“Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian
"Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
"Tidak, Pa. Aku tidak mau!" Dada Dion naik turun.Sorot matanya menatap tajam ke arah lelaki yang terbujur lemah di atas ranjang khas rumah sakit. "Tapi, Dion. Savira perempuan baik-baik, Papa ingin kamu menikahinya," ucap Purnawan lirih. Suaranya pelan bahkan hampir tak terdengar. "Mana ada wanita baik-baik yang berhubungan dengan lelaki beristri. Sampai kapan pun aku tak sudi menikah dengan wanita simpanan Papa!" ucap Dion lalu melangkah pergi meninggalkan Purnawan. Sepeninggal Dion, Purnawan mengelus dada yang terasa sesak. Ucapan Dion mampu memporak-porandakan hati lelaki berusia enam puluh tahun itu. "Kamu selalu sibuk dengan duniamu, Dion. Andai kamu tahu apa yang Papa rasakan saat ini, " ucap Purnawan lirih. Lelaki bertubuh tambun itu terdiam seraya menatap langit-langit kamar bernuansa putih itu. Purnawan seorang pengusaha kelapa sawit terkenal di pelosok negeri. Dia tergeletak tak berdaya karena penyakit komplikasi yang ia derita dua tahun ini. Rasa sakit tubuh tak seban
"Ini pasti rencana lelaki tua itu agar gundiknya hidup terjamin. Atau jangan-jangan ini ulah wanita murahan itu! Dia merayu Papamu! Astaga, kita kecolongan, Dion!"Berbagai prasangka muncul di kepala ibu dan anak itu. Mereka menuduh Savira menjadi biang kerok masalah besar yang kini mereka alami. Mereka seolah tak sadar jika semua ini buah atas pohon yang ia tanam sendiri. "Kamu harus menikah dengan Savira, itu satu-satunya cara agar kita tak jatuh miskin," ucap Regina seraya menyentuh kedua pundak Dion. "Sampai kapan pun, Dion tak sudi menikahi wanita murahan itu!" pekik Dion sambil menepis kedua tangan Regina. Lelaki itu dengan cepat berdiri lalu melangkah meninggalkan ruang keluarga. "Kamu mau ke mana, Dion? Masalah ini belum selesai!" Teriak Regina lantang. "Dion tak mau menikahi Savira. TITIK!" ucapnya lalu pergi meninggalkan sang ibu seorang diri. "Dion berhenti!""Dion!"Dion terus melangkah tanpa menghiraukan panggilan ibunya. Dia mulai bosan dan muak dengan permintaan g
"Sudah, yang pergi tak akan mungkin kembali. Kamu masih muda Vira, jalanmu masih panjang, masih banyak lelaki yang menanti kamu." Savira masih diam, bingung harus menjawab apa. Sudah menjadi rahasia umum hubungan yang terjalin antara Savira dan Purnawan. Perbedaan usia yang terlalu jauh membuat hubungan mereka penuh dengan kontroversi. Itu pula yang membuat Savira belum siap saat Purnawan melamarnya beberapa minggu yang lalu. Menyesal. Ya, perasaan itu yang hinggap di hatinya. Bukan karena dia gagal memiliki harta Purnawan. Namun ia menyesal karena di saat akhir hidupnya, Savira tak bisa menemani. Bahkan mendekat pun ia tak bisa. Dia dilarang oleh mantan istri dan putra Purnawan. "Kamu mau kopi, Ra?" tanya Bram lagi, ia berusaha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka. "Saya ti ...."Suara sirine ambulans menghentikan perkataannya. Dengan cepat Savira berlari lalu membuka pintu masuk ruang IGD. Bram mendengus kesal,ambulans datang disaat yang tidak tepat. Baru saja ia ba
Mata Savira membola kala melihat seorang lelaki keluar dari sana. Tangannya mengepal mengingat perlakuan Dion padanya dulu. "Mau apa kamu?" tanya Savira datar. "Tamu tidak dipersilahkan masuk?" sindir Dion sambil menatap Savira tak berkedip. Baru pertama kali Dion melihat Savira tanpa penutup kepala. Kulit putih, hidung mancung, dan leher jenjang membuat Dion tak berkedip melihatnya. Savira memakai hijab hanya di rumah sakit, itu karena tuntutan pekerjaan. Dia merasa belum pantas memakai hijab meski ia tahu memakai hijab wajib hukumnya. "Kamu bukan tamu, untuk apa mempersilakan masuk?""Kamu tak tahu bagaimana cara memuliakan tamu seperti yang diajarkan agamamu?" jawab Dion sambil terus memandang wajah wanita di depannya. Dion sengaja membawa-bawa ajaran dalam agama agar Savira memperbolehkannya masuk. Kalimat baru saja terucap hanya ia dengar sekilas saja. Selama ini dia hanya mengaku beragama islam tapi tak sekali pun ia mengerjakan kewajiban layaknya umat muslim lainnya. "Apa
Savira melotot mendengar pertanyaan yang baru saja Bram lontarkan. Bahkan mulutnya terbuka lebar. Beruntung tak ada lalat yang bertamu di sana. "Dokter tidak sedang bercanda, kan?"Bram tidak menjawab, dia justru tengah sibuk mencari tepat untuk menepikan kendaraan roda empat miliknya. "Apa aku terlihat bercanda, Ra?" Bram menatap lekat manik hitam Savira. Tatapan itu membuat Savira salah tingkah dan gugup. Haning, tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya. Savira memilih diam dengan kebingungan yang menyelimuti hatinya. Masalah dengan Dion belum selesai tapi sudah ada masalah baru yang menimpanya. "Aku menyukaimu sudah sejak lama, Ra. Jauh sebelum kamu menjalin hubungan dengan Pak Purnawan."Savira memilin ujung seragam yang ia kenakan. Dia tak menyangka dokter yang digemari para perawat justru menyukainya. "Savira, maukah kamu menjadi istriku?" Bram menggenggam tangan wanita di depannya seraya mengunci netra bening itu. Jantung Savira berdetak kencang, tatapan Bram mampu me
Savira melotot mendengar ucapan Dion. Kemudian menggelengkan kepala saat beradu padang dengan Bram. Dokter muda itu berusaha menata hati yang telah diselimuti amarah. "Purnawan sudah mati tapi kenapa muncul lelaki ini?" batin Bram kesal. "Kamu gila, Dion! Kita tak memiliki hubungan apa pun!" Savira menempis tangan kiri Dion yang menggandeng tangannya. Lebih tepatnya mencengkeram tangannya. "Lepaskan! Jangan paksa orang!" Bram berusaha melepas tangan Dion yang mencengkeram lengan Savira. Namun gagal, lelaki itu justru merangkul tubuh Savira dari samping. "Jangan ikut campur, aku dan Savira akan segera menikah. Jangan lagi ganggu calon istri orang!" Dion berjalan sambil merangkul tubuh savira. "Lepaskan, Di!" Savira berusaha mendorong tubuh Dion tapi tak bisa, tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. "Ingat Savira, kamu itu milikku!""Jangan bermimpi, aku tak mencintai kamu!""Aku tak butuh cinta, aku hanya butuh kamu.""Tak waras!" maki Savira dengan wajah merah padam. "Ayah kamu sud