Indahnya bunga-bunga di taman yang mengelilingi bangku tampak seperti gambaran suasana hati kedua sejoli yang tengah meneguk minuman sembari saling bertatapan itu. Mereka tertawa setelahnya.
"Gila lo. Sebotol langsung abis?" ucap Vanella.
"Iya lah. Namanya juga capek abis jogging. Lo apaan minum cuma segitu. Pantes badan lo kurus dan lembek kaya agar-agar," ledek Malvin.
Vanella memukul lengan Malvin. "Kata siapa gue lembek? Gimana pukulan gue? Sakit, kan?"
Malvin mengusap lengannya sambil meringis. "Sakit lah. Gak berubah ya dari dulu masih aja galak. Jadi ngeri mau nikah sama lo. Apa gak jadi aja, ya."
Gadis berambut cokelat panjang itu menarik telinga Malvin dengan kuat sembari kembali memukuli lengan Malvin. "Bisa gak sih gak usah ngomong aneh-aneh? Kan gue udah bilang dijaga omongannya. Kan omongan itu doa. Pokoknya kalau terjadi apa-apa lo yang salah."
Kali ini Vanella terlihat benar-benar kesal. Bibirnya saja tampak lebih maju beberapa sentimeter. Melihat itu Malvin tersenyum. Dia mengetuk bibir Vanella beberapa kali dengan jari telunjuknya. Namun, Vanella menepisnya.
"Apaan sih! Gaje!"
"Paku kalau dipukul kan semakin masuk ke dalem. Nah siapa tau nih bibir juga bisa semakin masuk ke dalem kalau dipukul. Munduran dikit bibirnya, imutnya kelewatan."
"Makanya jangan ngomong aneh-aneh," gerutu Vanella.
"Siap, Bos! Maafkan hamba, Tuan Puteri." Malvin menyatukan kedua tangannya sambil berlutut di depan Vanella.
"Vin, jangan gitu ah. Malu tau dilihatin orang-orang." Vanella melihat sekelilingnya.
"Hamba tidak akan bangun sebelum Tuan Puteri memberi ampunan kepada hamba." Malvin masih berbicara dengan gaya bicara aneh seperti seorang pelayan kepada tuan putrinya.
"Iya-iya gue maafin. Udah cepet bangun. Lo mah selalu aja ya malu-maluin gue."
Malvin menunjukkan senyum lebarnya, lalu kembali duduk di samping Vanella.
"Iiih jangan senyum kaya gitu dong."
"Kenapa?"
"Kan gue jadi nggak bisa ngambek. Lucu banget tau wajah lo kalau senyum maksimal gitu."
"Oh ini namanya senyum maksimal? Kalau senyum minimal gimana? Kaya gini?" Malvin sedikit menarik garis bibirnya hingga terlihat senyuman aneh seperti sebuah senyuman terpaksa.
Tawa Vanella hampir saja lolos. "Udah ah. Stres gue lama-lama ngomong sama lo."
"Jangan stres dulu dong. Kan masih ada ribuan tahun yang akan kita lewati sama-sama yang otomatis bakalan lebih banyak ngobrolnya."
"Seribu tahun? Lo kira kita ini vampir?"
"Ya kalau gue boleh minta sih gue pengin ngelewatin seribu tahun lagi waktu bareng lo."
"Apaan coba tiba-tiba jadi bucin gitu. Geli tau."
"Serius tau. Jadi gak sabar pengin cepet-cepet akad. Eh tapi kita kan harus dipingit dulu. Gak bakalan bisa ketemu deh setelah hari ini."
"Pingit? Emang pake acara dipingit segala? Ini kan udah zaman moderen."
"Biarin. Gue maunya gitu. Biar pas ketemu di akad nikah nanti berasa kangennya, berasa harunya. Pokoknya ini hari terakhir kita ketemu. Setelah ini selama sebulan ke depan kita gak akan ketemu, chat, atau telponan."
"Sebulan? Chat sama telpon juga gak boleh?"
"Enggak lah. Percuma gak ketemu tapi masih komunikasi terus. Nggak berasa kangennya."
"Malvin kok gitu sih. Mana nggak ngomong dari kemarin-kemarin lagi."
"Kenapa? Nggak siap ya jauh-jauh dari gue? Kangen, ya? Tuh kan kenyataannya siapa yang lebih bucin?"
Vanella memasang wajah cemberut. "Jangan mulai besok dong. Kasih waktu tiga hari lagi. Please...."
"Enggak. Nggak ada pengunduran waktu."
"Yaaah... ya udah, tapi nanti sore kita ketemu lagi, ya? Kita main tenis meja bareng. Terus nanti malem kita main game di mall. Gimana?"
"Boleh. Gue setuju, tapi bener ya selama dipingit jangan chat atau telpon gue. Satu kali pun jangan."
"Lo kaya cowok yang mau selingkuh tau nggak. Iya iya bawel."
"Oke. Deal." Mereka berjabat tangan.
Sepasang kekasih itu kembali melanjutkan lari di sekitar taman hingga sampai di rumah Vanella.
Sesuai kesepakatan, Vanella dan Malvin menghabiskan waktu sore hari dengan bermain tenis meja bersama. Mereka begitu bahagia hingga tawa terus menggema membuat Bu Selina ikut tersenyum bahagia. Malamnya pun mereka kembali bertemu dengan mencoba bermain berbagai permainan di mall. Seolah lupa dengan umur, mereka seperti anak kecil yang kegirangan bermain bersama.
Sepulangnya dari mall, Malvin mengantar Vanella pulang ke rumah. Di depan rumahnya, Vanella masih menggenggam erat tangan Malvin.
"Nggak kerasa ya udah malem. Masa sih ini malam terakhir?"
"Ini adalah malam terakhir sebelum malam pertama kita sebagai suami istri," jawab Malvin sambil mengusap rambut Vanella.
"Nggak sabar deh buat malam pertama," ucap Malvin lagi dengan menaikturunkan alisnya.
Injakan pun harus diterima Malvin akibat ucapannya itu. "Dasar cowok ya! Selalu yang dipikirin itu. Beda sama cewek yang bener-bener memaknai apa itu cinta."
"Aw! Canda, Van. Serem banget sih deket-deket lo," ujar Malvin yang tengah mengelus-elus kakinya sendiri.
"Makanya lo kalau di depan gue jangan ngomong macem-macem."
"Iya iya. Siap-siap aja gue malam pertama tidur di lantai terus digebukin. Punya istri segalak ini."
"Masih kurang sakit injakannya? Mau gue tonjok juga?" Vanella mengepalkan tangannya.
"Nggak deh nggak. Udah sana masuk, nenek sihir!" Malvin mendorong Vanella masuk.
"Masih aja ya lo!" Vanella berusaha melepaskan diri.
"Udah diem, boneka annabelle! Remuk badan gue kelamaan di sini sama lo. Dah ya gue pulang. Sampai ketemu sebulan lagi, calon istriku!" Malvin melepaskan Vanella dan langsung berlari menuju motornya. Dia pun segera tancap gas.
Vanella tersenyum sendiri melihat ke arah Malvin yang meninggalkan rumahnya. Rasanya dia tidak sabar menantikan hari pernikahan itu tiba. Pernikahan impian yang akan diwujudkannya bersama lelaki yang sangat dia cintai.
***Vanella yang mengenakan pakaian serba hitam tengah berbaring di kamarnya yang masih dipenuhi hiasan bunga. Bahkan kelopak bunga mawar masih bertaburan di tempat tidurnya. Dia baru saja pulang dari prosesi pemakaman Malvin. Kenangan akan hari terakhirnya bertemu Malvin pun berputar begitu saja di dalam pikirannya.
Mata yang sembap itu menatap sekeliling. Air matanya menetes.
"Aku meminta kamar ini dihias seindah mungkin untuk menemani malam pertama kita sebagai suami istri, Vin. Harusnya malam ini, kan? Tapi kenapa kamu malah biarin aku sendirian di sini?"
Vanella meraih kebaya pernikahannya yang tadi dia letakkan di tempat tidur itu. "Kebaya ini kamu yang pilihin, kan? Kamu bahkan belum sempat lihat aku pakai gaun ini. Kenapa kamu hobi banget ngerjain aku? Bahkan saat kamu pergi pun kamu nge-prank aku kaya gini. Tiba-tiba aku harus nikah sama saudara kembar kamu dan bukannya kamu. Kenapa kamu selalu ngasih aku ke orang lain? Apa aku nggak berharga buat kamu seperti berharganya kamu buat aku?"
Tangan yang basah oleh air mata itu kini mendekatkan boneka beruang berwarna merah muda miliknya. Vanella memeluk boneka itu erat.
"Ini adalah pemberian kamu di hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Sekarang aku ngerti kenapa kamu ngasih ini. Buat aku peluk setelah kamu nggak ada, kan? Iya, Vin. Aku akan selalu meluk boneka ini setiap tidur."
Bu Selina yang mengamati Vanella dari depan pintu kamar ikut menitikkan air mata. Bahkan dirinya tak kuasa untuk menghampiri sang putri yang tengah sangat terluka itu. Bu Selina pun mengusap air matanya, lalu turun ke bawah untuk menemui Marvino dan orang tuanya.
"Ini Bu Selina udah datang. Apa yang mau kamu bicarakan, Vin?" tanya Pak Gibran.
"Aku tau ini masih dalam suasana berduka, tapi ada banyak hal yang harus kita bicarakan karena apa yang terjadi ini terlalu mendadak. Aku mau ngomongin tentang tempat tinggal aku sama Vanella nanti, Pa, Ma, Bu. Aku mau ngajak Vanella tinggal di rumah yang telah dibangun Malvin. Rumah itu disiapkan Malvin untuk Vanella, kan?"
"Mama nggak setuju! Kamu lihat sendiri kan gimana Vanella? Dia terus nangis kaya gitu. Sepertinya dia butuh waktu lama untuk bisa melupakan Malvin dan ini kamu malah mau semakin memperpanjang waktu. Dengan kalian tinggal di sana, Vanella akan semakin susah melupakan Malvin. Kamu mau hidup sama wanita yang nggak menganggap kamu sebagai suaminya?" Bu Kirana menentang keputusan Vino.
"Malvin membangun rumah itu dan berniat menjadikan itu kejutan buat Vanella setelah mereka menikah, Ma. Aku cuma mau mewujudkan keinginan Malvin. Toh Vanella belum pernah ke sana. Jadi nggak ada kenangan dia dan Malvin yang tertinggal di sana, kan?" Vino tetap bersikeras pada keinginannya.
"Vino benar, Ma. Biarlah mereka berdua tinggal di sana. Anggap saja kita mewujudkan keinginan terakhir Malvin." Sang ayah mendukung pendapat putra satu-satunya itu.
"Ya sudah terserah kalian. Asal kamu mau berusaha membuat Vanella melupakan Malvin dan mencintai kamu. Mama nggak mau anak mama menderita dengan pernikahannya," ucap Bu Kirana dengan raut wajah kesal.
"Maafkan anak saya. Maaf karena saat ini Vanella belum bisa sepenuhnya menerima Nak Vino sebagai suaminya. Tolong beri dia waktu untuk mengikhlaskan keadaan ini. Dia masih sangat terpukul dengan meninggalnya Malvin. Lambat laun dia pasti bisa mencintai Nak Vino. Maafkan anak saya, Pak, Bu," ucap Bu Selina yang tertunduk sedih.
"Bu Selina nggak perlu minta maaf. Saya sangat mengerti keadaan Vanella. Maafkan jika ucapan istri saya menyinggung Ibu." Pak Gibran melirik ke arah istrinya.
"Ibu jangan khawatir. Saya nggak akan memaksa Vanella untuk apa pun. Saya akan berusaha menjaga dia dengan baik dan membuat dia nyaman tinggal bersama saya." Vino mencoba meyakinkan sang ibu mertua.
"Terima kasih, Nak. Ibu yakin kamu laki-laki yang baik yang bisa menjaga Vanella."
"Vino, kalau kamu tinggal di sini terus gimana dengan rumah kamu yang di Jakarta? Nenek kamu kan sudah meninggal. Nggak ada yang nempatin rumah itu."
"Sementara biarin dulu, Ma. Yang penting di sana ada yang merawat dan menjaga rumah itu. Sewaktu-waktu kalau aku sama Vanella ke Jakarta kan kami bisa nempatin rumah itu. Rencananya kalau Kak Ellisa nikah nanti, aku mau ngasih rumah itu ke dia. Kak Ellisa kan juga lebih suka suasana kota Jakarta daripada di sini."
"Papa setuju. Oh ya, setelah ini papa ingin kamu membantu mengurus perusahaan papa dengan menjadi CEO di Prawira Group."
"Tapi aku sepertinya belum siap dengan posisi itu, Pa."
"Waktu selesai S1 dulu kan kamu sudah pernah magang di perusahaan. Pasti sedikit banyaknya kamu sudah mengerti tentang sistem kerja di perusahaan. Prestasi kamu dari SD sampai S2 juga selalu bagus. Kamu itu anak yang cerdas dan bijak, papa yakin kamu bisa mengelola perusahaan dengan baik."
Vino berpikir sejenak. Lalu dia menghela napas. "Padahal aku baru aja mau terjun ke dunia entertain."
"Apa? Papa nggak salah denger?"
"Aku udah ikut casting, Pa. Dan beberapa hari lagi aku akan memulai debut pertama sebagai aktor dengan bermain di sebuah film. Bahkan aku langsung dapet tawaran sebagai pemeran utama. Maaf karena baru bilang sekarang. Rencananya ini buat kejutan. Aku nggak tau kalau situasinya akan kaya gini."
"Wah bagus itu, sayang. Kamu bisa jadi aktor terkenal nantinya. Mama dukung banget. Papa juga, kan?"
"Ya papa sih nggak keberatan asal kamu tetap mau menjadi CEO di Prawira Group. Bisa kan kamu atur waktunya?"
"Bisa kok, Pa. Tenang aja. Lagian aku nggak akan pernah nerima tawaran syuting sinetron. Aku nggak mungkin ninggalin Vanella lama. Syutingnya kan harus ke Jakarta."
"Apa nggak capek kamu nanti bolak-balik Jakarta-Bandung?"
"Enggak kok, Ma. Mama ini kaya aku masih kecil aja."
"Ya sudah kalau begitu. Besok papa akan perkenalkan kamu di kantor. Kamu siap-siap, ya."
"Iya, Pa. Bu, mohon doa restunya, ya. Doain semoga semua karir aku lancar." Vino tersenyum menatap ibu mertuanya.
"Pasti, Nak. Ibu akan selalu doain kamu."
Bu Selina terus menatap menantunya itu. Dia merasa lega karena meski Vanella tidak jadi menikah dengan Malvin, tetapi Vanella menikahi laki-laki yang sama baiknya dengan Malvin. Vino terlihat sopan dan sangat menghormatinya. Bahkan mendengar perkataan lelaki itu yang rela menolak tawaran syuting sinetron demi menjaga Vanella di sini membuat Bu Selina semakin yakin bahwa suatu saat Vino bisa membahagiakan putri tunggalnya itu.
Sementara Vanella yang mendengar pembicaraan mereka dari kamar merasa kesal.
"Bisa-bisanya mereka ngobrol santai saat Malvin baru aja dimakamkan. Kenapa rasanya nggak ada yang peduli dengan kepergian Malvin. Keluarga macam apa mereka."
Kemewahan terlihat jelas di rumah besar berwarna putih itu. Rumah dengan tiga lantai yang belum lama selesai dibangun. Itulah rumah yang disiapkan Malvin untuk Vanella.Malam itu Vanella memijakkan kaki untuk pertama kalinya di sana. Namun, bukan dengan Malvin, melainkan dengan Marvino.Beberapa asisten rumah tangga menyambut kedatangan mereka dengan sapaan dan senyuman ramah. Mereka bergegas membawakan beberapa koper barang-barang yang dibawa sepasang pengantin baru itu.Bola mata Vanella berputar mengamati setiap detail rumah itu sambil dia terus memeluk boneka beruang pemberian Malvin. Kini kakinya menuntunnya ke lantai dua. Dia membuka pintu salah satu kamar. Dia pun dibuat tercengang dengan warna merah muda yang mendominasi kamar itu. Hampir seratus persen benda di kamar itu berwarna merah muda.Vino yang berdiri di belakang Vanella dibuat heran. Tatapannya menunjukkan kegelian. Bagi dirinya ten
Para asisten rumah tangga saling berbisik ketika Vanella dan Vino menuruni tangga dengan tangan yang bertaut erat. Mereka tersenyum sendiri melihatnya. Apalagi kali ini sepasang pengantin baru itu memperlihatkan senyum mereka seolah-olah kebahagiaan itu memang benar adanya.Saat hendak makan, keromantisan itu kembali terlihat. Vanella mengambilkan nasi dan lauk ke piring Vino. Mengetahui para ART itu memperhatikannya, Vino pun menyuapi Vanella. Awalnya Vanella diam sejenak, lalu perlahan dia membuka mulutnya."Bener-bener pengantin baru yang romantis, ya," ujar Bi Dara, salah satu ART di ruma Vanella."Iya. Cocok banget. Ganteng dan cantik," jawab Bi Sasti.Bisikan itu terdengar di telinga Vanella dan Vino. Hal itu membuat Vino menyeringai puas."Aku ada perlu. Jadi keluar bentar. Kalau papa dateng, tolong bilang suruh nunggu, ya," ujar Vino setelah menghabiskan makanan di
Sebelumnya rumah yang sangat luas itu dipenuhi tawa Vanella dan para sahabatnya. Namun, malamnya setelah ketiga sahabat Vanella itu pulang, rumah kembali sepi. Vanella pun kembali ke mode diam dan murung.Bingung akan melakukan apa sambil menunggu sang suami pulang, Vanella akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat isi rumahnya. Dia belum tahu persis setiap ruangan di rumah itu, terutama di lantai tiga.Ternyata yang ada di lantai tiga bukanlah kamar seperti yang Vanella pikirkan sebelumnya, melainkan lapangan olahraga. Saat memasuki ruangan pertama, Vanella melihat ada net dan beberapa raket yang tergantung di sana. Jelas itu adalah lapangan bulutangkis.Begitu memasukinya, Vanella bisa melihat dengan jelas isi dalamnya. Dia tercengang karena isi ruangan itu mirip seperti lapangan bulutangkis dalam ruangan yang digunakan untuk ekskul di SMA-nya dulu di mana dia, Malvin, Ranti, dan Alby biasanya bermain bulutan
Sama seperti hari biasanya, pagi itu Vanella hendak ke dapur untuk membuatkan sarapan bagi sang suami. Dia tengah mengikat rambutnya di depan cermin. Baru saja akan melangkah ke luar, Vino yang keluar dari kamar mandi mengadangnya. "Tunggu!" Vino mengambil kertas yang ada di meja dan memberikannya pada Vanella. "Ini daftar makanan dan minuman yang aku suka dan nggak suka." Bukannya fokus pada daftar isi, Vanella malah terheran-heran dengan Vino yang mengenakan masker. Karena wajah Vino tertutup masker, Vanella berani menatapnya. "Kenapa? Sakit? Flu? Batuk? Biar aku ambilin obat, ya." "Nggak usah. Aku nggak biasa minum obat." "Nggak usah nolak. Kalau sakit harus diobatin. "Aku nggak sakit." Vino memalingkan wajahnya. "Terus kenapa pake masker?" "Terserah aku. Inget ya, pernikahan
Selama di perjalanan, Vanella hanya menatap ke luar kaca jendela mobil. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, sopir taksi itu menghentikan lamunannya."Mbak, abis ketemu pacarnya ya tadi?"Vanella terkejut. "Bukan. Itu temen saya, Pak. Saya sudah menikah.""Oh saya kira pacarnya, Mbak. Emang suami Mbak nggak marah kalau Mbak ketemu temen laki-laki?""Enggak. Saya juga sudah izin sama suami.""Wah pengertian banget ya suami Mbak. Jarang lho ada lelaki kaya gitu. Kebanyakan malah pencemburu banget sama istri."Vanella hanya terdiam karena apa yang dipikirkan sopir itu tidaklah sama dengan kenyataan. Vino bukan melarang karena pengertian, tetapi karena tidak peduli. Sama seperti dia yang juga tidak akan peduli kalau Vino bertemu atau dekat dengan wanita lain.Baru turun dari taksi, Vanella sudah dihadang oleh Vino yang berdiri di depan
Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah."Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby."Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti."Sebel tau harus jauhan gini.""Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu.""Oh ya, bentar."Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama."Nak Alby udah mau berangkat?""Iya, Om."
Pagi itu Ranti mengunjungi butik miliknya, Ranti's Boutique. Dia berusaha menyibukkan diri agar tidak dibayangi kesedihan karena kepergian Alby. Sesekali bahkan Ranti membantu melayani para pengunjung yang datang.Mengetahui Ranti baru saja ditinggal Alby merantau kembali, Tara datang ke butik untuk menghibur Ranti. Dia pun mengejutkan Ranti dari belakang dengan menepuk bahu gadis berambut ikal sebahu itu. Melihat Tara ada di depannya, Ranti tersenyum hingga terlihat lesung pipinya."Tara! Ngapain lo pagi-pagi ke butik gue?""Gue udah nebak pasti lo ke sini buat menghibur diri, kan? Gue sengaja dateng karena gue tau pasti lo lagi galau, lagi mewek bombay.""Ih enggak lah. Nih buktinya gue senyum.""Ya itu kan karena lo di sini. Coba kalau di rumah. Pasti udah ngabisin tisu sekardus.""Gue mah kalau sedih ya nangis aja. Nggak peduli tempat. Gue bukan Vanella y
Sejak di mobil hingga tiba di rumah, Vanella beberapa kali mengecek ponselnya. Dia resah karena Pak Dito belum juga mengiriminya email. Ditambah masalah persahabatannya dengan Tara.Begitu fokus pada ponselnya, Vanella sampai terkejut saat melihat Vino yang ternyata sedari tadi duduk di sofa yang ada di depannya."Kok udah pulang?"Lelaki beralis tipis itu melipat tangan di depan dada. Dia mengernyit menatap sang istri sambil sesekali membetulkan maskernya."Kenapa kelihatan nggak tenang gitu? Ada masalah?"Vanella meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk sembari menghela napas. "Aku cuma lagi nungguin email Pak Dito. Padahal katanya cerpen yang buat aku edit mau dikirim pagi ini. Kok nggak ada email ya sampai sekarang? Apa aku salah nulis alamat emailku kemarin?""Pak Dito udah ngirim ke emailku.""Apa? Kenapa ke email kamu?"&