Pak Prabu baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat Bu Airin mendekat. "Kita makan malam dulu, Pa." Pria itu keluar kamar bersama istrinya. Di atas meja sudah tersedia opor ayam, perkedel kentang, dan sayur sawi."Mana Bumi?""Dia lagi ada acara sama teman-temannya," jawab Bu Airin sambil mengambilkan nasi untuk suaminya."Kenapa Papa pulangnya malam banget hari ini?""Papa ada janji ketemuan sama orang tadi." "Relasi?""Hmm," jawab Pak Prabu sambil menyuap nasi. Bu Airin memandang dengan tatapan menyelidik. Beliau tak puas dan curiga dengan jawaban suaminya."Beneran relasi? Ketemuan malam-malam begini?""Dulu Mama sering juga nemeni Papa ketemuan sama mereka waktu malam kan? Jangan bilang kalau Mama curiga, kalau mau macam-macam sudah sejak papa masih muda dulu, Ma. Mau punya bini tiga pun Papa sanggup."Bu Airin langsung melotot tajam pada suaminya, yang dipelototi tetap santai menyuap nasi. "Emang dulu Papa ada niatan mau nikah lagi?" Pak Prabu tertawa. "Gimana mau nikah
Wanita itu menarik napas dalam-dalam untuk meredam gemuruh di dadanya. Senja belum pernah bertemu dengan saudaranya Sabda. Makanya dia tidak tahu karakter orangnya seperti apa."Ayo!" Sabda meraih jemari istrinya."Mas Chandra dan istrinya itu orangnya bagaimana?""Bagaimanapun mereka, aku akan tetap mengenalkanmu. Mumpung mereka ada di apartemen."Senja akhirnya mengangguk. Dia segera turun dari mobil dan Sabda menggandengnya berjalan ke arah lift. Keluarga suaminya akan menjadi keluarganya juga. Walaupun mungkin tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan keluarga yang berbeda. Terlebih dengan latar belakang seperti kisahnya.Kembali ditariknya napas dalam-dalam ketika sudah berdiri di depan pintu apartemen.Sabda membuka pintu, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah kakak iparnya yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu sambil mengelus perut besarnya. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawab wanita berambut sebahu sambil membenahi duduknya. Tata terkejut saat melihat Senja
"Menuduh tanpa bukti jatuhnya fitnah, Mbak. Begitu pentingkah ini dibahas?" Sabda bersuara."Tentu saja. Ini simbol harga diri seorang gadis."Sabda lekas berdiri dan pergi dari sana. Tidak ada gunanya bicara dengan seorang terpelajar lulusan National University of Singapore, tapi tak punya attitude. Dia seperti tidak mengenali kakak iparnya, selama ini wanita itu sangat baik dan realistis. Entah kenapa malam ini memojokkan Senja hanya karena dia mantan pacar sepupu mereka.Ketika sampai di kamar, Sabda melihat Senja sudah tertidur dengan posisi membelakanginya. Dibenahi selimut Senja tanpa mengganggunya. Di matikannya lampu kamar, lantas menyentuh lampu tidur touch sensor di atas kepala ranjang.Di pandangi langit-langit kamar dalam cahaya yang temaram. Apa yang dikatakan kakaknya tadi menjadi pikirannya sekarang. Persiapan lamaran yang telah matang. Gila, bagaimana hal itu bisa terjadi sementara dirinya tidak pernah diajak membahasnya. Apa dipikir dia masih segila itu pada Bela?Dul
Sabda menoleh ketika kaca pintu mobilnya diketuk oleh seseorang. Diturunkannya kaca dan mereka bicara sebentar. Mobil Sabda mengikuti laki-laki tadi bersama seorang rekannya yang jadi agen properti masuk ke kawasan perumahan dan berhenti tepat di sebuah bangunan yang siap huni. Mereka turun dan masuk dalam rumah. Tipe rumah 70 adalah pilihannya, yang merupakan tipe rumah termasuk paling luas untuk ukuran hunian kelas menengah. "Saya akan menyelesaikan transaksi hari Selasa, karena hari Senin saya masih ada meeting." Sabda bicara pada pria bertubuh kerempeng, seorang agen properti.Mereka akhirnya sepakat ketemuan hari Selasa di kantor pemasaran Graha Persada.💦 💦 💦Pukul satu siang Sabda dan Senja sampai di rumah Bu Hanum. Mereka hanya berhenti dua kali untuk sarapan dan istirahat sejenak di rest area. Rumah sangat ramai, beberapa kerabat dan tetangga sibuk rewang di sana. Aroma masakan yang sudah matang menguar dan tercium hingga di ruang depan.Bu Hanum sangat senang melihat S
Senja menahan tawa ketika melihat Sabda kedinginan hingga giginya gemertak. Bibirnya bergetar dan pucat. Padahal ia sudah memakai jaketnya. Senja mengambil selimut dan menangkupkan ke tubuh suaminya. "Dinginnya luar bisa, hampir beku tadi. Kamu bisa tahan, ya?""Aku sudah biasa mandi sebelum subuh, Mas. Dibiasakan gini sama ibu sejak aku masih kecil dulu."Padahal Sabda juga hidup dengan AC setiap hari, hanya saja dia mandi pakai air hangat. Nah ini tadi mandi di bak mandi dengan air yang tertampung di sana sejak semalam. Hingga dinginnya minta ampun."Kamu bisa tahan, ya?""Karena sudah biasa. Sebentar aku buatin teh panas." Senja keluar kamar. Bu Hanum sedang menyiapkan bahan untuk membuat sarapan. Wanita itu tersenyum melihat Senja dengan rambut basahnya sebelum subuh. Dengan cekatan Senja membuat teh panas dan memasak mie instan kuah rasa soto ayam. "Nak Sabda berangkat jam berapa?" tanya Bu Hanum sambil mengeluarkan sayur kangkung dan ayam dari dalam kulkas."Habis Salat Subuh,
Jam sembilan pagi mobil Sabda memasuki halaman rumah orang tuanya. Di garasi yang sudah di buka, tiga mobil masih ada di sana. Syukurlah, kedua orang tuanya pasti berada di rumah.Baru saja dua langkah memasuki ruang tamu, Sabda dikejutkan oleh satu tamparan keras yang mengenai rahang kirinya. Bu Airin memandang putranya dengan kilatan kemarahan yang meluap-luap. "Kurang ajar kamu, Sabda. Bisa-bisanya kamu membohongi kami," teriak sang mama. Teriakan yang membuat papanya muncul dari dalam. Juga adiknya dan Mbok Sum, diikuti oleh Mbak Rini, pekerja paruh waktu di rumah besar itu."Mana perempuan itu? Mana?" teriak mamanya lagi. "Bisa-bisanya kamu bertindak bodoh. Menikahi dia tanpa berpikir panjang.""Ma, sudah. Ayo kita duduk dan bicara baik-baik." Pak Prabu bicara dengan tenang sambil meraih lengan istrinya."Gimana bisa tenang, Pa. Anakmu sudah nggak menghargai kita sebagai orang tuanya."Pak Prabu mengandeng Bu Airin dan mengajaknya duduk di sofa. Mbok Sum dan Mbak Rini kembali ke
Hidup adalah pilihan. Sabda memilih bertahan dengan Senja yang sudah sah menjadi miliknya, meski pernikahan mereka awalnya karena terdesak keadaan. Bukan kembali pada cinta lamanya yang pernah mengukir kisah manis bersamanya.Meski bersama Senja penuh rintangan, kalau dengan Bela sudah dipastikan restu di dapatkan dari seluruh anggota keluarga. Namun pilihan tetap pada perempuan yang sudah menjadi haknya."Setelah ini Mas mau tinggal di mana?" tanya Bumi yang mengikutinya ke kamar. Saat Sabda memasukkan benda-benda yang perlu di bawanya. Sabda hanya membawa beberapa setelan mahal yang ada di lemari bajunya."Mas sudah mendapatkan tempat tinggal. Cuman belum tahu kapan akan pindah. Sementara ini Mas akan nge-kost dulu," jawab Sabda sambil memasukkan koleksi jam tangannya ke dalam travel bag ukuran sedang. Khusus benda yang merupakan hadiah dari mamanya sengaja ditinggalkan."Ngekos di mana?""Belum tahu, nanti baru mau nyari."Tampak sekali Bumi cemas ketika hendak ditinggal sang kakak
"Mereka kan orang kaya, Ja. Kita hanya orang dusun yang nggak setara dengan mereka.""Ibu jangan khawatir. Kami baik-baik saja." Senja menenangkan ibunya, meski dalam hati ketar-ketir juga. Jika ibunya tahu pasti beliau sangat sedih.Untuk mengalihkan pembicaraan. Senja membahas hal lain. "Buk, dulu di sawah Mbah Dullah sana banyak tanaman mendong, kan? Sekarang kok nggak ada satu pun." Senja menunjuk sawah yang berada di pinggir dan di kelilingi pohon kelapa yang menjulang tinggi.Tanaman mendong ini untuk bahan tikar. Dulu menjadi komoditas yang menjanjikan. Waktu Senja masih kecil banyak kaum perempuan di desanya yang menganyam tikar mendong."Sekarang mana laku tikar seperti itu, Ja. Apalagi ketika tikar berbahan plastik buatan pabrik telah menyerbu pasar desa. Lagian sudah nggak zamannya hari gini tidur di atas dipan dengan alas tikar mendong. Walaupun di rumah kita ibu masih punya banyak tikar mendong.""Iya, Buk. Spring bed saja sekarang sudah terbeli oleh masyarakat pedesaan."