Bukan Pernikahan Impian

Bukan Pernikahan Impian

Oleh:  Dyah Ayu Prabandari  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
69Bab
5.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Dion terpaksa menikah dengan calon istri ayahnya. Semua dia lakukan untuk mendapatkan harta warisan. Pernikahan ia jadikan alat untuk membalas dendam. Akankah ada cinta di antara mereka?

Lihat lebih banyak
Bukan Pernikahan Impian Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Dyah Ayu Prabandari
selamat membaca
2023-04-17 11:11:33
0
69 Bab
Wasiat
"Tidak, Pa. Aku tidak mau!" Dada Dion naik turun.Sorot matanya menatap tajam ke arah lelaki yang terbujur lemah di atas ranjang khas rumah sakit. "Tapi, Dion. Savira perempuan baik-baik, Papa ingin kamu menikahinya," ucap Purnawan lirih. Suaranya pelan bahkan hampir tak terdengar. "Mana ada wanita baik-baik yang berhubungan dengan lelaki beristri. Sampai kapan pun aku tak sudi menikah dengan wanita simpanan Papa!" ucap Dion lalu melangkah pergi meninggalkan Purnawan. Sepeninggal Dion, Purnawan mengelus dada yang terasa sesak. Ucapan Dion mampu memporak-porandakan hati lelaki berusia enam puluh tahun itu. "Kamu selalu sibuk dengan duniamu, Dion. Andai kamu tahu apa yang Papa rasakan saat ini, " ucap Purnawan lirih. Lelaki bertubuh tambun itu terdiam seraya menatap langit-langit kamar bernuansa putih itu. Purnawan seorang pengusaha kelapa sawit terkenal di pelosok negeri. Dia tergeletak tak berdaya karena penyakit komplikasi yang ia derita dua tahun ini. Rasa sakit tubuh tak seban
Baca selengkapnya
Kecelakaan
"Ini pasti rencana lelaki tua itu agar gundiknya hidup terjamin. Atau jangan-jangan ini ulah wanita murahan itu! Dia merayu Papamu! Astaga, kita kecolongan, Dion!"Berbagai prasangka muncul di kepala ibu dan anak itu. Mereka menuduh Savira menjadi biang kerok masalah besar yang kini mereka alami. Mereka seolah tak sadar jika semua ini buah atas pohon yang ia tanam sendiri. "Kamu harus menikah dengan Savira, itu satu-satunya cara agar kita tak jatuh miskin," ucap Regina seraya menyentuh kedua pundak Dion. "Sampai kapan pun, Dion tak sudi menikahi wanita murahan itu!" pekik Dion sambil menepis kedua tangan Regina. Lelaki itu dengan cepat berdiri lalu melangkah meninggalkan ruang keluarga. "Kamu mau ke mana, Dion? Masalah ini belum selesai!" Teriak Regina lantang. "Dion tak mau menikahi Savira. TITIK!" ucapnya lalu pergi meninggalkan sang ibu seorang diri. "Dion berhenti!""Dion!"Dion terus melangkah tanpa menghiraukan panggilan ibunya. Dia mulai bosan dan muak dengan permintaan g
Baca selengkapnya
Siapa Yang Datang?
"Sudah, yang pergi tak akan mungkin kembali. Kamu masih muda Vira, jalanmu masih panjang, masih banyak lelaki yang menanti kamu." Savira masih diam, bingung harus menjawab apa. Sudah menjadi rahasia umum hubungan yang terjalin antara Savira dan Purnawan. Perbedaan usia yang terlalu jauh membuat hubungan mereka penuh dengan kontroversi. Itu pula yang membuat Savira belum siap saat Purnawan melamarnya beberapa minggu yang lalu. Menyesal. Ya, perasaan itu yang hinggap di hatinya. Bukan karena dia gagal memiliki harta Purnawan. Namun ia menyesal karena di saat akhir hidupnya, Savira tak bisa menemani. Bahkan mendekat pun ia tak bisa. Dia dilarang oleh mantan istri dan putra Purnawan. "Kamu mau kopi, Ra?" tanya Bram lagi, ia berusaha memecah keheningan yang terjadi di antara mereka. "Saya ti ...."Suara sirine ambulans menghentikan perkataannya. Dengan cepat Savira berlari lalu membuka pintu masuk ruang IGD. Bram mendengus kesal,ambulans datang disaat yang tidak tepat. Baru saja ia ba
Baca selengkapnya
Pertanyaan Bram
Mata Savira membola kala melihat seorang lelaki keluar dari sana. Tangannya mengepal mengingat perlakuan Dion padanya dulu. "Mau apa kamu?" tanya Savira datar. "Tamu tidak dipersilahkan masuk?" sindir Dion sambil menatap Savira tak berkedip. Baru pertama kali Dion melihat Savira tanpa penutup kepala. Kulit putih, hidung mancung, dan leher jenjang membuat Dion tak berkedip melihatnya. Savira memakai hijab hanya di rumah sakit, itu karena tuntutan pekerjaan. Dia merasa belum pantas memakai hijab meski ia tahu memakai hijab wajib hukumnya. "Kamu bukan tamu, untuk apa mempersilakan masuk?""Kamu tak tahu bagaimana cara memuliakan tamu seperti yang diajarkan agamamu?" jawab Dion sambil terus memandang wajah wanita di depannya. Dion sengaja membawa-bawa ajaran dalam agama agar Savira memperbolehkannya masuk. Kalimat baru saja terucap hanya ia dengar sekilas saja. Selama ini dia hanya mengaku beragama islam tapi tak sekali pun ia mengerjakan kewajiban layaknya umat muslim lainnya. "Apa
Baca selengkapnya
Calon Suami
Savira melotot mendengar pertanyaan yang baru saja Bram lontarkan. Bahkan mulutnya terbuka lebar. Beruntung tak ada lalat yang bertamu di sana. "Dokter tidak sedang bercanda, kan?"Bram tidak menjawab, dia justru tengah sibuk mencari tepat untuk menepikan kendaraan roda empat miliknya. "Apa aku terlihat bercanda, Ra?" Bram menatap lekat manik hitam Savira. Tatapan itu membuat Savira salah tingkah dan gugup. Haning, tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya. Savira memilih diam dengan kebingungan yang menyelimuti hatinya. Masalah dengan Dion belum selesai tapi sudah ada masalah baru yang menimpanya. "Aku menyukaimu sudah sejak lama, Ra. Jauh sebelum kamu menjalin hubungan dengan Pak Purnawan."Savira memilin ujung seragam yang ia kenakan. Dia tak menyangka dokter yang digemari para perawat justru menyukainya. "Savira, maukah kamu menjadi istriku?" Bram menggenggam tangan wanita di depannya seraya mengunci netra bening itu. Jantung Savira berdetak kencang, tatapan Bram mampu me
Baca selengkapnya
Kecurigaan Savira
Savira melotot mendengar ucapan Dion. Kemudian menggelengkan kepala saat beradu padang dengan Bram. Dokter muda itu berusaha menata hati yang telah diselimuti amarah. "Purnawan sudah mati tapi kenapa muncul lelaki ini?" batin Bram kesal. "Kamu gila, Dion! Kita tak memiliki hubungan apa pun!" Savira menempis tangan kiri Dion yang menggandeng tangannya. Lebih tepatnya mencengkeram tangannya. "Lepaskan! Jangan paksa orang!" Bram berusaha melepas tangan Dion yang mencengkeram lengan Savira. Namun gagal, lelaki itu justru merangkul tubuh Savira dari samping. "Jangan ikut campur, aku dan Savira akan segera menikah. Jangan lagi ganggu calon istri orang!" Dion berjalan sambil merangkul tubuh savira. "Lepaskan, Di!" Savira berusaha mendorong tubuh Dion tapi tak bisa, tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. "Ingat Savira, kamu itu milikku!""Jangan bermimpi, aku tak mencintai kamu!""Aku tak butuh cinta, aku hanya butuh kamu.""Tak waras!" maki Savira dengan wajah merah padam. "Ayah kamu sud
Baca selengkapnya
50 juta
"Apa benar Bapak menjual aku pada Dion?"Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Savira. Susah payah dia menahan kata-kata agar tak menyakiti hati kedua orang tuanya. Namun melihat Nurdin pulang dengan membawa barang belanjaan membuat dada wanita itu bergemuruh. Emosi yang ia tahan lepas tak terkendali. Nurdin membalikkan badan, ia jatuhkan barang belanjaan di lantai begitu saja. Lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Savira, giginya gemeletuk dengan wajah merah padam. Membuang napas kasar, Savira mengalihkan pandangan lalu membalikkan badan. Dia tutup rapat pintu depan rumahnya. Pertengkaran yang terjadi tak boleh sampai dilihat orang lain. Malu, kata itu yang ada dibenak Savira. "Apa kamu bilang tadi, menjual? Bapak hanya menerima lamaran Dion, bukan menjual kamu. Harusnya kamu senang dipinang lelaki tampan dan yang pasti dia mapan." Nurdin berusaha menutupi kenyataan dengan menonjolkan amarahnya. "Bukan menjual kata Bapak? Bapak menerima uang dari Dion agar dia bisa menik
Baca selengkapnya
Harapan
Savira mengoles hidung Wati dengan minyak kayu putih. Perlahan wanita paruh baya itu membuka mata. Sosok wanita yang masih mengenakan seragam perawat terlihat pertama kali. "Vira...." lirih Wati berucap bagai hembusan angin. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi Wati. "Ada yang sakit, Bu?" Savira memperhatikan setiap inci tubuh Wati. Namun tak ia temukan barang segaris luka di tubuh wanita yang bertaruh nyawa saat melahirkannya itu. "Dada ibu sesak?" tanya Savira lagi. Wati menggeleng lalu kembali menjatuhkan air matanya. Sebagai seorang ibu dia merasa bersalah karena tak mampu melindungi putrinya. "Kenapa ibu menangis? Katakan bagian mana yang sakit, Bu? Nanti Savira obati.""Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa melindungi kamu dari keegoisan bapak." Wati terisak, bayangan uang 50 juta menari-nari di pelupuk mata."Savira baik-baik saja Bu. Savira akan mengembalikan uang Dion," jawab Savira ragu. "50 juta, Ra. Uang dari mana?"Savira terdiam tak mampu menjawab pertanyaan Wa
Baca selengkapnya
Siasat
"Aku yang akan membayarnya!" Semua mata menoleh ke pintu, seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di muka pintu dengan membawa amplop coklat berisi uang. "Pak Hendra!""Hendra!"Ucap Savira dan Dion hampir bersamaan. Kedua orang berbeda gender itu menatap heran pada lelaki yang kini berjalan mendekat. Hendra menjatuhkan bobot tepat di samping Savira. Membuat Dion yang duduk di hadapannya menatap tak suka. Bukan, bukan karena ia cemburu tapi karena rencana yang sudah tersusun rapi akan hancur berantakan. Apa lagi jika Savira menerima bantuan dari Hendra. "Apa maksud Pak Hendra tadi?" Savira menoleh ke kanan, dia tatap lekat manik bening lelaki yang duduk di sampingnya. Hendra menggeser kursi kayu yang ia duduki hingga dapat menatap dengan jelas wajah ayu Savira dari dekat. Tak dapat dipungkiri ada rasa tertarik kala melihat Savira untuk pertama kali. Namun Hendra sadar, dia hanya butiran debu jika dibandingkan dengan Purnawan. "Saya akan memberikan uang untuk membayar hutang Dion.
Baca selengkapnya
Jebakan
Dion melangkah penuh percaya diri menuju kantin rumah sakit, tempat Savira berada. Lunch box berwarna biru berada di tangan kanannya. Rencana yang Regina bicarakan harus segera dilakukan mengingat batas waktu tinggal sepuluh hari lagi. Jika tidak, seluruh aset Purnawan akan lepas dari tangannya. Dia akan jatuh miskin. Sesekali dia mengatur napas. Lelaki itu harus pandai menyembunyikan marah pada Savira. Meski kenyataannya dia begitu membenci wanita itu. Baginya Savira adalah kutu yang harus dibasmi. "Kenapa aku harus menikahi gundikmu, Pa! Papa benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya memintaku menikahi wanita bekas dirinya. Menjijikan!" rutuk Dion dalam hati. Dion berhenti melangkah, matanya awas mencari seorang wanita yang kini duduk sambil meminum es teh. "Ini demi uang! Ayo Dion!" ucap Dion menyemangati dirinya sendiri. Setelah cukup tenang Dion melangkah mendekati meja tempat Savira mengistirahatkan tubuh untuk sejenak. Jadwal istirahat diatur bergiliran. Ruang IGD tak boleh k
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status