Share

Bukan Perawan
Bukan Perawan
Author: Erna Azura

Salah Kamar

Langit Jingga terkesiap saat tangannya ditarik ke dalam kamar hotel oleh pria yang tidak dia kenal.

Pria itu menutup pintu menggunakan kaki sampai menimbulkan debuman kencang dan pintu otomatis terkunci.

Belum hilang keterkejutan Jingga oleh gerakan pria itu yang tiba-tiba dan suara pintu yang membuat telinga mendengung—tanpa aba-aba sang pria mencium bibirnya dengan kasar.

Siapa pria ini?

Jangan-jangan dia salah kamar?

Tanpa bersedia membiarkan Jingga bicara, pria itu mencekal kedua tangannya di atas kepala sambil merapatkan tubuh mendesak Jingga ke tembok.

Jingga meronta namun sayang tenaganya kalah jauh.

Tangan kiri pria itu mencekal kedua tangan Jingga sementara satu tangannya lagi menggerayangi tubuh Jingga, menjelajah mulai dari bagian ujung rok dan bersama dengan usapan tangan kekarnya sang pria membawa rok Jingga ke pinggang.

Satu kaki pria itu berhasil menyelip di antara kedua paha Jingga yang roknya sudah tidak berguna lagi menutupi bagian bawah tubuhnya karena telah melingkar di pinggang.

Jingga jadi tidak bisa berkutik, pria itu mengunci pergerakannya.

Lama kemudian sang pria mengurai pagutan saat Jingga nyaris kehabisan napas.

Napas Jingga tersengal, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

“Apa-apaan ini? Lo siap—“

Kalimat Jingga teredam karena bibirnya dibungkam kembali oleh bibir pria yang Jingga sendiri tidak tahu siapa namanya.

Kali ini pria itu bukan hanya mencium Jingga tapi juga mengangkat bokong Jingga dan menuntun kedua kakinya melingkar di pinggang.

“Turunkan gue!” Jingga berseru dengan satu tangan melingkar di leher pria itu sebagai pegangan sementara yang satu lagi memukul-mukul pundak tegap dan bidangnya.

Jingga juga mencakar lengan sang pria yang tampak tidak terpengaruh sedikitpun.

“Tolooooong!” teriak Jingga namun harus berhenti karena pria bertubuh atletis itu menjatuhkannya ke atas ranjang.

Gaya pegas dari per di dalam kasur sampai membuat tubuh Jingga memantul.

“Aaarrrggghh!”

Netra Jingga menatap nyalang pria yang sekarang bisa dia lihat wajahnya dengan jelas.

Mata pria itu sayu berkabut hasrat seperti dalam pengaruh obat, pipinya sedikit merah.

Pria itu juga memiliki rahang tegas yang sudah ditumbuhi bulu halus dan yang membuat mata Jingga semakin terbelalak adalah pria itu sedang membuka satu persatu kancing kemejanya.

Jingga berusaha menghindar dengan mencoba merangkak untuk turun dari tempat tidur dari sisi yang lain tapi pria itu masih sempat menarik kaki Jingga kemudian menindihnya dengan dada bidang yang telah polos.

Pria itu kembali mencekal kedua tangan Jingga di atas kepala sementara bibirnya sibuk mencium bibir Jingga dengan gerakan menuntut.

“Emmppphhh….” Jingga meronta sekuat tenaga.

Peluh mulai bercucuran, panik mendera Jingga dan dia menjerit saat hanya sekali tarikan saja pria itu berhasil membuka kancing kemejanya sampai bulir kancing berhamburan ke lantai.

Dan saat itu juga Jingga tahu dirinya akan berakhir seperti apa malam ini.

“Ja … ngaaan.” Jingga memohon saat pria itu dengan kekuatan penuh menarik turun celana dalamnya.

Air mata mulai merebak, dia mencoba melepaskan diri dari pria itu.

Dan lagi-lagi usaha Jingga tidak berhasil, dia harus kembali berbaring di atas ranjang karena pria itu menindihnya tapi sekarang pria itu sudah melepaskan celana.

“Aku … mohon … lepaskan aku.” Jingga melirih terbata merasakan milik pria itu menekan bagian intinya.

“Toloooong.” Jingga kembali berteriak sekuat tenaga.

Mungkin karena panik, pria itu membekap mulut Jingga kemudian mencekik lehernya.

Jingga sempat meronta menggunakan sisa tenaga lalu mengendur agar pria itu melepaskan cekalan di lehernya sebelum dia mati kehabisan napas.

Usaha Jingga membuahkan hasil, pria itu memindahkan tangannya dari leher membuat Jingga akhirnya bisa bernapas dengan benar.

Sedari tadi pria itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan ketika terdengar geraman tertahan—detik berikutnya Jingga merasakan dirinya seperti terbelah.

Pria itu memaksa masuk.

Tubuh Jingga menegang, dia menahan napas entah sudah berapa lama sambil berlinang air mata karena baru menyadari kalau sekarang dia bukan perawan lagi.

Pria itu merenggut paksa sesuatu paling berharga yang mati-matian Jingga jaga seumur dua puluh lima tahun hidupnya.

Ciuman pria itu beralih ke leher Jingga sementara pinggulnya bergerak menghentak.

Sakit yang teramat sangat dirasakan Jingga, dia sudah tidak memiliki tenaga untuk meronta.

Jingga hanya bisa menoleh ke sebelah kanan, tatapannya kosong pada jendela besar yang tertutup tirai.

Tubuh Jingga berguncang setiap kali pria di atasnya menghentak.

Jingga bagai mayat kaku, dia tidak bergerak tidak menikmati juga setiap sentuhan pria itu.

Karena semestinya momen melepaskan keperawanan ini dilakukan setelah prosesi pernikahan dengan Davian Raziel Dharta-tunangannya, pria yang dia cintai.

Bukan oleh pria asing yang tidak dia kenal.

Lalu bagaimana Jingga menjelaskan semua ini kepada Davian?

Pria itu kemudian melengkungkan punggung, bibirnya bergerak turun menghujani dada Jingga dengan kecupan.

Jingga mencoba menahan kepala pria itu menggunakan tangan agar kecupannya tidak terus turun tapi sekeras apapun dia berusaha mempertahankan diri dan berteriak—pria itu akan selalu bisa mendapat keinginannya seperti saat ini, dia berhasil meraup puncak di dada Jingga menggunakan mulutnya.

Air mata Jingga mengalir semakin deras, samar dia terisak dan bersamaan dengan itu pria di atasnya telah berhasil mencapai puncak kenikmatan.

Pria itu bergulir ke samping sambil menarik selimut menutupi tubuh Jingga dengan asal.

Lalu berbaring terlentang, matanya terpejam dengan satu lengan dia simpan di atas kening.

Cukup lama hening mencekam menjadi satu-satunya suasana saat itu, Jingga mendengar napas pria di sampingnya berubah teratur.

Dia menoleh ke samping, menatap pria yang berhasil merenggut kehormatannya secara paksa.

Masih belum mengerti kenapa pria itu berbuat keji padanya.

Jingga menatap pria itu lamat-lamat dari samping, wajahnya tampan rupawan dan tidak terlihat seperti pria brengsek.

Entah sudah berapa lama Jingga diam kaku tidak bergerak.

Setelah merasa tenaganya telah terkumpul kembali, dengan sangat perlahan Jingga menurunkan kakinya.

Perih terasa di pangkal paha tapi dia harus segera pergi sebelum pria itu tersadar.

Sambil tertatih menahan sakit di bagian intinya, Jingga menjauh dari area tempat tidur, dia merapihkan pakaiannya sambil bersembunyi di balik lemari.

Jingga hendak pergi tapi langkahnya tertahan, dia kembali ke area tempat tidur, mengendap-ngendap mencari sesuatu.

Tidak membutuhkan waktu lama sampai dia menemukan celana pria itu teronggok di lantai.

Jingga meringis saat harus berjongkok meraih celana pria itu dan mengeluarkan dompet.

Dia mengambil kartu identitas sang pria yang kemudian dimasukan ke dalam tas.

Jantungnya berdetak kencang, kepala Jingga dengan sering menoleh ke atas ranjang menatap was-was dengan mata bulatnya.

Hanya punggung bidang dengan gurat otot trapezius yang dilihat Jingga sekarang karena pria itu sudah mengubah posisi tidur menjadi telungkup.

Jingga mengambil kesempatan tersebut dengan berjalan cepat menuju pintu mengabaikan rasa sakit yang mendera di bagian yang telah terenggut paksa.

Air mata Jingga kembali berlinang seiring langkahnya menyusuri lorong untuk tiba di lift.

Sakit bukan hanya dibagian intinya saja tapi juga di hatinya karena telah mengecewakan Davian.

Sesekali Jingga menoleh ke belakang, dia khawatir pria itu bangun dan mengejarnya lalu membawanya kembali ke kamar untuk dibunuh agar kejadian ini tidak terungkap.

Pintu lift akhirnya terbuka, Jingga masuk dan berulang kali menekan tombol agar pintu lift tertutup.

Dia baru bisa sedikit lega setelah lift mulai bergerak turun.

Jingga bersandar punggung pada dinding lift yang kosong sembari bernapas dengan benar kemudian melangkah gontai menyebrangi loby hotel dengan telanjang kaki saat pintu lift terbuka.

Dia memilih menenteng heels tidak mempedulikan tatapan aneh dari petugas hotel dan tamu hotel yang berpapasan dengannya.

“Taksi,” kata Jingga kepada sekuriti yang mengerutkan kening menatapnya dari atas hingga bawah.

Jingga memang berantakan sekali, dia menarik kedua sisi kemejanya yang sudah tidak memiliki kancing.

Rambut Jingga dan makeup-nya pun berantakan.

Tanpa ingin ikut campur urusan Jingga, sekuriti itu berusaha membantu dengan sigap memanggilkan taksi dan tidak lupa membuka pintunya setelah taksi sampai di depan mereka.

“Pak, ke kantor polisi terdekat …,” kata Jingga kepada sang driver.

Pria yang duduk di belakang kemudi melirik Jingga sekilas dari kaca spion tengah kemudian mengangguk samar dan mulai mengemudikan kendaraannya ke tempat yang Jingga tuju.

Hanya lima belas menit perjalanan taksi membawa Jingga sampai di kantor polisi, dia turun usai membayar ongkos taksi.

Seketika hati Jingga berdenyut ngilu, tangisnya kembali pecah mengingat apa yang baru saja terjadi padanya.

Jingga disambut oleh seorang petugas polisi karena tampak berantakan dan linglung.

“Pak tolong saya, Pak … saya baru diperkosa.” Jingga meraung melepaskan tangis di detik berikutnya.

“Mari Bu, tenangkan dulu diri Ibu sebelum cerita … Ibu aman di sini.”

Petugas polisi yang seusia dengan papanya itu memapah Jingga ke dalam gedung.

Bisa sang petugas rasakan kalau tubuh Jingga bergetar hebat.

“Duduk dulu di sini ya, Bu.”

Sang petugas mendudukan Jingga di depan sebuah meja, dia meminta office boy untuk membawakan minum.

Petugas jaga di Polsek itu menatap Jingga lekat saat Jingga sedang mencoba menenangkan dirinya dengan berkali-kali meraup udara dalam-dalam.

Terdapat memar di leher dan pergelangan tangan Jingga yang samar terlihat meyakinkan petugas polisi itu tentang apa yang diadukan Jingga.

Office boy datang membawa satu botol air mineral, masih dengan tangan bergetar Jingga meraih botol itu dan meminum isinya.

Setelah dirasa Jingga terlihat lebih tenang, sang petugas pun mulai bertanya.

“Coba ceritakan dari awal, apa yang terjadi dengan Ibu.”

Dan Jingga mulai menceritakan semuanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yahya 02
sangat seru dan menarik sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status