INFERTIL 4
Vina mondar-mandir di dalam kamar, berkali-berkali dia melongokkan kepala ke jendela, melihat ke arah gerbang masuk. Berharap melihat suaminya pulang, tapi hingga hari hampir gelap, laki-laki yang menghalalkannya sehari yang lalu itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Kemana, sih?" gerutu Vina, masih mondar-mandir dari sebelah ranjang menuju jendela, begitu terus berulang-ulang."Huh!" Vina kembali mendengkus kesal, melongokkan lagi kepalanya keluar jendela, tapi apa yang diharapkan tidak dia jumpai. Padahal sebentar lagi azan maghrib berkumandang, tapi tak ada tanda-tanda Abra akan pulang."Katanya hanya sebentar, ini sudah seharian, kok nggak pulang-pulang? Masa iya Mas Abra sudah masuk kerja, sih? Tapi tadi Mama bilang ada urusan sama teman? Duh, jangan-jangan dia ketemu selingkuhannya?" Pikiran Vina mulai dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang suaminya.Vina menghempaskan tubuhnya ke ranjang, duduk di pinggir sambil melipat tangan di depan dada. Vina hendak menelfon Abra, untuk menanyakan dimana keberadaan laki-laki ganteng itu, ketika ponsel itu sudah berada dalam genggamannya. Tapi dia urung melakukanya. "Nanti dikira terlalu cerewet, posesif. Huh! Nyebelin banget, sih!" Vina melempar pelan ponsel ke atas kasur.Bingung, itu yang kini Vina rasakan. Harus bagaimana? Mereka belum lama kenal sebelum menikah, belum tahu sifat asli Abra seperti apa? Mau memulai chat atau telfon duluan tapi gengsi, nanti dianggap bucin. Ya kalau hanya dianggap bucin, kalau ternyata Abra nggak suka, atau tersinggung gimana? Nanti dianggap sebagai istri yang terlalu mengekang, padahal Vina hanya ingin tahu kabar suaminya itu."Huh!" Lagi-lagi Vina mendengkus kesal, Vina gusar, ingin marah tapi yang mau dimarahi nggak ada. "Awas saja kalau pulang nanti! Aku bikin jadi onde-onde dia! Berani-beraninya pergi tanpa pamit!" gumam Vina lagi. Dia sudah seperti orang gila, dari tadi ngomong sendiri saking jengkelnya.Vina buru-buru lari ke arah jendela, begitu mendengar suara gerbang dibuka. Nampak mobil Abra baru saja masuk. Senyum di wajahnya mengembang seketika, dia lalu berjalan ke arah cermin, merapikan pakaian dan make upnya. Memastikan penampilannya menarik di mata suami, meski mau marah harus tetap kelihatan cantik, kan.Ceklek! Pintu terbuka, sosok gagah dan tampan itu mengulas senyum terbaiknya. Membuat Vina yang siap marah itu jadi luluh seketika."Assalamu'alaikum," ucap Abra sebelum melangkah mendekat pada sangat istri."Darimana sih, Mas? Pergi kok nggak pamit? Mana nggak pulang-pulang lagi? Nggak ada ngabarin juga!" cerca Vina, ketika jarak dia dan Abra tinggal sejengkal. Dia memasang wajah cemberut, tapi hanya ditanggapi Abra dengan mengacak rambutnya sambil memamerkan deretan gigi rapihnya."Aku minta maaf, tadi ada sedikit masalah di kantor. Saking fokusnya sama kerjaan, sampai lupa ngabarin kamu. Maaf ya?" jelas Abra tanpa merasa bersalah.Dia juga tidak menjelaskan secara detail masalahnya apa, sampai dia harus ngantor padahal masih cuti. Hal yang membuat kecurigaan Vina makin menjadi-jadi. Vina menghela nafas, menatap Abra penuh selidik. 'Ke kantor? Bukannya mama tadi bilang dia ada urusan sama temannya? Tapi kok? Jangan-jangan ....'"Kok lihatnya gitu amat? Nggak percaya? Kamu telfon Om Burhan, deh. Cek, aku tadi beneran ke kantor, nggak?" tantang Abra. Abra tidak sedang berbohong, dia memang datang ke kantor omnya tadi. Meski bukan untuk bekerja, hanya untuk membuat alibi. Dan juga menghabiskan waktu yang seharusnya dia lewatkan dengan Vina. Abra butuh waktu untuk sendiri, mengumpulkan segenap keberanian untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami.Vina menatap Abra dengan perasaan campur aduk. Antara percaya dan curiga, membuat Vina mengurungkan niatnya untuk mencerca Abra. Kalau dia kekeh mendebat Abra, maka akan terjadi percekcokan. Masa iya baru nikah sudah ribut, apa kata mertuanya nanti? Batin Vina"Sudah azan, tuh. Aku mandi dulu ya? Lengket banget nih badan." Abra buru-buru melangkah ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban Vina, mengabaikan wajah cemberut itu.Sepeninggal Abra, pikiran Vina makin dipenuhi rasa curiga. Pasti ada yang tidak beres, tapi apa? Antara keterangan Maya dan Abra bertolak belakang. 'Mama yang bohong, atau Abra yang nggak jujur, sih?' gumam Vina dalam hati.'Sikapnya datar banget, cium pipi kek. Cium kening kek, atau mengulurkan tangan untuk dicium. Ini kok lempeng aja! Kayak bukan pengantin baru. Jangan-jangan kata cinta yang Abra ucapkan sebelum menikah itu hanya kamuflase. Untuk menutupi rahasia, entah itu apa.' Batin Vina masih saja menggerutu, mengeluhkan sikap Abra yang tak sesuai harapannya."Lho, kok masih berdiri di situ? Sudah wudlu?" Abra yang baru keluar dari kamar mandi sedikit terkejut, melihat Vina masih berdiri di tempatnya. Wajah itu terlihat tegang, Vina masih menyimpan amarahnya. Anra paham itu, tapi dia memilih pura-pura tidak tahu."Sudah!" ketus Vina, sambil mengerucutkan bibir. Efek kekesalannya pada Abra.Sebenarnya dia ingin protes pada Abra, kenapa tidak terbuka padanya? Kenapa terkesan menghindar? Dia istrinya, kan? Harusnya Abra terbuka tentang apa saja padanya, tapi ini?Apa hanya suaminya, atau semua laki-laki memang suka berahasia? Gumam hati Vina.* * * * * * * *Abra sudah terlelap sejak selesai sholat isya tadi, membuat Vina mengumpat dalam hati. Rasa kecewa setelah malam pertama yang gagal, ditambah hari kedua menjadi istri yang terlantar, dan kini dia harus kembali menelan kecewa atas pupusnya harapan untuk memadu cinta. Membuat Vina hati Vina dirundung duka.Dia ingin sekali menjerit, menangis meraung-raung untuk meluapkan segala sesak yang menghimpit dada. Kenapa bayangan indah setelah menikah, yang dulu dia dambakan, yang sering sahabatnya ceritakan, tak terjadi padanyaVina bukan tipe perempuan hipers**s, yang haus belaian. Bukan! Pernikahan bukan hanya tentang ranjang, pernikahan adalah meleburnya dua pribadi menjadi satu. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bergandengan tangan menghadapi semua rintangan yang ada, begitu pendapat Vina.Sikap Abra yang seolah menjauh, menciptakan sekat antara dirinya dengan laki-laki yang menjadi suaminya itu, yang membuat Vina terluka.Ada apa dengan Abra? Kenapa dia tidak cerita saja? Kalau memang ada yang kurang dalam dirinya, kenapa Abra tidak berterus terang saja? Agar Vina tahu bagaimana harus bersikap, lelah hati Vina kalau harus meraba-raba. Diamnya Abra membuat dia merasa tidak diinginkan, tidak dicintai.Sebelum menikah dengan Abra, Vina punya mimpi untuk menikah dengan pria yang lebih dewasa. Agar punya tempat bersandar dan bermanja, karena sejak kecil Vina dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan. Dan sekarang Vina harus menghadapi kenyataan, bahwa tua belum tentu dewasa.Bersambung ....Link ada kolom komentar.INFERTIL 5Vina mengeliat meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, perlahan matanya terbuka. Tanpa menoleh Vina meraba sebelah tempatnya tidur. Kosong! Lagi-lagi Abra bangun lebih awal, meninggalkan Vina meringkuk sendiri di bawah selimut. "Apa susahnya bangunin istri dulu, sih!" gerutu Vina dalam hati. Sudah dua kali Abra meninggalkan dirinya tanpa pamit, sebuah kebiasaan yang membuat Vina makin curiga pada sang suami. Ada apa dengan Abra? Apa yang disembunyikan laki-laki itu? Tak ingin over thinking, gegas Vina ke kamar mandi, membersihkan diri, tak lupa melakukan kewajibannya sebagai muslim sebelum memulai hari. Meski bukan berasal dari keluarga religius, untuk kewajiban yang satu itu Vina tak pernah meninggalkannya, kecuali kalau tamu bulanannya datang tentu saja. Usai sholat Vina berganti baju, memoles wajahnya dengan riasan tipis. Meski hatinya tengah dilanda gelisah, dia harus terlihat cantik dan segar, kan. Pengantin baru masa iya, penampilannya kucel dan nggak enak di lihat
INFERTIL 6Vina hanya menghela nafas melihat Abra pulang menjelang malam. Sebenarnya dia ingin bertanya kemana Abra pergi seharian, apa saja yang dilakukan laki-laki itu menghabiskan waktunya? Tapi dia urung melakukan, dia tidak yakin Abra akan jujur padanya. Terlalu banyak rahasia yang disimpan laki-laki itu, entah sampai kapan dia akan terbuka pada Vina? Vina hanya ingin punya kehidupan normal, seperti pasangan pada umumnya. Bukan seperti ini, Abra seperti alergi menghabiskan waktu berdua dengannya. Dia berharap, kecurigaannya tak terbukti. "Kita turun makan yuk, Vin! Sekalian aku mau ngomong sama Mama," ucap Abra setelah dirinya keluar kamar mandi dengan keadaan rapi. Dada Vina berdenyut nyeri, melihat Abra yang terlihat sudah ganteng itu. Ganti baju saja dilakukan Abra di kamar mandi, padahal mereka sudah suami istri. Tak berdosa bila Vina melihat tubuh polosnya, jangan hanya melihat menikmati saja halal. Tapi kenapa Abra masih sungkan? Atau ada yang ingin Abra tutupi, hingga V
Bab 7Selama di Maldives, mereka menghabiskan waktu untuk jalan-jalan menikmati pemandangan alam yang memang terlalu indah untuk dilewatkan, renang dan wisata kuliner tentu saja. Tapi ada hal penting yang mereka lewatkan, hal yang sebenarnya menjadi tujuan mereka datang ke sini. Meneguk madu cinta!. Ya, sampai hari ke-empat Abra belum juga menyentuh Vina. Setiap pulang jalan-jalan dia buru-buru ke kamar mandi, membersihkan diri lalu merebahkan diri di ranjang, dengan alasan capek, kemudian terlelap hingga pagi. Begitu terus setiap hari. Perilaku aneh Abra membuat kecurigaan Vina semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan suamiku? Apa dia punya orientasi seksual yang menyimpang? Hingga tidak tertarik sama sekali untuk menyentuhku? Begitu pertanyaan yang kini memenuhi benak Vina. "Jangan menolak permintaan suami, dosa! Kalau perlu kamu yang memulai lebih dulu, tawari suamimu! Nggak usah malu-malu!" Nasihat Marni masih terngiang jelas di telinga Vina. "Apaan sih, Ma? Nggak mau, lah! Entar
"Bagaimana perjalanannya, menyenangkan?" tanya Maya dengan wajah semringah, menyambut kepulangan anak dan menantunya. Dalam benak Maya, menghabiskan waktu berdua untuk berbulan madu pastilah menyenangkan. Tak lama lagi dia akan segera mendapat cucu, tapi sayang yang terjadi justru sebaliknya. Bulan madu itu tak pernah terjadi, Abra dan Vina hanya jalan-jalan, plesiran. Tak ada momen romantis, yang ada justru Vina syok karena tahu Abra punya kekurangan. "Kami capek banget, Ma. Ceritanya nanti saja, ya? Kami mau langsung istirahat," jawab Vina tak bersemangat. "Iya, iya. Kalian langsung ke kamar aja!" balas Maya, dia tersenyum penuh arti. Dia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Kami naik dulu, Ma." Abra menepuk pundak Maya sebelum berlalu. Abra menyusul Vina yang lebih dulu menuju kamar. Dari wajahnya bisa dilihat kalau Vina masih kesal pada Abra. "Vin!" Abra berusaha meraih tangan Vina yang hendak menekan handle pintu. Vina menatap Abra sejenak lalu melanjutkan aksinya
"Intinya, saudara Abra ini tidak percaya diri, minder, dan takut yang berlebihan. Pengalaman pernah ditolak dan ditinggalkan dalam keadaan terpuruk membuat dia trauma, kehilangan kepercayaan dirinya sebagai laki-laki. Bahkan dia kehilangan semangat untuk sembuh, karena merasa sendiri," terang Psikiater wanita yang kini berhadapan dengan Vina. Ya, sekarang giliran Vina bicara empat mata dengan dr. Fitria Ningrum Sp.KJ. Setelah sesi pertama tadi, Abra berkesempatan membicarakan keluhannya dengan ahli jiwa ini. "Apa ada obat khusus, Dok? Ya, semacam obat kuat atau apalah, biar suami saya punya sedikit 'power', dokter?" tanya Vina sedikit ragu. Jujur dia malu pada wanita cantik yang berbincang dengannya ini. Wanita itu menggeleng pelan, "nggak ada, Vin. Nggak ada! Yang sakit psikisnya, bukan fisiknya. Lagipula obat kuat itu banyak efek sampingnya, bisa bikin kecanduan juga. Kalau nggak minum, nggak bisa bangun. Nggak bagus juga untuk jantung. Paling aku akan meresepkan beberapa vitamin
Infertil 10Vina mendesah lelah, ini malam kesekian dia dan Abra 'mencoba', tapi selalu kegagalan yang dia terima. "Maaf, Vin," lirih Abra dengan wajah penuh penyesalan. "Nggak pa-pa, Mas. Kita coba lagi besok," balas Vina tak kalah lirih. Meski dalam hati ingin meneriaki Abra, mengungkapkan segala kekecewaan yang membuncah di dada. Tapi mengingat ucapan dr. Fitria tempo hari. "Ingat, Vin! Kuncinya ada di kamu. Kalau kamu menyerah, semuanya akan sia-sia." Membuat Vina menelan kecewanya sendiri, dan tetap memberi Abra semangat, meski diri sendiri ingin rasanya ingin pasrah dan menyerah. "Terimakasih, Vin, terimakasih. Kamu memang yang terbaik." Abra mendekap erat Vina dalam pelukannya. * * * * *"Vin, Vina! Tunggu!" Vina membalik badan, menuju sumber suara. Di depannya nampak gadis seusianya sedang berjalan tergesa bahkan sedikit berlari ke arahnya. "Buru-buru amat! Sudah nggak sabar ketemu misua, ya?" ucap Nia dengan ekspresi wajah menggoda. "Apaan, sih! Aku bukan buru-buru mau
Infertil 11Vina tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana mungkin Edo tahu? Sedangkan rahasia ini sudah disimpan rapat-rapat baik oleh Vina maupun Abra. Hanya Antoni dan dr. Fitria yang tahu, tak mungkin salah satu dari mereka berdua yang membocorkan rahasia ini, kan? Edo tersenyum sinis. "Ikut aku, atau rahasia suamimu akan terbongkar!"Speechless, Vina tak mampu berkata apa-apa. Edo sudah tahu rahasia terbesar Abra. "Le--pas! Aku bisa jalan sendiri!" sentak Vina, berusaha melepaskan cengkeraman Edo yang menarik paksa tangannya. "Diam! Tak usah banyak bicara!" Edo bergeming tak berniat melepaskan genggamannya. "Nggak enak dilihat orang, Kak. Nanti mereka mikir macem-macem." Vina berusaha menego, dengan memasang wajah melas. Edo menghentikan sejenak langkahnya, ditatapnya Vina dengan tatapan dingin. "Oke, aku lepas. Tapi jangan berusaha kabur! Atau seluruh kampus, bahkan seluruh kota tahu kalau suamimu 'nggak jantan'." Edo sengaja menekan kata nggak jantan ketika menga
"Siapa dia?" tanya Abra dengan suara dingin dan tatapan tidak suka. Membuat nyali Vina mengkerut seketika. "Edo," jawab Vina takut-takut. "Edo? Namanya seperti tidak asing di telingaku," ucap Abra yang masih betah berdiri di samping mobil, dan terus menatap ke arah kafe. Vina bingung harus bersikap bagaimana. Haruskah jujur sekarang? Apa waktunya tepat? Dia takut Abra tidak terima, lantas marah. Tapi kalau tidak jujur sekarang, dia takut masalahnya jadi tambah rumit. "Mas, aku bisa jelaskan. Tapi bicaranya di mobil saja, ya?" ucap Vina lembut, mencoba melunakkan hati Abra.Tanpa menjawab, Abra membuka pintu dan langsung duduk di jok sopir. Tak mau Abra menunggu, Vina segera masuk lewat pintu sebelahnya. Dari roman mukanya, hampir bisa dipastikan kalau Abra tidak sedang baik-baik saja. Mungkin sedang menahan cemburu dan amarahnya. "Edo itu mantan pacarku, Mas," ucap Vina sambil menatap Abra yang tengah fokus nyetir itu. Hening, tak ada jawaban yang meluncur dari bibir Abra. Meski