Seluruh anggota keluarga berkumpul. Mereka membahas tentang perselingkuhan Ivan dan kelangsungan rumah tangga Ivan dan Fara. Sama seperti kedua orangtua Fara yang terkejut saat mendengar tentang perselingkuhan itu, kedua orangtua Ivan dan seluruh anggota keluarga pun tersentak kaget. Bahkan Bu Elsa yang tak kuat menanggung rasa kecewa dan malu pun menangis dalam rapat keluarga itu. Sementara Pak Arifin tak banyak bicara. Dia lebih banyak diam mendengarkan yang lainnya mengeluarkan pendapat. Semua menyarankan perceraian meskipun keputusan terakhir tetap berada di tangan Fara. Tapi kedua orangtua Fara kukuh menyatakan kalau Fara dan Ivan harus berpisah. Tidak ada kata tidak. Keinginan mereka sudah mutlak harus dijalani. Mereka tak ingin putri mereka terus hidup bersama dengan laki-laki yang telah menyakitinya. Menjadi janda, mungkin itu pilihan yang terbaik dari pada harus terus hidup dalam luka.
Sementara itu Ivan mendengarkan semua pembicaraan itu dalam dia. Dia tak tahu hIvan duduk diam. Wajahnya tampak kusut. Pandangan matanya kosong menunjukkan kalau pikirannya sedang tak berada di tempat dia berada saat ini. Sesekali dia mengusap wajahnya dengan kasar menandakan kalau saat ini hatinya benar-benar sedang gundah. Dia pun terdengar beberapakali mengembuskan napasnya kuat-kuat seolah ingin membuang sedikit beban hatinya yang menggelisahkan. Lama dia seperti itu hingga Lusy yang berada di dekatnya pun jadi merasa kesal melihat semua tingkahnya itu. Perempuan cantik itu pun menerka apa gerangan yang mengganggu pikiran Ivan hingga kekasihnya itu sejak tadi seolah tak berada di dekatnya. Ivan seolah tenggelam dalam pikirannya hingga dia tak mempedulikan sekitar. Tak peduli pada Lusy yang sejak tadi duduk manis di hadapannya dan menunggunya memulai percakapan. Lusy cemberut. Dengan cepat dia bisa menebak apa yang sedang Ivan pikirkan. Rasa cemburu pun segera menguasai hatinya. Ya, Lusy cemburu pada apa yang Ivan pikirkan. Dia cemburu pada seseor
"Selamat pagi, Fara." Sebuah suara mengejutkan Fara yang sedang asyik menyiram bunga di halaman rumah. Dengan cepat dia pun menoleh dan mendapati Gilang yang sedang berdiri sambil tersenyum di depan pintu pagar. Seperti biasa wajah pemuda itu tampak ceria dengan bola matanya yang bening bercahaya. Dia membawa seikat bunga dan sebuah boneka di tangannya. Fara pun memperhatikan lalu tersenyum. Dia berjalan pelan menghampiri Gilang yang masih terus tersenyum manis menatapnya. "Gilang? Ada apa?" tanya Fara sambil membukakan pagar. "Yang jelas bukan untuk menyampaikan pesan dari Mbak Riska," jawab Gilang segera. Fara pun tertawa. "Ya, aku pun tidak percaya kalau kamu datang untuk itu," sahutnya. "Baguslah kalau begitu. Aku memang bukan datang untuk itu. Aku datang untuk memberikanmu ini," kata Gilang sambil memberikan seikat bunga yang dibawanya pada Fara. Fara mengambil bunga itu. "Terima kasih," ucapnya senang. "Maaf
Sore itu Ivan memasuki sebuah toko bunga yang tak seberapa jauh dari kantornya. Dia bermaksud ingin membeli seikat bunga mawar untuk Fara. Sebab kemarin dia melihat Gilang memberikan seikat bunga pada Fara dan istrinya itu tampak sangat senang menerimanya. Tapi sedetik kemudian Ivan ragu. Haruskah dia meniru Gilang, bocah ingusan yang pastinya tak memiliki pengalaman lebih darinya dalam menghadapi perempuan? Hm, Ivan termenung menatap bunga-bunga yang ada di depannya. Bunga-bunga itu memang indah. Tapi apakah Fara akan senang menerimanya seperti kemarin dia tersenyum senang saat menerima seikat bunga dari Gilang? Bagaimana jika dia tak suka? Bagaimana jika dia menolaknya? Tidakkah akan sangat memalukan? Sekali lagi Ivan berpikir tentang harga diri. Ya, harga dirinya tentu akan jatuh jika Fara sampai menolak bunga darinya ini. Sebab itu berarti dia kalah telak dari Gilang, pemuda yang sesungguhnya dia merasa bukanlah saingannya. Jadi apa yang harus dia lakukan untuk membuju
Hari-hari berlalu. Ivan menepati kata-katanya untuk datang lagi ke rumah Fara. Hampir setiap sore dia datang sepulang dia dari bekerja. Mulanya dia hanya menemui Fara yang memang setiap sore selalu rutin menyiram tanaman. Tapi beberapa hari kemudian dia mulai memiliki keberanian untuk menemui orangtua Fara dan mengucapkan permintaan maafnya pada mereka. Kedua orangtua Fara pun menerima permintaan maafnya itu meskipun mereka tetap keberatan jika Ivan sering datang menemui Fara. Rupanya mereka tetap pada pendirian mereka semula. Mereka tak menginginkan Fara untuk kembali pada Ivan meski penyesalan telah Ivan ucapkan berulangkali di hadapan mereka. "Terimalah, Van. Pernikahan kamu dan Fara memang harus berakhir. Bukankah kamu yang menyebabkan semua ini terjadi?" ucap Pak Surya seakan mengingatkan Ivan kalau perpisahannya dengan Fara adalah karena kesalahannya. Kata-kata itu terasa seperti pukulan bagi Ivan. Dia yang sedang berjuang untuk bisa mendapatkan Fara kembal
Fara mengurung diri di kamarnya. Sudah lebih dari satu jam lamanya dia duduk bersandar di atas tempat tidurnya sambil memandangi dua buah boneka yang dia letakan di hadapannya. Satu boneka itu pemberian Gilang, sedang yang satunya lagi pemberian Ivan. Keduanya sama lucu dan menggemaskan. Jujur saja, Fara sangat menyukainya. Tapi, boneka itu adalah penyampai pesan hati si pemberi untuknya. Bukan sekadar boneka mainan yang tidak memiliki arti. Fara menatap pada boneka pemberian dari Gilang. Dia pun merenung. Sebab kemarin pemuda itu kembali meminta jawaban darinya. Tapi Fara belum siap untuk menjawabnya. Dia masih ragu pada kesungguhan Gilang. Bahkan dia pun masih ragu pada hatinya sendiri. Benarkah rasa ini cinta? Tidakkah semua itu hanya sebagai pelariannya saja? Sebab Gilang datang di saat yang tepat. Saat dimana dia membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari seseorang. Jadi Fara merasa ragu, tak bisa membedakan perasaan cinta dan sebuah pelarian. "Bagaimana in
Pagi yang cerah. Lusy menapakkan kakinya di rumah orangtua Ivan. Dia berdiri di depan pintu pagar yang tinggi. Mengedarkan pandangannya sesaat, lalu menatap lurus pada seorang penjaga gerbang yang datang mendekat. "Bisa saya bantu, mbak?" tanya laki-laki penjaga gerbang itu dengan sikap sopan. "Nyonyamu ada?" tanya Lusy segera. "Ibu Elsa? Ada, mbak. Bu Elsa belum keluar rumah Pagi ini," sahut penjaga itu masih dengan sikap yang sopan seperti tadi. Lusy pun menarik napas lega. Dia tersenyum, lalu kembali bertanya, "bisa saya bertemu dengan Bu Elsa?" "Maaf, dengan mbak siapa? Sebentar saya beritahu Bu Elsa dulu," kata si penjaga balik bertanya pada Lusy. "Saya, Lusy, calon istri Mas Ivan," sahut Lusy penuh percaya diri. Mendengar jawaban Lusy itu, si penjaga pun terkesiap. Wajahnya menampakkan rasa terkejut yang teramat sangat. Dia terdiam, memandang Lusy tanpa kedip. "Ada apa? Bapak tidak percaya?" tanya
"Apa yang telah kamu lakukan, Lusy?" tanya Ivan dengan suara nyaring. Lusy yang baru saja membukakan pintu itu pun tersentak kaget mendengarnya. Dia tidak menyangka jika Ivan akan mendatanginya dengan luapan emosi di pagi ini. Lusy pun cuma bisa melongo menatap Ivan yang melangkah masuk ke dalam dan duduk di sofa dengan napas tersengal menahan amarah. "Kamu sudah gila! Benar-benar gila!" seru Ivan lagi. Kali ini Lusy menyahut. "Ada apa ini, mas? Kenapa kamu datang dan marah-marah seperti ini?" "Apa yang sudah kamu lakukan kemarin?" Ivan kembali bertanya dengan nada marah. "Kemarin?" Lusy menelan ludahnya, gundah karena sudah tahu apa yang membuat Ivan emosi seperti itu. "Ya, kemarin. Apa yang sudah kamu lakukan?" Tajam mata Ivan menatap Lusy yang tampak kikuk. "Aku..., aku tidak mengerti maksudmu, mas." Lusy mencoba berlagak pilon. "Jangan pura-pura tidak mengerti seperti itu, Lusy. Aku tahu kamu mengert
Lusy berjalan terhuyung memasuki rumahnya lalu terjatuh di atas sofa. Saat itu pukul dua malam. Seorang teman mengantarkannya pulang karena Lusy telah terlalu mabuk untuk dibiarkan pulang sendirian. Temannya itu bernama Rudy. Seorang laki-laki gagah berkulit coklat yang cukup menawan. Lusy mengenalnya sudah cukup lama. Mereka bertemu di sebuah acara pesta ulang tahun seorang teman. Kebetulan saat itu Lusy datang bersama dengan Fara dan Riska. Dan Riska yang ternyata telah mengenal Rudy pun memperkenalkannya pada Lusy dan Fara. Sejak saat itu pertemanan antara Lusy dan Rudy pun terjalin. Mereka jadi semakin akrab karena ternyata mereka sama-sama suka nongkrong di club malam untuk menghabiskan waktu yang kosong. Mereka sama-sama orang yang menyukai kebebasan. Tidak suka peraturan dan tidak suka terikat. Karena itulah Rudy merasa kaget ketika dalam mabuknya tadi Lusy meracau tentang keinginannya untuk menikah. Tapi sayangnya pernikahannya itu gagal karena sang calon suami kembali pada i