Share

Part 8

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-11 20:10:44

Senja mengangkat wajah dan memandang ke sekeliling. Anak-anak kecil duduk bergerombol sambil bermain gadget, ada juga yang sedang menikmati steak dan beberapa cemilan mahal. Sungguh kontras dengan pemandangan di bawah sana tadi. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Di sini anak orang berada dengan pakaian mahal dan bagus, sedangkan yang di bawah tadi anak-anak perantauan berpakaian sederhana yang mungkin belum di ganti selama menunggu hingga kapal datang. Mengikuti orang tuanya yang hendak mengadu nasib ke tanah seberang.

Banyak sekali pelajaran kehidupan dari yang di jumpai dan bisa dicermati di perjalanan. Baik yang kita lihat secara sengaja maupun tidak. Senja termenung. Dia tidak sadar kalau sedang diperhatikan pria di sebelahnya.

Umur delapan tahun Senja kehilangan bapaknya karena sakit. Ibunya yang masih muda memutuskan tidak menikah lagi setelah pernah sekali di pinang seorang duda, tapi akhirnya ketahuan kalau laki-laki itu telah beristri. Sejak itu Bu Hanum fokus merawat Senja, karena sewaktu kecil sering sakit-sakitan. Ibunya bisa sekuat itu karena seluruh keluarga men-support dan banyak membantunya.

Sabda membiarkan Senja yang diam. Memberi peluang pada gadis berkulit bening melayan perasaan. Sudah lama dia mengenal Senja, sejak gadis itu dipacari sepupunya. Namun belum pernah sedekat ini dan memperhatikannya. Ternyata gadis itu sangat lembut, sopan, dan cantik tentunya. Hidungnya runcing, rambutnya hitam legam, dan bibirnya mungil. Sabda menarik napas sambil membuang pandang.

Gadis itu miliknya sekarang. Bahkan tak ada sekat yang memberi jarak baginya, Senja halal untuk di sentuh kulitnya. Bahkan lebih dari itu. Tak ada batas di antara mereka.

Kalau tidak sadar dia berada di mana, ingin rasanya Sabda menertawakan diri sendiri dengan segala khayalan yang berkelindan dalam benak. Angan liar yang mengiringnya pada sensasi pria dewasa. Sabda menyugar kasar rambutnya, agar pikiran mesum itu luruh berjatuhan.

"Senja." Dipanggilnya gadis yang masih sibuk memperhatikan sekeliling dengan tatapannya yang penuh pemikiran.

"Ya." Senja menoleh.

"Kirimkan nomer rekening kamu."

"Untuk apa?" Senja heran.

"Sebagai suami aku punya kewajiban ngasih nafkah ke kamu. Berapa pun itu."

Senja ingin tertawa, tapi Sabda bicara sangat serius. Akhirnya gadis itu tersenyum. "Kayaknya nggak wajib dengan pernikahan model kayak kita ini, Mas."

"Sudahlah, jangan buat aku makin nggak enak sama, Mas Sabda. Ini malah bikin aku makin bersalah saja."

"Ada ya, istri merasa bersalah di nafkahi sama suami?"

Senja tersenyum getir sambil menunduk. Kadang ingin segera memperjelas hubungan mereka seperti saran ibunya tadi pagi. Tapi dia tidak ingin dianggap punya pikiran yang tidak-tidak oleh Sabda. Atau bahkan mungkin di anggap terlalu berlebih-lebihan. Wait, bukankah ini haknya juga, biar segalanya jelas dan tidak berlarut-larut.

"Aku tunggu pesanmu besok. Setidaknya aku ingin jadi suami yang baik sebelum semua selesai."

Selesai? Ah kenapa getir sekali mendengar kalimat itu, walaupun dia sadar sepenuhnya kalau cepat atau lambat keputusan akan tetap dibuat. Senja menelan saliva.

"Nggak usah, Mas." Keukeuh Senja.

"Kenapa nggak usah? Kamu takut aku akan menuntut kamu melakukan kewajiban?"

Degup jantung Senja kian tak beraturan. Mungkin wajahnya juga sudah berubah warna dan dia pun rasanya menggigil. Gadis itu menarik napas panjang. Setelah ritme dalam benaknya mulai kalem, Senja memandang Sabda yang sedari tadi menatapnya.

"Ibuku tadi pagi telepon. Beliau bilang, kalau ...." Senja tak sanggup meneruskan ucapannya. Kenapa berat sekali rasanya.

Sabda masih menunggu Senja menyelesaikan kata-katanya. "Kalau apa?" tanya Sabda pelan, setelah Senja masih membiarkan kalimatnya menggantung di udara.

"Kalau kita harus segera memutuskan bagaimana akhir pernikahan ini. Maaf, Mas. Tentu ibuku khawatir dengan anak perempuannya."

"Iya, aku paham. Nantilah aku bicara sama ibu. Kalau ada waktu nanti kita ke sana sebelum puasa. Tapi minggu depan aku mulai sibuk. Kadang lembur sampai malam untuk pemutakhiran data keuangan."

Senja cukup mengerti pekerjaan Sabda. Menyangkut soal keuangan butuh konsentrasi dan ketelitian.

Percakapan mereka terhenti saat mendengar suara peluit panjang. Senja mencari arah sumber suara. "Suara apa, Mas, itu?"

"Itu suara blast. Suara dari klakson kapal atau ship’s whistle. Mungkin ada kapal yang hendak sandar," jawab Sabda lantas mengajak Senja berdiri. Mereka melangkah mendekati pagar pembatas. Benar saja, ada satu kapal besar sedang persiapan hendak menepi. Beberapa petugas pelabuhan bersiap menyambut kedatangannya.

"Ayo, kita masuk ke dalam. Minum dulu baru pulang."

Senja mengikuti Sabda. Mereka memesan dua hot capuccino, terang bulan, dan mengambil tempat duduk paling pinggir. Dari dinding kaca tinggi itu mereka bisa melihat kesibukan di luar. Beberapa penumpang kapal turun bergiliran.

"Kayaknya tempat ini punya kenangan tersendiri buat, Mas, ya?"

Sabda tersenyum getir. Kenangan lalu melintas cepat dalam ingatan. Kemudian meninggalkan perih dalam dada. Sabda memilih tak menjawab pertanyaan Senja. Dan gadis itu tak lagi bertanya.

"Mas, tadi katanya mau ngomong sesuatu? Ngomong apa?"

"Ya, apa kamu menemui Arga?" tanya Sabda. Membuat gadis di depannya kaget dan bertanya-tanya, apakah Arga cerita ke Sabda?

"Mas, tahu dari mana?"

"Aku hanya bertanya. Mungkin saja dia menemuimu lagi."

"Iya, dia menjemputku sepulang kerja tadi."

"Untuk apa?"

"Dia hanya menjelaskan tentang perjodohannya dengan gadis itu."

"Jika apa yang di ceritakan itu benar dan dia masih mencintaimu, apakah kamu mau kembali padanya?"

"Aku nggak ingin merusak hubungan mereka."

"Walaupun kamu masih memiliki perasaan pada Arga?"

"Aku nggak ingin menjadi perusak apa yang telah mereka rajut, Mas. Meski katanya itu perjodohan yang di paksakan."

Diam. Senja memandang jauh ke luar. "Hubungan dua keluarga akan terpecah belah karena kehadiranku yang sebenarnya nggak bisa di terima keluarga Mas Arga." Senja beralih menatap Sabda. "Seperti hubungan kita juga. Aku nggak ingin merusak hubungan Mas dengan pacar Mas Sabda. Sebelum di ketahui orang lain, bukankah lebih baik kita segera mengambil keputusan."

"Aku tidak punya pacar," jawab Sabda cepat.

Next ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
kalau udah halal mah pikiran jadi kemana² ya Sab hahahaaaa
goodnovel comment avatar
Nuniee
Kemana2 aje betaa..baru tau disini ada neng Senja n mang Sabda .........
goodnovel comment avatar
Dina Bila
suka suka suka ....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 158

    Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 157 Senja yang Indah

    Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 156

    Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 155 Pregnancy Test

    Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 154

    Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 153 Kejutan Buat Sabda

    Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status