****Waktu berjalan begitu cepat, kandungan Melati dan Hanum kini sudah memasuki bulan ke tujuh. Aryan dan keluarga juga sudah kembali ke Indonesia setelah pengobatan panjang yang harus dia jalani.Perlahan, tetapi pasti. Kesehatan suami Sabrina itu berangsur membaik. Aryan sudah mulai hidup normal selayaknya dulu sebelum kecelakaan walau benih yang dihasilkan masih belum bagus. Semua berkat ketelatenan Sabrina. Setiap sesi pengobatan Aryan, perempuan bercadar itu ikut dan bertanya ini itu. Sama sekali tidak malu sekalipun yang perempuan itu tanyakan sedikit vulgar menurut suaminya.Antara bangga dan juga malu, tentu dirasakan Aryan. Mungkin perbedaan kultur yang membuat perempuan itu menjadi lebih terbuka membicarakan masalah seks. Setiap kali sang suami bertanya mengapa dia berani bertanya pada dokter. Jawaban Sabrina adalah karena apa yang ditanyakan bukanlah menjurus pada mesum, tetapi ilmu yang harus dia pelajari demi kesembuhan Aryan.Pagi ini, Aryan berjanji pada

  • Bukan Perawan Kegatalan   115. Rendah Diri

    Happy Reading*****Mendapat kabar gembira dari sang istri, Dirga segera menelepon orang tuanya yang masih berada di luar negeri menemani Aryan. Berkali-kali Hanum mendapat selamat dan juga ciuman baik dari ibu, adik maupun sang suami. Mereka semua sangat bahagia mendapat kabar kehamilan perempuan itu.Panggilan terangkat oleh Septi, wajah perempuan paruh baya itu terlihat. "Ya, Mas. Apa kabar? bagaimana keadaan cucu Mama? Apa dia sehat-sehat saja."Selalu saja, para orang tua tiap kali menelepon atau ditelepon pertama kali yang ditanyakan adalah keadaan Azri. sepenting itu memang bocah gembul yang sudah bisa berjalan itu."Azri baik, Ma. Gimana kabar Mama sama Papa?""Papa baik, Mas," jawab Lingga. Wajahnya sudah muncul di layar ponsel milik Septi. "Mas, kameranya arahin ke Azri, dong. kangen nih," sahut Aryan yang hanya terdengar suaranya saja.Dirga mengarah kamera pada Azri yang tengah berjalan dengan ditemani sang adik ipar. bocah gembul itu tertawa-tawa ketika bisa mencapai ad

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status