Share

Melaporkan

FLASHBACK ON

Suara musik dengan volume kencang memekakan telinga Jingga.

Kalau bukan karena sahabat semasa kecilnya yang berulang tahun, dia tidak akan mau memaksakan diri pergi ke Bali di akhir minggu yang seharusnya bisa dihabiskan untuk beristirahat setelah lima hari bekerja mengejar target.

Gadis yang sekarang menjabat sebagai Tim Leader Marketing Kartu Kredit di sebuah Bank Swasta milik Amerika itu sengaja mengambil pernerbangan terakhir di hari jum’at yang hectic ini untuk bisa bergabung bersama ghenknya merayakan ulang tahun Kiara Zenia di salah satu Beach Club di Bali.

Jingga menyimpan kopernya di resepsionis karena semua sahabatnya tidak bisa dihubungi dan si pria resepsionis tidak mau memberitahu di mana kamar yang telah di-booked olehKiara.

Kiara meminta incognito karena dia baru memutuskan hubungan dengan sang kekasih yang bisa saja menyusul ke Bali mencari keberadaannya karena belum bisa move on.

Karena hal itu lah, Jingga yang masih menggunakan seragam kerja hanya menanggalkan blazer yang dia masukan ke koper—langsung menuju Beach Club tempat sahabatnya merayakan ulang tahun.

Jingga celingukan mencari keberadaan mereka kemudian lambaian tangan bersama senyum khas Ghea menarik perhatiannya membuat langkah Jingga terayun ke sana.

“Jinggaaaaaa.” Ketiga sahabatnya berteriak girang karena akhirnya mereka bisa berkumpul.

“Happy birthday, sayangnya gue.” Jingga memeluk Kiara erat tidak lupa melabuhkan kecupan di pipi kiri dan kanannya.

“Sumpah ya, gue pikir lo enggak jadi datang … soalnya lo cuma bilang ‘liat nanti’. Kiara membengkokkan bibirnya di akhir kalimat mencibir Jingga yang kemudian tergelak.

“Kan biar surprise,” katanya beralih pada Ghea dan Sabila untuk memberikan kecupan di pipi kiri dan kanan.

“Pesen minum dulu ya.” Kiara memanggil pelayan.

Begitu pelayan datang, Jingga memesan makanan dan minuman karena dia melewatkan makan siang untuk menyelesaikan pekerjaannya agar bisa keluar tepat waktu dari kantor untuk mengejar pesawat.

Usai pelayan pergi membawa catatan pesanan Jingga, gelak tawa mengudara menarik perhatian kaum Adam yang ada di sana.

“Lo pake incognito segala, gue enggak bisa akses kamar kita jadi koper gue di simpen di loby.” Jingga menggerutu.

“Enggak apa-apa, nanti kita mau ke kamar ‘kan lewat loby … jadi sekalian bawa.” Kiara menyahut enteng.

“Dapet tiket pesawat juga lo?” Ghea yang bertanya.

“Iyaaa, pakai si burung biru gue … mana mehong banget tiketnya karena gue baru beli tadi pagi.” Jingga jadi bersungut-sungut.

“Jangan kaya orang susah lah, lo udah jadi tim Leader … gaji lo udah gede juga.”

Jingga mendelik sebal yang dibuat-buat ke arah Kiara.

Meski ayahnya seorang Regional CEO di Bank milik pemerintah tapi Jingga diajarkan untuk hemat jadi sesungguhnya perjalanan ke Bali untuk membahagiakan sang sahabat membutuhkan Effort yang besar bagi Jingga.

Mereka larut dalam canda dan tawa hingga tanpa terasa waktu sudah melewati tengah malam dan mereka harus pulang ke kamar untuk beristirahat karena jadwal jalan-jalan besok sangat padat mulai dari pagi.

Tidak ada yang mabuk malam ini, mereka menjaga kewarasan agar bisa menikmati liburan bersama yang sudah jarang dilakukan karena kesibukan masing-masing terutama Jingga yang semenjak bekerja di Bank waktunya seolah tercurah untuk pekerjaan.

“Eh Davian telepon … gue angkat dulu ya, kalian duluan ke kamar.”

Jingga harus menjauh untuk menjawab panggilan video dari sang tunangan yang telah berbaik hati memberi ijin meski Jingga tahu kalau Davian berat sekali melepasnya pergi ke Bali sendirian.

“Oke, koper lo gue bawa ya …,” ujar Sabila-si paling pengertian.

“Thanks yaaaa.”

Jingga tidak jadi menaiki lift, dia kembali ke loby untuk menjawab panggilan Davian.

“Hai sayang,” sapa Jingga sambil tersenyum mengarahkan kamera ponsel ke depan wajahnya.

Dia dan sang tunangan sudah tersambung dalam panggilan video.

“Hai Babe … belum tidur?” Suara berat di sebrang sana bertanya dengan keningnya yang mengkerut seakan tidak suka melihat Jingga masih mengenakan pakaian kerja dan belum berada di kamar.

“Baru keluar dari Beach Club … ini mau ke kamar tapi jawab video call dari kamu dulu.”

“Oooh … langsung bersih-bersih terus tidur ya, kamu udah makan, kan?”

Jingga menganganggukan kepala disertai senyum paling manis yang membuat Davian begitu merindukannya.

“Ya udah, besok pagi aku telepon kamu lagi.”

Davian hanya ingin memastikan kalau Jingga baik-baik saja.

“Mimpi indah ya sayang.” Suara lembut penuh cinta itu membuat Davian tersenyum.

“Kamu juga,” balas Davian menjadi akhir dari percakapan mereka.

Jingga kembali menuju area lift lalu masuk dari pintu yang terbuka.

Tadi Kiara sudah memberitahu nomor kamarnya dan tidak lama lift berhenti di lantai yang dituju.

Seingat Jingga, tadi Kiara menyebutkan angka 325 untuk kamar mereka yang bertipe suite.

Tapi entah kenapa Jingga ragu. “325 apa 352 ya?” Jingga bergumam.

Kebetulan angka yang pertama dia temui adalah kamar dengan angka 325 seperti yang pertama dia ingat.

Apa salahnya mengetuk, jika tidak ada jawaban berarti kamar itu kosong dan kalau salah kamar pun dia tinggal minta maaf lalu pergi mencari kamar 352.

Jangan harap bisa menghubungi teman-temannya karena ponsel mereka mati semua.

Jingga menekan bel lalu mengetuk pintu dengan nomor 325.

Dan ketika pintu terbuka, kejadian malang menimpanya.

FLASHBACK OFF

“Ini KTP-nya Pak, saya sengaja ambil dari dompetnya sebelum kabur … di kuku jari saya ada DNA-nya … sengaja tadi saya cakar dia,” ucap Jingga dengan tangan bergetar memberikan kartu identitas yang sempat dia curi dari dompet si pelaku.

Beruntung Jingga sering menonton serial Crime Scene Investigation, itu kenapa dia lebih memilih langsung mendatangi kantor polisi dari pada mencari kamar sahabatnya.

Jingga juga dia tidak mungkin memberitahu Davian yang kebetulan menjabat sebagai Kapolsek di suatu daerah di Jakarta.

Jingga belum siap memberitahu Davian mengenai tragedi ini.

Selama berpacaran dengannya, Davian selalu menjaga Jingga.

Tidak pernah melewati batas, tunangannya itu hanya sampai mencium bibirnya saja tidak pernah berbuat terlalu jauh.

Petugas polisi yang membaca kartu identitas si pelaku mengembuskan napas berat, dia menatap Jingga iba.

“Sebentar ya,” kata sang petugas kemudian pergi lalu kembali bersama seorang petugas wanita.

“Ibu akan diantar bu Lia ke rumah sakit untuk melakukan visum … saya sudah buatkan surat pengantarnya berdasarkan laporan ibu barusan.”

Jingga menganggukan kepala, dia yang tubuhnya lemas dibantu petugas polisi wanita agar bisa berdiri dan masuk ke dalam mobil polisi untuk melakukan visum di rumah sakit .

Jingga berjanji dalam hati, pria yang telah melecehkannya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.

***

“Apakah Ibu yakin akan membuat laporan kepada pria ini?”

Adalah pertanyaan aneh yang Jingga dengar dari petugas polisi lain yang entah apa pangkatnya.

Sekembalinya dari rumah sakit usai melakukan visum, Jingga di tangani oleh petugas yang lain berpakaian preman.

“Kenapa Bapak nanya gitu? Saya udah diperkosa Pak, dengan keji pria itu melecehkan saya … merenggut kehormatan saya.” Jingga menjawab di sela isak tangis.

“Ibu tahu siapa pria ini?” Petugas polisi mendorong kartu identitas pria yang melecehkan Jingga, di atas meja.

“Siapa? Memangnya hukum pilih-pilih? Sekalipun dia anak Jendral … dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!” Jingga jadi emosi, intonasinya naik beberapa oktaf.

“Benar … dia anak Jendral, Bumi Xabiru Dewangga adalah anak dari Yuna Dewangga … seorang Panglima TNI.”

Jingga terkesiap mendengar informasi yang disampaikan petugas polisi di depannya.

Dia tercenung beberapa saat, satu yang ada dalam benaknya sekarang adalah mungkin dia tidak akan pernah mendapatkan keadilan.

“Kami akan memanggil terlapor ke sini, kemungkinan dia masih ada di TKP ….”

Tidak ada respon dari Jingga, dia masih termenung karena dipengaruhi oleh prasangka buruk.

Petugas polisi kemudian pergi meninggalkan Jingga di ruangan itu.

Dan setelah terdengar suara pintu di tutup, Jingga kembali menangis.

Jingga menangkup kedua tangannya di wajah dan mulai meraung meratapi nasibnya.

“Maafin aku … Davian.” Jingga melirih pilu.

Di antara rasa takut, bingung dan kekhawatiran yang melanda Jingga—tiba-tiba ponselnya berdering.

Nama Kiara muncul di layar.

“Kiaaaraaaa.” Jingga menangis memanggil nama sahabatnya.

“Jingga … lo di mana? Lo kenapa?” Kiara terdengar panik.

“Gue ada di kantor polisi … gue diper … ko … saaaaa.” Jingga menangis, terbata menjawab pertanyaan Kiara.

“Apaaa? Kenapa bisa? Ke—“

Kiara menghentikan kalimatnya, dia panik dan tidak percaya.

“Lo tunggu di sana … gue sama Ghea dan Sabila ke sana sekarang.”

Sambungan telepon sengaja diputus sepihak oleh Kiara karena harus membangunkan dua sahabatnya yang sudah terlelap lebih dulu.

Jingga kembali menangis, dia sedang menimbang apakah perlu menghubungi ayahnya sebab dia tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendirian.

Dia butuh Papa.

Sambil bergetar, jempol Jingga menekan panggilan cepat untuk menghubungkannya dengan Papa.

“Hallo sayang? Kamu enggak apa-apa, kan?”

Baru dua kali nada dering saja, Papa sudah menjawab panggilan teleponnya.

Mendengar pertanyaan itu dari Papa membuat Jingga kembali menangis.

“Papaaa.”

“Jingga … kamu enggak apa-apa, kan?”

Papa Reza mengulang pertanyaan, kali ini intonasi suaranya meninggi karena cemas.

Beliau tahu kalau putrinya terbang ke Bali langsung dari kantor sepulang kerja.

Dan tadi sempat terjaga karena bermimpi buruk lalu ponselnya berdering mendapat panggilan dari Jingga.

Seketika perasaan Papa jadi resah.

“Papa … maafin Jingga … sekarang Jingga di kantor polisi, Jingga abis diperkosa, Paaaa.”

“Apa!!!”

Jantung Papa Reza seketika menaikkan tempo debaran, beliau langsung mendudukan tubuhnya dari posisi berbaring.

“Kamu di kantor polisi mana, Nak? Beritahu Papa … Papa ke sana sekarang, kamu tenang ya … jangan panik, semua akan baik-baik aja, Papa janji.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status