Hendra meremas surat kabar yang baru saja ia baca. Kemudian melempar kumpulan kertas berisi berita kemarin di atas meja. Helaan napas keluar dari mulut lelaki itu. "Dugaanku benar, kejadian kemarin akan menjadi topik pembicaraan. Aku tak peduli bagaimana nasib Dion, perasaan Savira yang kini aku pikirkan."Pengakuan Julia di acara pernikahan Dion tak ubahnya bom yang meledak. Menghancurkan semua orang yang ada di sekitarnya. Bukan hanya nama Dion yang tercoreng tapi perusahaan Purnawan menjadi sorotan. Para investor pun mulai ragu dengan kinerja putra tunggal Purnawan."Apa mungkin Dion melakukan hal gila itu? Tak menutup kemungkinan janin yang dikandung Julia merupakan anak Dion. Bukankah mereka berdua menjalin hubungan lebih dari satu tahun?" Pikiran Hendra terus berkecamuk. Bahkan kopi yang ada di atas meja nyaris dingin karena terlalu lama diabaikan. Lelaki itu masih fokus memikirkan cara menghentikan kabar tersebut.Memberi uang bukan lagi menjadi solusi. Bukan hanya para pembu
Beberapa hari Dion dan Savira saling diam. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya. Kejadian tempo hari semakin membuat hubungan keduanya merenggang, mereka benar-benar seperti orang asing. Ah, bukankah mereka orang asing yang terpaksa menjadi suami istri karena surat wasiat?Hari ini Dion mulai bekerja di kantor. Libur honey moon telah usai, kini ia harus di hadapkan dengan tumpukan berkas yang perlu diperiksa dan ditanda tangani. Bagi lelaki itu tumpukan pekerjaan dan laporan adalah neraka."Kenapa harus ke kantor? Tak bisakah jalan sendiri? Males banget."Dion menggerutu seraya mengenakan kemeja berwarna putih. Sebuah jas berwarna cream melengkapi penampilannya kali ini. Lelaki dengan tubuh atletis itu nampak semakin menawan. Tidak heran banyak perempuan yang tergila-gila padanya."Belum be..." Savira menutup mulutnya. Keinginan bertanya dia lupakan."Kenapa tutup mulut"Dion menatap Savira dari pantulan cermin yang ada di hadapannya. Seketika Savira membalikkan bad
"Aduh, kenapa harus begini?" rutuk Savira seraya mengusap wajah kasar."Bener, kan? Mbak ini istri Dion Adi Purnawan, anak pengusaha tambang itu, kan?""Mbak salah orang. Ya kali istri pengusaha pakai motor butut gini."Savira menjawab sambil menahan gugup yang mendera. Bahkan butir-butir keringat menempel di keningnya. Ragu, ia langkahkan kaki mendekat ke arah penjual es kelapa muda."Balik badan pasti ketahuan. Ah, ini nih akibat enggak nurut sama suami. Baru juga keluar sudah mendengar ucapan tak enak. Emang bener ... susah punya suami tampan dan kaya. Fansnya berceceran di jalan."Savira terus berbicara dalam hati. Berbagai argumen menari dalam kepala. Pernikahan mereka memang bermula dari keterpaksaan, namun tanpa disadari ada rasa yang tumbuh di hati keduanya. Meski tertutup dengan ego masing-masing.Seorang perempuan menatap lekat netra Savira. Bahkan wajahnya kian mendekat hingga tinggal tiga jari jarak keduanya. Savira menelan ludah dengan susah payah. Tatapan itu membuat ia
"Kapan kelarnya?" Dion mengusap wajah kasar. Kepalanya bersandar di kursi. Sesekali ia pijit kepala yang terasa berdenyut, pusing.Dokumen yang harus Dion periksa masih menumpuk di atas meja. Dia hanya menatap tapi enggan menyentuh. Sudah setengah hari ia berkutat dengan laporan dan dokumen. Namun tumpukan berkas itu tak kunjung berkurang. Lelah, Dion pun menyerah."Gak kuat gue lama-lama!"Dion memejamkan mata, mengabaikan dokumen penting yang terus meronta. Ingin menghilang, tapi lelaki itu tak memiliki kekuatan. Ancaman Hendra mengikatnya untuk tetap duduk di sana."Kalau Mas Dion gak sanggup mengurus aset biar Savira yang akan turun tangan. Tapi jangan salahkan saya jika Mas Dion tak memiliki banyak uang untuk bersenang-senang."Kalimat yang keluar dari Hendra terus terngiang di telinganya. Memaksa lelaki itu untuk bertahan dengan tumpukan laporan demi sebuah warisan."Aku kira memiliki perusahaan ... aku bebas menikmati kekayaan. Tapi ternyata salah, hidupku justru seperti di ne
Dion segera membopong Savira ke lantai atas, di ikuti Nunung di belakangnya. Dengan sigap Nunung membuka pintu kamar agar majikannya dapat masuk."Telepon dokter Hans, Nung!"Dion merebahkan Savira di atas ranjang. Perlahan ia buka pakaian Savira yang telah basah agar demamnya tak semakin parah."Tuan mau ngapain?" "Kamu gak denger? Telepon dokter Hans, sekarang!""Ba--baik, Tuan."Nunung membalikkan badan, belum sampai pintu gerakan kakinya terhenti."Nomor teleponnya berapa, Tuan?""Ada dibuku telepon,Nung!" Nunung segera keluar sebelum Dion semakin marah. Mengerikan jika atasannya mengeluarkan taring.Dion tertegun melihat Savira, seketika menelan ludah dengan susah payah. Sebagai lelaki normal, ia tergoda saat menatap setiap inci tubuh Savira. Namun segera ia buang pikiran kotor yang memenuhi isi kepalanya. Sadar, istrinya tengah tak sadarkan diri."Sial, pikiranku jadi ke mana-mana!"Dion mengusap wajar kasar. Perlahan ia memakaikan baju Savira. Kembali ia diam kala pikiran ko
"Kamu sudah sadar, Ra?" Dion mendekat, menempelkan telapak tangannya di kening Savira. Panas saat kedua kulit itu menempel, namun tak sepanas saat Dion meninggalkannya. Demam istrinya sudah turun."Udah turun, tapi masih panas. Udah makan belum, Ra?"Dion meletakkan obat di atas nakas kemudian duduk tepat di samping Savira. Hening, tak ada jawaban dari mulut istrinya. Savira masih memikirkan perkataan Nunung beberapa saat tadi."Ra, udah makan belum?""Eh, iya ... apa?""Kamu gak dengerin aku ngomong, Ra? Kamu dah makan belum?"Savira tersenyum kaku kemudian menggeleng pelan. Menatap Dion membuat pikirannya kembali berkelana ke mana-mana. Bayangan Dion melepaskan pakaiannya satu-satu menari-nari di pelupuk mata. Savira bergidik ngeri."Tunggu sebentar, aku ambilkan makan."Dion pun pergi menuju lantai bawah. Dengan cepat ia mengambil bubur yang tadi dimasakan Siti."Mau saya bawakan, Tuan?" Siti berjalan mendekat ke arah Dion. Perempuan itu menunduk, takut melihat sorot mata tajam
Regina membalikkan badan, tangan yang hendak menampar Savira terhempas di udara."Apa-apaan ini?"Dion menatap penuh tanda tanya. Savira memilih menunduk, sementara Regina tersenyum penuh kepalsuan."Apa yang terjadi, Ma? Kenapa Mama mau menampar Savira?"Dion berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di tengah Savira dan Regina. Lelaki itu menatap selidik dua perempuan yang berada di sampingnya."Tidak apa-apa. Benar begitu, kan, Ra?"Regina menatap tajam ke arah Savira. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan menantunya untuk berkata iya. Regina memang membenci Savira, namun di hadapan Dion, dia seperti domba, meski sebenarnya serigala.Perhatian Dion beberapa hari ini meyakinkan Regina, jika putranya telah memiliki rasa pada Savira. Perempuan itu mulai berhati-hati bersikap di hadapan Dion dan Hendra. Dia tak ingin kehilangan ATM berjalannya."Benar seperti itu, Ra?" tanya Dion memastikan.Savira diam beberapa saat, ingin berkata jujur tapi dia sedang malas berdebat. Tubuhnya belum sepenuhn
Dion menepikan sembarangan kendaraan roda empatnya. Lelaki itu bergegas masuk ke rumah sakit."Dokter Bram ada di mana, Sus?"Lelaki itu bertanya pada seorang perawat yang tengah mendorong pasien dengan kursi roda. Perawat tersebut terpaksa berhenti."Dokter Bram yang ganteng itu, Mas?"Dion mencebik mendengar kata ganteng. Perutnya mendadak mual, namun ia tahan agar tak merusak citranya. Ketampanan dan pesonanya akan berkurang hanya karena sebuah kesalahan, muntah di depan pintu utama rumah sakit."Di mana, Sus?""Dokter Bram berada di IGD, Mas."Dion mengangguk, sedikit berlari menuju ruang IGD. Tak perlu bertanya, Dion sudah hafal denah rumah sakit ini. "Mas, mobilnya!" teriak seorang satpam yang memakai baju berwarna coklat.Dion terus berlari, tak ia hiraukan panggilan satpam itu. Amarah dalam dirinya harus segera dilampiaskan. Lelaki itu sudah tak sabar menghajar Bram jika terbukti bersama Savira, istrinya.Pintu IGD tertutup, namun dapat terlihat dari luar karena pintu itu ter