Dion terpaksa menikah dengan calon istri ayahnya. Semua dia lakukan untuk mendapatkan harta warisan. Pernikahan ia jadikan alat untuk membalas dendam. Akankah ada cinta di antara mereka?
View More"Tidak, Pa. Aku tidak mau!" Dada Dion naik turun.Sorot matanya menatap tajam ke arah lelaki yang terbujur lemah di atas ranjang khas rumah sakit.
"Tapi, Dion. Savira perempuan baik-baik, Papa ingin kamu menikahinya," ucap Purnawan lirih. Suaranya pelan bahkan hampir tak terdengar. "Mana ada wanita baik-baik yang berhubungan dengan lelaki beristri. Sampai kapan pun aku tak sudi menikah dengan wanita simpanan Papa!" ucap Dion lalu melangkah pergi meninggalkan Purnawan. Sepeninggal Dion, Purnawan mengelus dada yang terasa sesak. Ucapan Dion mampu memporak-porandakan hati lelaki berusia enam puluh tahun itu. "Kamu selalu sibuk dengan duniamu, Dion. Andai kamu tahu apa yang Papa rasakan saat ini, " ucap Purnawan lirih. Lelaki bertubuh tambun itu terdiam seraya menatap langit-langit kamar bernuansa putih itu. Purnawan seorang pengusaha kelapa sawit terkenal di pelosok negeri. Dia tergeletak tak berdaya karena penyakit komplikasi yang ia derita dua tahun ini. Rasa sakit tubuh tak sebanding dengan rasa kesepian yang menemani Purnawan. Anak yang ia harapkan menjadi warna dalam hidupnya justru sibuk dengan dunianya sendiri. Dia bahkan tak pernah menganggap keberadaan Purnawan. Suara panggilan telepon membangunkan Dion dari tidur nyenyak. Lelaki bertubuh atletis itu mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh dari bantalnya. Dengan kesal ia tarik gambar telepon ke atas. "Mas Dion, tolong ke rumah sakit sekarang! Tuan Purnawan kritis," ucap Hendra, orang kepercayaan Purnawan. Sebuah senyum tergambar jelas di wajah lelaki itu. "Akhirnya lo mati juga, lelaki sepertimu memang pantas di neraka!" ucap Dion dalam hati. "Oke, aku segera ke sana."Mobil sport milik Dion melaju dengan kecepatan sedang. Lelaki itu tak ingin terburu-buru sampai ke rumah sakit. Baginya kematian Punawan adalah harapan yang sebentar lagi menjadi kenyataan. Setelah tiga puluh menit, kendaraan roda empat milik Dion berhenti tepat di halaman rumah sakit. Dengan cepat ia berlari menuju ruang ICU. "Bagaimana keadaan Papa?" tanyanya seraya mengatur napas yang tersengal. "Tuan tidak bisa diselamatkan. Beliau meninggal lima menit yang lalu," ucap Hendra dengan mata berkaca-kaca. "Papa!" teriak Dion. Wajahnya mulai berkabut. Tubuh atletisnya luruh di depan pintu ruang ICU. "Ikhlaskan Tuan, Mas." Hendra mengelus pundaknya. "Papa, Hen... Papa." Dion mulai terisak. Rasanya kehilangannya membuat Hendra merasa iba. "Keluarga Bapak Purnawan?" tanya seorang suster. "Kami keluarganya, Sus," jawab Hendra. "Tolong segera urus administrasinya.""Baik, Sus.""Maaf, Mas. Saya harus mengurus administrasi dulu," ucapnya lalu meninggalkan Dion di depan ruang ICU seorang diri. Sepeninggal Hendra, Dion segera menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. "Akhirnya kamu mati juga. Kini semua kekayaan yang kamu miliki akan jatuh ke tanganku." Dion tersenyum kala membayangkan harta Purnawan yang akan berpindah ke tangannya. Lelaki itu ternyata pandai bersandiwara. Di depan umum ia nampak kehilangan tapi di belakang ia tertawa penuh kemenangan. ***Satu persatu pelayat telah meninggalkan kediaman Purnawan. Kini hanya tinggal Dion, Hendra, Regina serta Ridwan, pengacara Purnawan. "Katakan isi surat wasiat Papa!" ucap Dion seraya menatap tajam ke arah Ridwan. "Tapi ini belum empat puluh hari, Tuan.""Mau sekarang atau besok sama saja. Bacakan sekarang juga isi wasiat mantan suami saya.""Ta-tapi Nyonya."Hendra menggelengkan kepala melihat sikap Dion dan Regina. Kedua orang itu seperti bunglon, dalam sekejap mata bisa merubah sikap dan perilaku. "Ternyata benar apa kata Tuan Purnawan, mereka pandai bersandiwara," ucap Hendra tapi hanya di dalam hati. "Apa susahnya membacakan wasiat Mas Purnawan. Kami berhak tahu!" bentak Regina. "Bagaimana ini, Pak?" tanya Ridwan seraya melirik ke arah Hendra. Lelaki itu tahu Hendra adalah orang kepercayaan Purnawan saat masih hidup hingga sekarang. "Katakan saja, Pak," ucap Hendra. Dengan sedikit ragu Ridwan mengeluarkan kertas berisi wasiat Purnawan sebelum meninggal dunia. "Semua harta Papa akan jatuh ke tanganku, kan?" tanya Dion sambil tersenyum penuh arti. "Semua harta dan aset milik Pak Purnawan akan jatuh ke tangan Mas Dion ....""Benar, kan, Ma. Semua ini akan menjadi milik kita," ucap Dion jumawa. "Mama yakin, tak mungkin harta itu jatuh ke tangan orang lain. Kamu itu anak satu-satunya Mas Purnawan, dan hanya kamu yang berhak atas itu!" ucap Regina dengan senyum penuh kemenangan. "Saya belum selesai, masih ada kelanjutannya.""Cepat katakan, apa kelanjutannya." "Semua harta dan aset milik Pak Purnawan akan jatuh ke tangan Mas Dion setelah Mas Dion menikah dengan Savira.""Apa!" Teriak Dion dan Regina bersamaan. "Aku tak sudi menikah dengan gundik Papa. Aku tak sudi!""Jangan mengada-ada, Ridwan! Tak mungkin Mas Purnawan menjerumuskan putra kandungnya!" Teriak Regina lantang. Wanita dengan pakaian berwarna hitam itu berdiri seraya menatap tajam ke arah Ridwan dan Hendra. Dia yakin wasiat yang Ridwan bacakan itu palsu. "Katakan di mana surat wasiat yang asli berada!" Ridwan menghembuskan napas kasar. Dia tahu ini akan terjadi. Namun tak pernah terbayangkan jika ia akan dituduh menyembunyikan surat wasiat Pak Purnawan. "Ini surat yang asli, Nyonya. Ada tanda tangan Pak Purnawan." Ridwan memperlihatkan kertas berisi tulisan tangan Pak Purnawan sebelum ia meninggal dunia. "Aku yakin ini palsu, kalian pasti bekerja sama untuk menguasai harta manta suami saya, kan!" tuduh Regina dengan mata melotot. "Surat ini sah dimata hukum!" Jawab Ridwan kesal. "Tidak... Tidak mungkin," ucap Regina seraya menjatuhkan tubuh di atas sofa. Sesekali tangannya memijit kepala yang terasa kian berputar-putar. "Satu lagi, Mas Dion wajib menikah dengan Savira dalam kurun waktu satu bulan setelah pembacaan wasiat. Kalau tidak seluruh aset dan harta Pak Purnawan akan disumbangkan ke panti asuhan, yayasan amal dan panti jompo.""Apa!"Seketika Regina jatuh pingsan di atas sofa. Dion dan Regina duduk lemas di sofa. Beberapa menit lalu Hendra dan Ridwan telah meninggalkan kediaman Purnawan. Ketidakpercayaan Regina membuat pengacara mendiang Purnawan meradang. Hingga akhirnya mereka memilih pergi. Sepi dan sunyi, rumah mewah yang dulu ditinggali Purnawan seorang diri terasa tak berpenghuni. Tak ada tahlilan atau doa bersama, Dion dan Regina terlalu sibuk mengurus surat wasiat hingga ia lupa mengadakan acara tahlilan. Lebih telatnya pura-pura lupa. Lagi pula kematian Purnawan adalah mimpi mereka berdua. Lalu untuk apa mengadakan tahlilan jika dalam hati mereka tertawa bahagia. "Bagaimana ini, Ma? Aku tak sudi menikah dengan wanita simpanan Papa!" ucap Dion seraya memijit kepala yang terasa berdenyut."Kamu bisa diam tidak? Kepala Mama mau pecah! Lelaki tua itu benar-benar keterlaluan. Hidup menyusahkan mati justru menambah penderitaan!" omel Regina."Dion pikir akan menjadi pengusaha kaya raya. Tapi nyatanya kehancuran berada di depan mata. Dion tak sanggup hidup miskin, Ma. Bagaimana kalau Julia tahu aku tak punya apa-apa? Dia pasti akan meninggalkanku."Dion dan Regina terus saja berdebat. Impian menjadi orang kaya lenyap begitu saja. Kini justru bayangan kemiskinan yang menari-nari di depan mata."Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
“Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian
Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega
Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m
"Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin
"Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments