Share

Bab 3. Tanggung Jawab Baru

Kemewahan terlihat jelas di rumah besar berwarna putih itu. Rumah dengan tiga lantai yang belum lama selesai dibangun. Itulah rumah yang disiapkan Malvin untuk Vanella.

Malam itu Vanella memijakkan kaki untuk pertama kalinya di sana. Namun, bukan dengan Malvin, melainkan dengan Marvino.

Beberapa asisten rumah tangga menyambut kedatangan mereka dengan sapaan dan senyuman ramah. Mereka bergegas membawakan beberapa koper barang-barang yang dibawa sepasang pengantin baru itu.

Bola mata Vanella berputar mengamati setiap detail rumah itu sambil dia terus memeluk boneka beruang pemberian Malvin. Kini kakinya menuntunnya ke lantai dua. Dia membuka pintu salah satu kamar. Dia pun dibuat tercengang dengan warna merah muda yang mendominasi kamar itu. Hampir seratus persen benda di kamar itu berwarna merah muda.

Vino yang berdiri di belakang Vanella dibuat heran. Tatapannya menunjukkan kegelian. Bagi dirinya tentu saja warna merah muda itu aneh, tidak enak dilihat, terlalu kewanita-wanitaan. Tatapannya pun tertuju pada boneka yang dipeluk Vanella. Dia manggut-manggut. Dia baru mengerti kenapa kamar ini sengaja dipenuhi warna merah muda. Tentu saja karena Vanella menyukai warna itu.

Di kamar yang luas itu ada sofa panjang, meja, dan dua buah lemari besar yang berwarna merah muda dan biru. Vanella tidak heran melihatnya karena dulu Malvin memang pernah mengatakan akan meletakkan dua buah lemari di rumah mereka nanti. Malvin sangat memahami sifat perfeksionis Vanella. Gadis itu sangat menjaga kerapian barang-barangnya. Untuk pakaian pun dia akan menatanya beraturan sesuai warna dan jenis masing-masing. Berbeda dengan Malvin yang suka asal-asalan menyimpan barang. Malvin tidak ingin Vanella merasa tidak nyaman melihat pakaian Malvin yang berantakan jika pakaian mereka berada dalam satu lemari sehingga dia ingin pakaian mereka diletakkan dalam lemari yang berbeda. 

Vanella membuka lemari yang berwarna biru. Dia terkejut saat melihat beberapa baju Malvin tergantung di dalamnya. Sepertinya beberapa hari sebelumnya saat Malvin masih sehat dia sudah memindahkan sebagian pakaiannya di sana. Vanella mengambil salah satu kaus berwarna hitam yang dulu sering dipakai Malvin. Dia mencium kaus itu. Vanella mengetahui kebiasaan Malvin yang suka menyemprotkan parfum di pakaiannya sebelum dimasukkan ke lemari. Hal itu diceritakan sendiri oleh Malvin. Benar, memang ada wangi parfum Malvin yang terendus oleh hidungnya.

Vanella duduk di tempat tidur sambil memeluk dan mencium kaus itu. Melihat itu Vino bergegas mengambil baju-baju Malvin yang masih ada di lemari.

"Mau kamu apain baju-baju itu?" tanya Vanella tanpa menatap Vino.

"Mau aku simpen di tempat lain aja."

"Jangan! Biarin nanti aku simpen di lemariku."

Vino tidak menentang. Diam-diam dia melirik ke arah Vanella yang terus memeluk kaus Malvin dengan raut wajah sedih. Dia sebenarnya merasa kasihan. Dia tidak ingin pakaian Malvin semakin membuat Vanella teringat akan saudara kembarnya itu, tetapi dia juga tidak bisa memaksa Vanella menyingkirkan pakaian itu.

Puas melepas kerinduannya pada Malvin dengan memeluk kaus itu, Vanella meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu dia mengambil salah satu bantal dan memindahkannya di sofa.

"Buat apa?" Vino mengernyit.

"Buat tidur. Ini kan udah malem."

"Kamu mau tidur di sofa?"

Vanella mengangguk.

Lelaki itu memindahkan bantal kembali ke tempat tidur. "Kita akan sama-sama tidur di sini. Nggak akan ada yang tidur di sofa, di lantai, atau di kamar lain."

"Ta—tapi aku...."

"Kamu nggak usah khawatir. Nggak akan terjadi apa-apa. Di tempat tidur ini kita cuma akan tidur. Walaupun seranjang, aku nggak akan sentuh kamu sedikit pun. Lagian aku nggak ada perasaan apa-apa sama kamu. Denger ya, kamu ini amanah dari saudara kembarku. Aku nggak mau jadi adek yang buruk dengan biarin cewek yang dia suka tidur di sofa," jelas Vino dengan tatapan dinginnya.

Vanella mematung. Dia bingung harus setuju dengan perintah Vino atau tidak.

"Udah sana cepet pindahin baju-bajunya Malvin ke lemari kamu terus tidur. Beresin pakaian dan barang-barang lain yang ada di koper besok aja."

Tidak ingin melawan perintah lelaki ketus itu, Vanella bergegas merapikan pakaian Malvin dan meletakkannya di lemari merah muda miliknya. Dia mengambil satu setelan pakaian tidurnya, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur.

Sementara itu Vino duduk di tempat tidur sambil menghela napas panjang dan bergumam sendiri. "Takdir macam apa ini. Aku yang nggak pernah pacaran tiba-tiba harus menikah. Aku nggak tau gimana caranya memperlakukan wanita, gimana caranya jadi suami, apa yang disukai wanita dan enggak. Bodo amat lah. Toh ini cuma sekadar status. Nggak ada cinta di antara kami. Jalani hari-hari seperti biasa aja. Yang penting tuh cewek baik-baik aja di sini jadi aku nggak akan merasa bersalah sama Malvin. Gimanapun jangan sampai aku nyakitin dia. Semua ini demi Malvin."

Sambil menunggu Vanella yang masih di kamar mandi, Vino dengan terburu-buru berganti pakaian. Dengan cepat dia memakai pakaian tidurnya, lalu mematikan lampu dan berbaring di tempat tidur.

Usai berganti pakaian dan mencuci muka, Vanella keluar dari kamar mandi sambil mengelap wajahnya dengan handuk kecil. Tiba-tiba dia berteriak.

Sang suami yang baru saja memejamkan mata sontak terkejut dan langsung duduk menyalakan lampu. Saat itu dia melihat Vanella sudah duduk di lantai dengan wajah ketakutan.

"Kamu kenapa?" tanya Vino.

"Aku fobia gelap. Maaf kalau jadi ganggu tidur kamu."

"Oh. Aku nggak tau. Kalau pake lampu tidur aja bisa?"

"Enggak. Kurang terang."

Vino berpikir sejenak. "Ya udah kalau gitu biarin aja lampunya nyala. Aku tidur dulu."

Vanella mengangguk. Dia masuk kembali ke kamar mandi menggantungkan handuk di sana, lalu berjalan perlahan menuju tempat tidur. Dia duduk di tepi tempat tidur sambil melirik ke arah Vino yang tidur memunggunginya.

Perlahan Vanella membaringkan tubuhnya dan berbalas memunggungi Malvin. Berusaha memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Rasanya aneh. Pada hari di mana dia kehilangan lelaki yang dicintainya, dia justru kini tidur seranjang dengan lelaki lain sebagai seorang istri. Sama seperti Vino, Vanella juga heran dengan takdirnya.

Tidak jauh berbeda dengan Vanella, Vino juga tidak bisa tidur. Dia yang biasa tidur dalam keadaan gelap kali ini kesusahan karena lampu menyala begitu terang. Namun, mau tidak mau dia harus mengalah pada sang istri. Harga dirinya akan jatuh kalau dia egois.

Mengira Vanella sudah tidur, Vino membalikkan badan menghadap Vanella. Sosok itu begitu asing di matanya, tetapi tiba-tiba saja malam ini harus tidur bersamanya. 

Tanpa diduga Vino, Vanella juga tiba-tiba membalikkan badan menghadapnya hingga manik mereka pun bertemu. Serentak mereka berbalik badan sambil memejamkan mata sesaat menahan malu.

"Kamu belum tidur? Kenapa?" tanya Vino.

"Malam ini aku tidur dengan orang asing. Wajar, kan? Kalau kamu kenapa?"

"A—aku juga sama."

"Kamu jawabnya gagap. Pasti bohong, kan? Apa ada alasan lain?"

"Sebenernya aku nggak bisa tidur karena lampunya menyala terang. Biasanya aku tidur tanpa lampu."

"Kenapa nggak bilang tadi? Ya udah matiin aja lampunya."

"Enggak. Nanti kamu nggak bisa tidur. Suami macam apa yang mentingin keinginannya sendiri."

"Tenang aja. Aku akan belajar tidur dengan lampu mati."

"Enggak. Udah nggak usah dipikirin. Nanti juga lama-lama aku bisa tidur."

Vanella meraih ponselnya yang ada di meja. Dia menyalakan senter, lalu mematikan lampu.

"Lho kok dimatiin?" Vino berbalik menghadap Vanella.

"Aku udah nyalain senter di HP. Ini akan nyala sampai pagi. Jadi aku bakalan bisa tidur. Nyalanya lebih terang dari lampu tidur."

"Oh ya udah."

"Boleh minta tolong?"

"Apa?"

"Tolong menghadap ke sana lagi. Aku nggak bisa tidur kalau dilihatin."

Vino menggerutu. Dia kembali memunggungi Vanella. "Siapa juga yang mau lihatin kamu. Tembok lebih menarik."

Vanella tidak peduli. Dia berusaha memejamkan mata.

Sementara itu Vino masih saja mengeluh dalam hatinya.

Apa-apaan dia ngatur-ngatur. Aku kan kalau tidur bolak-balik. Masa sampai pagi harus menghadap ke sini. Apa besok aku kasih pembatas aja ya di tempat tidur. Ribet juga punya istri. Tempat tidur dikuasai.

Awalnya sama-sama kesulitan untuk tidur, satu jam kemudian akhirnya Vino bisa terlelap. Sementara Vanella masih terjaga tanpa rasa kantuk. Dia berbalik badan memastikan apakah suaminya sudah tidur. Setelah yakin bahwa Vino sudah tidur lelap, Vanella turun dari tempat tidur. Dia duduk di lantai dengan punggung bersandar pada tempat tidur. Dibukalah galeri ponselnya. Ada banyak foto-foto dirinya bersama Malvin dan para sahabatnya. Ada juga video tingkah konyol Malvin saat masih SMA.

Kerinduan itu semakin dalam, tetapi Vanella enggan mengabaikan. Dia justru semakin menggali rasa itu dengan membuka foto-foto kenangan mereka. Namun, kali ini dia menahan diri untuk tidak menangis.

"Setelah hari ini, aku akan berusaha untuk mengenang kamu dengan kerinduan dan cinta tanpa kesedihan. Kamu kan nggak suka lihat aku sedih. Iya kan, Vin?" gumam Vanella sembari mengusap foto itu.

Terus menggeser layar melihat berbagai koleksi fotonya bersama Malvin, sampailah Vanella pada sebuah video lucu kekonyolan Malvin dulu. Dia tertawa kecil melihatnya. 

Tanpa sadar Vanella mengantuk saat terus menatap layar ponselnya melihat video-video kenangannya bersama Malvin. Dia pun tertidur dengan ponsel masih dalam genggamannya.

***

Dibangunkan oleh suara alarm ponselnya, Vino mengerjap beberapa kali sambil tangannya mematikan alarm itu. Perlahan dia duduk dan membuka lebar matanya. Dia hampir panik mendapati Vanella tidak ada di tempat tidur. 

Saat menoleh, Vino melihat Vanella yang tergeletak di lantai sambil menggenggam ponsel. Bahkan senternya masih menyala.

"Nih cewek ngapain tidur di bawah. Apa dia gelundung tadi malem? Jangan-jangan aku tidurnya berantakan. Apa dia kesenggol aku? Malu-maluin banget kalau sampai bener."

Hendak membangunkan sang istri, Vino akhirnya menarik kembali tangannya yang sedikit lagi menyentuh bahu Vanella. Dia mengambil ponsel di tangan Vanella untuk mematikan senter. Namun, Vino justru melihat video yang sepertinya ditonton oleh Vanella tadi malam. Saat dia memutarnya, tampak Malvin tengah bernyanyi di kelas sambil naik ke atas meja dan menggoyangkan pinggulnya. Lalu turun dan menjahili Vanella. Di video tersebut terlihat betapa Vanella dan Malvin bahagia tertawa bersama.

Tanpa sadar Vino tersenyum. Dia yang tidak pernah merasakan momen-momen kebersamaan bersama saudara kembarnya itu tiba-tiba saja merasakan rindu dan cemburu. Dia iri pada Vanella sebagai orang asing justru sering menghabiskan waktu bersama Malvin. Dia juga iri pada Malvin yang dengan mudahnya bisa membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa. 

Vino tidak ingin ikut merasa sedih. Dia pun mematikan layar ponsel Vanella dan meletakkannya di meja. Setelahnya dia bingung.

"Dibangunin nggak, ya? Apa dibiarin tidur? Ini kan di lantai. Gawat kalau nanti ada ART masuk bersihin kamar dan lihat ini. Dikira aku yang nyuruh dia Vanella tidur di lantai. Habis nama baikku. Kalau diangkat ke tempat tidur... Nggak! Nanti tiba-tiba dia bangun dan ngira aku mesum lagi karena pegang-pegang dia. Gimana ya caranya bangunin tanpa nyentuh dia?"

Vino mencoba mencari ide. Lalu lampu seperti menyala di atas kepalanya. Dia pun bangkit dan menyalakan musik di ponselnya dengan volume tinggi sambil pura-pura melakukan gerakan loncat-loncat di tempat dan meregangkan badan.

Terganggu oleh suara musik yang begitu keras, Vanella terjaga. Dia duduk secara perlahan dengan mata yang sepertinya masih enggan terbuka. Vino sedikit melirik ke arahnya.

Katanya secantik apa pun cewek, kalau bangun tidur pasti rambutnya akan berantakan kaya singa. Ini kok tetep lurus rapi gitu. Dia pake produk shampo apa, ya.

Saat matanya telah benar-benar terbuka, Vanella mengernyit melihat Vino yang pagi-pagi sudah berolahraga. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Vanella keluar dari kamar.

Setelah pintu kamarnya ditutup dari luar oleh Vanella, Vino duduk dan meluruskan kakinya. "Akhirnya keluar juga. Masih ngantuk juga harus pura-pura olahraga. Kapan penderitaan ini akan berakhir? Jadi rindu masa lajang."

Dengan pendengarannya yang tajam, Vino dapat mendengar langkah kaki Vanella yang sepertinya berjalan mendekati kamar. Dia pun bangkit dan kembali pura-pura berolahraga. Kali ini dia melalukan push up.

Dugaan Vino tidak salah. Vanella memang kembali masuk ke kamar. Dia datang dengan membawa tiga gelas minuman.

"Aku bawain minuman. Kalau capek istirahat dulu, terus minum. Aku nggak tau kamu suka teh, kopi, atau susu. Jadi aku bawain semuanya."

Sejenak Vino menghentikan gerakan push up-nya. "Hmm."

"Kamu mau dimasakin apa?" 

"Terserah," jawab Vino singkat sambil mengubah posisi untuk melakukan sit up.

"Nggak ada makanan terserah dan aku nggak suka jawaban terserah."

"Padahal biasanya cewek yang hobi jawab terserah," gumam Vino.

"Kamu ngomong apa?"

"Eh enggak. Masakin aja nasi goreng sama telur. Nanti aku bikinin list makanan apa aja yang aku suka dan enggak. Sekalian minumannya. Biar kamu nggak perlu bawain tiga gelas minuman lagi."

Vanella tidak menjawab dan langsung keluar kamar. Seketika Vino menghentikan sit up-nya dan menuju meja yang ada di depan sofa. Dia menepuk jidat.

"Ada ya istri macam ini. Bikinin minuman sampai tiga gelas isinya beda-beda. Nanya dulu kek aku mau minum apa."

Sebenarnya Vino hanya suka minum teh, tetapi karena ada tiga gelas minuman di depannya, dia pun meminum semuanya. Setelah itu dia mengambil handuk untuk mandi. Saat melewati tempat tidurnya, Vino baru sadar bahwa ada baju, celana, dan jas yang telah disiapkan Vanella. Dia pun mengambilnya dan membawa ke kamar mandi.

"Enak sih ada yang nyiapin pakaian, tapi jadi harus pake di kamar mandi. Padahal biasanya aku habis mandi cuma pake celana dalam doang dan baru pake baju kalau mau berangkat. Gak bisa bebas sekarang."

Sementara Vino mandi, Vanella sibuk membuatkan sarapan untuk Vino. Beberapa ART memperhatikannya dengan rasa kagum.

"Kenapa Nyonya yang masak? Nyonya duduk aja di ruang makan. Kan ada kami, Nyonya."

"Saya kan seorang istri. Ini sudah tugas saya, Bi."

"Wah beruntung sekali ya Tuan Vino dapet istri cantik, perhatian, pinter masak lagi."

Vanella hanya terdiam mendengar pujian itu karena kenyataannya jauh berbeda dengan apa yang mereka lihat. Baginya segala yang dia lakukan hanyalah sekadar untuk memenuhi kewajibannya sebagai istri, bukan karena dia benar-benar perhatian pada sang suami.

Selesai memasak, Vanella segera menata makanan di meja makan. Baru setelahnya dia kembali naik ke atas untuk memanggil Vino.

Begitu pintu dibuka, tampak Vino sedang mengusap rambutnya yang basah dengan handuk sambil duduk di sofa. Dia sepertinya sibuk membalas pesan di ponselnya.

Melihat hal itu, Vanella mengambil pengering rambut miliknya, lalu berdiri di belakang Vino dan mengeringkan rambut suaminya itu. Tentu saja Vino yang fokus pada ponselnya terkejut.

"Ngapain?"

"Rambut kamu basah. Kamu kan harus berangkat pagi. Ini hari pertama kamu ke kantor. Pake ini biar cepet kering."

"Nggak usah. Pake handuk juga bakalan kering."

"Lama keringnya. Udah diem aja."

Akhirnya Vino pasrah. Dia menikmati saja perawatan salon gratis ini. Tidak pernah sebelumnya ada yang mengeringkan rambutnya di pagi hari.

"Makanan udah aku siapin. Cepet turun dan makan," ujar Vanella setelah meletakkan kembali pengering rambutnya.

"Kamu nggak makan?"

"Nanti. Belum laper."

Vanella mengambil sisir di meja riasnya, lalu mulai merapikan rambut sang suami. Benar-benar Vino dimanjakan oleh istri barunya itu. Walaupun Vanella melakukannya tanpa senyuman sedikit pun. Lagipula Vino juga sama dinginnya. Terasa seperti suasana romantis di tengah badai salju.

"Kita ini pengantin baru dan di rumah kita banyak ART. Apa kata mereka nanti kalau lihat aku makan sendirian."

"Ya udah nanti aku ikut sarapan. Oh ya, maaf aku nggak tau cara make dasi, jadi aku nggak bisa makein."

"Aku bisa make sendiri."

Vino dengan cepat memakai dasinya, lalu berjalan keluar. Namun, dia berhenti di depan pintu dan berbalik mendekati Vanella.

"Ayo. Jangan sampai orang lain melihat seperti apa hubungan kita sebenarnya," ujar Vino sambil merenggangkan tangannya agar Vanella mau menggandengnya.

Dengan ragu akhirnya Vanella menggandeng tangan suaminya. Mereka pun turun bersama sambil bergandengan mesra layaknya pengantin baru normal lainnya. Ya memang mereka bisa dibilang bukan pasangan normal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status