Home / Romansa / Bukan Pernikahan Biasa / Part 7 Malam Di Pelabuhan

Share

Part 7 Malam Di Pelabuhan

last update Last Updated: 2022-07-11 20:10:20

Senja bernapas lega setelah Sabda menarik diri dan kembali menghadap ke depan. Pria itu merasa puas saat melihat wajah malunya Senja. Rintik Senja. Nama yang unik dan menarik.

Mobil memasuki pusat kota dan melaju di jalan tol. Kerlip lampu-lampu kota terlihat dari ketinggian. Senja memandang ke samping, debar di dadanya belum juga reda. Dulu, dia akan menikmati suasana seperti ini bersama Arga saat mereka punya kesempatan untuk makan malam di luar.

"Namamu bagus ya. Rintik Senja. Kamu dilahirkan waktu senja?" tanya Sabda setelah beberapa saat mereka saling diam.

Senja memandang pria di sebelahnya. "Iya. Aku lahir menjelang senja, pada saat hujan gerimis, kata Ibuku."

"Kamu tahu, waktu aku harus nikahi kamu. Nina lah yang kutanyai nama lengkapmu. Untungnya aku langsung ingat. Lucu, mau nikah tapi tidak tahu nama lengkap perempuan yang akan dinikahi."

"Orang cerdas pasti mudah menghapal," puji Senja yang membuat Sabda tersenyum.

"Darimana kamu tahu kalau aku cerdas?"

"Seorang akuntan pasti cerdas. Ilmu matematika pasti hafal di luar kepala."

"Matematika ilmu pasti sedangkan akuntansi ilmu terapan. Dalam akuntansi matematik digunakan sebagai sarana berhitung dan berpikir logis. Seorang akuntan hanya harus mampu mempraktikan profesi akuntasi. Mampu melakukan fungsi bisnis dan mampu menerapkannya di dunia kerja. Fleksibel menurutku. Kurasa kamu pun tahu, kamu juga kuliah di jurusan ekonomi."

"Enak ya ngomong sama orang cerdas tuh!"

"So, pasti. Beruntunglah kamu memiliki suami yang cerdas." Tawa berderai mewarnai percakapan mereka. Candaan yang membuat denyar aneh dalam benak Senja.

"Ada yang ingin kubicarakan sama kamu. Tapi nanti saja setelah kita sampai di pelabuhan."

Senja mengangguk menanggapi kalimat Sabda yang berubah serius dan menimbulkan riak penasaran di hati gadis itu. Ada apa? Apakah pernikahan mereka akan berakhir?

Lantas mereka membicarakan tentang pekerjaan masing-masing, hingga mobil keluar jalur tol dan memasuki area pergudangan dengan kontainer-kontainer besar yang berjajar.

Sabda memarkir mobilnya dan mengajak Senja masuk ke sebuah bangunan yang menjadi ruang tunggu para penumpang kapal. Senja melihat beberapa orang duduk lesehan di lantai dengan beralaskan tikar atau kain panjang. Ada juga yang tidur. Tas-tas besar dan barang bawaan ada di sekitar mereka. Anak-anak kecil berlarian di ruangan yang lumayan luas itu. "Mereka penumpang yang menunggu kapal datang." Sabda memberitahu Senja.

"Karena takut telat atau mungkin rumah mereka jauh, makanya datang lebih awal," tambah pria itu sambil mengajak Senja masuk ke dalam lift.

Di bagian atas adalah tempat kuliner yang cukup ramai di kunjungi orang-orang yang ingin melihat suasana malam di pelabuhan sekaligus kulineran. Ada kios-kios yang di bangun dari bambu dan rumbai-rumbai sebagai atapnya.

"Mau makan apa?" tanya Sabda.

"Atau kita lihat-lihat dulu." Sabda mengajak senja melihat kios demi kios yang menjual aneka makanan.

"Mau makan nasi uduk dan ayam panggang? Enak banget, aku nggak bohong," kata Sabda menunjuk sebuah kios yang di padati pengunjung.

"Kita pesan dulu, nanti kita ambil setengah jam lagi." Sabda mendekati seorang pemuda yang menjadi pelayan di kios Nasi Uduk Bu Darmi. Pemuda itu mencatat pesanan Sabda.

Mereka keluar lewat pintu kaca dan langsung disambut angin dermaga. Di beranda ramai pengunjung malam itu. Mereka duduk-duduk di bawah payung besar, di bangku besi, dan ada yang duduk lesehan di atas hamparan rumput sintetis. Sabda dan Senja berdiri di pinggir beranda yang berpagar stainless.

Ombak laut tampak berkilat dari pantulan sinar bulan purnama dan dari lampu-lampu dermaga. Di kejauhan terlihat beberapa benda besar mengapung dengan cahaya lampu di beberapa bagiannya. Itu kapal yang sedang bersandar. Di sebelah kiri, Senja melihat satu kapal barang yang sedang bongkar muatan. Beberapa kuli panggul tak kenal lelah memindahkan barang.

"Mereka bekerja tak kenal waktu. Kapan pun kapal datang, mereka harus siap membongkar barang. Bekerja siang malam untuk siapa? Demi orang-orang tercinta tentunya." Sabda berkata sambil memandang kegiatan di geladak kapal.

Perasaan Senja tersentuh. Antara kagum dan kasihan. Inilah pengorbanan seorang kepala rumah tangga demi dapur di rumahnya tetap mengepul.

"Pemandangan sore sangat indah di sini. Apalagi kalau cuaca cerah dengan langit merona jingga di sebelah barat. Senja memang indah, walaupun datangnya hanya sebentar. Hanya kamu senja yang abadi."

Senja tersenyum mendengar ucapan Sabda. Gadis itu masih memandang jauh ke laut lepas, rambutnya yang di kuncir satu bergerak-gerak di embus angin. Dia suka tempat yang baru dikunjunginya kali ini.

"Mas Sabda, sering ke sini?"

"Lumayan sering."

"Makanya Mas kenal baik dengan pelayan kedai nasi uduk tadi."

"Karena aku suka makan di sana."

"Sendiri atau bersama pacar?"

Sabda tersenyum. "Pernah sendiri, pernah juga bersama pacar," jawab pria itu sambil memandang Senja. Sedangkan gadis itu hanya menoleh sejenak. Batinnya tergelitik oleh sesuatu yang aneh. Berarti pria yang menikahinya memang punya kekasih.

"Oh ya, tadi Mas bilang mau bicara sesuatu?"

"Ya. Nanti setelah kita makan malam. Sekarang aku ambil pesanan tadi. Kamu tunggu di sini, jangan ke mana-mana." Pesan Sabda lantas melangkah pergi. Senja memandang punggung kokoh itu hingga hilang di balik dinding kaca.

Perasaan Senja jadi tak enak. Mungkin Sabda mengajaknya bertemu malam itu untuk membicarakan hubungan mereka. Bisa jadi akan memberitahu kalau dirinya telah memiliki kekasih dan pernikahan mereka harus di akhiri.

"Hai, cewek. Sendirian, ya?" Goda seorang laki-laki di antara sekelompok rombongan cowok yang melangkah di belakang Senja. Dan sedikit pun gadis itu tidak menoleh. Pandangannya tetap lurus jauh di hadapan, pada kerlip lampu-lampu kapal.

"Kok diam aja, sih?" Itu suara dari yang lainnya.

"Ku temani, mau?" Entah suara pemuda yang mana lagi, sekitar ada lima orang di dekat Senja. Sepertinya mereka ini sekelompok mahasiswa.

Ada seorang yang berani mendekat dan bersandar pada pagar besi sambil menatap Senja. Membuat gadis itu menggeser tubuhnya ke kiri. Mungkin karena dia terlihat sendirian makanya di dekati pemuda-pemuda iseng yang baru datang itu.

"Dia istriku, mau apa kalian?" Suara bariton membuat kelima pemuda tadi menoleh. Sabda menghampiri Senja dengan menunjukkan wajah marah pada pemuda-pemuda itu. Di tengah ramai pengunjung begini masih sempat pula mereka mengganggu perempuan. Tanpa bicara kelima orang melangkah pergi.

"Ayo, kita duduk di sini!" Sabda melangkah ke arah hamparan rumput sintetis. Di pilihnya tempat kosong agak menepi dari pengunjung lainnya.

Mereka duduk di rerumputan. Sabda meletakkan dua kotak nasi uduk berlaukkan ayam panggang dan dua botol teh dingin.

"Sudah sejak tadi kamu di goda sama mereka?" tanya Sabda.

"Nggak, Mas. Aku juga diam saja tadi."

"Banyak pemuda iseng di sini."

Keduanya membuka kotak dan mulai makan. Angin laut makin kencang berembus. Bulan di atas mayapada terang bersinar. "Aku tadi lupa mengingatkanmu untuk membawa jaket. Aku sendiri juga nggak bawa." Sabda berkata sambil mengunyah.

"Anginnya kenceng di sini. Apa tempat ini selalu ramai oleh pengunjung ya, Mas?"

"Ya. Apalagi waktu senja dan akhir pekan."

Keduanya menikmati makan hingga selesai dan mencuci tangan di wastafel yang tersedia di sana. Lantas kembali duduk.

"Kenapa cincinnya nggak kamu pakai?" tanya Sabda sambil memandang jemari Senja yang tanpa perhiasan.

Gadis itu tersenyum. "Teman-temanku akan bertanya-tanya kalau aku pakai cincin semahal itu. Lagian kenapa Mas nggak beli cincin yang biasa saja?"

"Perempuan pasti suka di istimewakan."

Senja tersenyum. "Tentu saja. Tapi ini bukan pernikahan biasa."

"Pernikahan luar biasa," sahut Sabda cepat sambil memandang gadis yang akhirnya menunduk, antara malu dan sungkan.

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Wanita yang pernah tersakiti harus terima kenyataan
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
sabda pinter ngomong ya .duh ngegombalin si senja
goodnovel comment avatar
Sasya Sa'adah
senja emang takdirnya sabda
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 158

    Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 157 Senja yang Indah

    Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 156

    Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 155 Pregnancy Test

    Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 154

    Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 153 Kejutan Buat Sabda

    Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 152

    Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 151 Cobaan Seorang Suami

    Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 150

    Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status