INFERTIL 5
Vina mengeliat meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, perlahan matanya terbuka. Tanpa menoleh Vina meraba sebelah tempatnya tidur. Kosong! Lagi-lagi Abra bangun lebih awal, meninggalkan Vina meringkuk sendiri di bawah selimut."Apa susahnya bangunin istri dulu, sih!" gerutu Vina dalam hati.Sudah dua kali Abra meninggalkan dirinya tanpa pamit, sebuah kebiasaan yang membuat Vina makin curiga pada sang suami. Ada apa dengan Abra? Apa yang disembunyikan laki-laki itu?Tak ingin over thinking, gegas Vina ke kamar mandi, membersihkan diri, tak lupa melakukan kewajibannya sebagai muslim sebelum memulai hari. Meski bukan berasal dari keluarga religius, untuk kewajiban yang satu itu Vina tak pernah meninggalkannya, kecuali kalau tamu bulanannya datang tentu saja.Usai sholat Vina berganti baju, memoles wajahnya dengan riasan tipis. Meski hatinya tengah dilanda gelisah, dia harus terlihat cantik dan segar, kan. Pengantin baru masa iya, penampilannya kucel dan nggak enak di lihat? Begitu batin Vina.Vina menatap pantulan dirinya di cermin rias yang ada di depannya, dia meneliti tiap inci wajahnya. Mencari kekurangan yang membuat Abra enggan menyentuhnya. Cantik, bahkan kecantikannya di atas rata-rata, tapi kenapa Abra seolah tak berselera padanya? Atau jangan-jangan Abra memang tak berselera pada wanita? Memikirkan semua itu membuat Vina sakit kepala.Terlintas sesal dalam benak Vina, kenapa dia dulu menerima perjodohan ini? Kenapa dulu dia tidak menolak saja, kalau akhirnya harus begini."Apalagi yang kamu cari? Abra itu paket komplit, tampan, mapan, jelas asal-asulnya. Meskipun orang kaya tapi tidak sombong, orang tuanya juga baik. Kurang apalagi?" ucap Marni mencoba meyakinkan Vina."Tapi aku nggak cinta, Ma?" sanggah Vina waktu itu."Cinta bisa tumbuh seiring perjalanan waktu. Hidup seatap, setiap hari ketemu akan membuat benih cinta di antara kalian tumbuh subur. Apalagi menurut Bu Maya, Abra itu sudah jatuh hati padamu sejak pertemuan pertama kalian dulu. Jadi, apalagi yang kamu risaukan? Dengar ya, Vin! Lebih baik dicintai daripada mencintai. Percaya Mama."Vina hanya bisa menghela nafas, sepertinya sang Mama tak ingin dibantah lagi. Dia harus bagaimana? Jujur dia belum siap menikah, masih ingin mengejar cita-cita, masih ingin hora hore dengan teman-temannya. Hal yang tidak mungkin dia lakukan ketika jadi istri, tugas utamanya adalah melayani suami. Apapun yang ingin dia lakukan harus seijin suami. Apa suaminya nanti akan mengijinkan dia nongkrong sama teman-temannya?"Vin." Marni mengelus lembut punggung Vina, tatapannya kini berubah sendu. "Mama tahu ini berat buat kamu, tapi Mama mohon kamu pikirkan baik-baik pinangan Bu Maya. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi tentang kita, nasib adik-adik kamu. Kita hanya mengandalkan uang tabungan peninggalan papamu yang hampir habis. Mama juga butuh biaya kontrol yang tidak sedikit. Adikmu butuh biaya untuk tetap bisa sekolah. Bu Maya berjanji, Abra akan menanggung biaya hidup kita setelah kalian menikah.Mama rasa kamu hanya butuh sedikit berkorban, Mama jamin kamu nggak bakal rugi. Punya suami tampan dan mapan adalah idaman semua wanita, vin. Dan itu ada pada Abra. Apa kamu nggak bosen hidup pas-pasan? Kuliahmu terancam putus, lho. Karena Mama nggak sanggup lagi membiayai," ucapan Marni yang terakhir, tak urung membuat pendirian Vina goyah juga.Vina menatap dalam-dalam manik hitam milik mamanya, mencari jawaban atas keraguannya.Marni memegang kedua bahu Vina, balas menatap Vina. "Percaya lah! Mama tidak akan menjerumuskan anak sendiri, Vin."Vina bangkit dari duduknya, berjalan menuju jendela dan melempar pandangan keluar. "Tidak ada manusia yang sempurna, Ma. Apa yakin Mas Abra tidak punya kekurangan?" tanya Vina pelan tanpa menatap mamanya."Kalau pun Abra punya kekurangan, Mama yakin semua tertutupi kelebihannya, Vin," ucap Marni dari tempat duduknya."Bagaimana kalau kekurangannya itu bersifat fatal, Ma? Perilaku menyimpang, atau gangguan mental misalnya?" Vina bergidik ngeri ketika terbayang seandainya Abra itu psikopat, atau masokis yang suka menyiksa istri.Marni terkekeh, dia berjalan mendekati Vina. "Abra itu normal, dia bekerja, bergaul dan bersosialisasi dengan orang lain. Dia tidak punya kelainan seperti yang kamu duga. Sudah lah! Terima Abra!""Tapi Ma. Rasanya tak masuk akal, saja. Tiba-tiba pria tampan dan kaya, datang mempersuntingku, dan bersedia menanggung semua kebutuhan kita kalau tidak ada apa-apanya." Vina mulai berani menyuarakan isi hatinya."Jelas ada apa-apanya. Dia jatuh cinta sama kamu, Vin. Apa bukan alasan yang cukup? Kamu tahu sendirian, orang jatuh cinta bisa melakukan apa saja untuk orang yang dicintai. Jadi orang positif thinking aja, lah! Nggak usah mikir macem-macem! Harusnya kamu bersyukur ada pria yang begitu baik, yang mau memperistri kamu! Bukan malah curiga!" Marni terlihat mulai jengkel dengan sikap Vina."Bagaimana kalau itu bukan cinta? Bagaimana kalau karena kita keluarga sederhana, yang bisa mereka tekan seenaknya karena tak punya daya untuk melawan? Mereka orang kaya lho, Ma. Mereka bisa melakukan apa saja. Jangan mudah tergiur."Marni menghela nafas. "Jangan kamu bilang, kamu masih menjalin hubungan dengan teman kuliahmu itu. Mau jadi gembel kamu!" Marni mulai terbawa emosi."Mah! Kok ngomongnya kesitu, sih? Ini bukan tentang orang lain, ini tentang calon menantu kesayangan Mama itu. Vina hanya khawatir kalau dia itu tak sesempurna itu.""Mama nggak mau tahu, kamu harus menikah dengan Abra. Mama kenal Bu Maya sejak lama, Mama tahu latar belakangnya seperti apa? Tak ada yang aneh, tak yang menyimpang. Sudah lah! Terima saja Abra! Dia lelaki yang tepat buat kamu!" ucap Marni kemudian meninggalkan kamar Vina. Kalau debat ini dilanjutkan, bisa makin panjang urusannya. Vina bukan tipe gadis yang pasrah terima nasib begitu saja, dia akan melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan. Dan Marni juga punya senjata andalan. Anak harus nurut sama orang tua, harus berbakti, tak ada tawar menawar lagi. Baginya Abra adalah harga mati, dia juga ingin status sosialnya naik."Non!" suara panggilan dari luar kamar membuat Vina menghentikan lamunannya. "Non Vina ditunggu Ibu di ruang makan," ucap suara itu lagi.Vina membuka pintu, di depannya berdiri wanita awal empat puluh tahunan. Pembantu rumah ini."Iya Bik, saya segera ke sana," ucapnya tanpa semangat. Entahlah, sejak semalam dia seperti kehilangan gairah hidup. Sikap Abra yang misterius, membuat Vina berfikir kalau Abra menyembunyikan sesuatu. Entah apa itu?* * * * * * *"Abra tadi pesen sama Mama, mau ke biro travel. Katanya dia mau mengurus bulan madu kalian," ucap Maya dengan wajah semringah. Ketika Vina sudah duduk di depannya."Iya, Mah." Hanya itu yang keluar dari bibir mungil Vina.Mengurus perjalanan bulan madu mereka, harus sepagi itu, kah? Emang kantornya sudah buka? Hari gini semua serba online, Abra tinggal nelpon dari rumah, kenapa harus repot-repot datang? Ini hanya akal-akalan Abra agar punya alasan untuk menghindari dirinya atau bagaimana?Ini yang Vina takutkan, Abra punya kelainan seperti yang kecurigaannya selama ini.Bersambung ....Link ada di kolom komentar.INFERTIL 6Vina hanya menghela nafas melihat Abra pulang menjelang malam. Sebenarnya dia ingin bertanya kemana Abra pergi seharian, apa saja yang dilakukan laki-laki itu menghabiskan waktunya? Tapi dia urung melakukan, dia tidak yakin Abra akan jujur padanya. Terlalu banyak rahasia yang disimpan laki-laki itu, entah sampai kapan dia akan terbuka pada Vina? Vina hanya ingin punya kehidupan normal, seperti pasangan pada umumnya. Bukan seperti ini, Abra seperti alergi menghabiskan waktu berdua dengannya. Dia berharap, kecurigaannya tak terbukti. "Kita turun makan yuk, Vin! Sekalian aku mau ngomong sama Mama," ucap Abra setelah dirinya keluar kamar mandi dengan keadaan rapi. Dada Vina berdenyut nyeri, melihat Abra yang terlihat sudah ganteng itu. Ganti baju saja dilakukan Abra di kamar mandi, padahal mereka sudah suami istri. Tak berdosa bila Vina melihat tubuh polosnya, jangan hanya melihat menikmati saja halal. Tapi kenapa Abra masih sungkan? Atau ada yang ingin Abra tutupi, hingga V
Bab 7Selama di Maldives, mereka menghabiskan waktu untuk jalan-jalan menikmati pemandangan alam yang memang terlalu indah untuk dilewatkan, renang dan wisata kuliner tentu saja. Tapi ada hal penting yang mereka lewatkan, hal yang sebenarnya menjadi tujuan mereka datang ke sini. Meneguk madu cinta!. Ya, sampai hari ke-empat Abra belum juga menyentuh Vina. Setiap pulang jalan-jalan dia buru-buru ke kamar mandi, membersihkan diri lalu merebahkan diri di ranjang, dengan alasan capek, kemudian terlelap hingga pagi. Begitu terus setiap hari. Perilaku aneh Abra membuat kecurigaan Vina semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan suamiku? Apa dia punya orientasi seksual yang menyimpang? Hingga tidak tertarik sama sekali untuk menyentuhku? Begitu pertanyaan yang kini memenuhi benak Vina. "Jangan menolak permintaan suami, dosa! Kalau perlu kamu yang memulai lebih dulu, tawari suamimu! Nggak usah malu-malu!" Nasihat Marni masih terngiang jelas di telinga Vina. "Apaan sih, Ma? Nggak mau, lah! Entar
"Bagaimana perjalanannya, menyenangkan?" tanya Maya dengan wajah semringah, menyambut kepulangan anak dan menantunya. Dalam benak Maya, menghabiskan waktu berdua untuk berbulan madu pastilah menyenangkan. Tak lama lagi dia akan segera mendapat cucu, tapi sayang yang terjadi justru sebaliknya. Bulan madu itu tak pernah terjadi, Abra dan Vina hanya jalan-jalan, plesiran. Tak ada momen romantis, yang ada justru Vina syok karena tahu Abra punya kekurangan. "Kami capek banget, Ma. Ceritanya nanti saja, ya? Kami mau langsung istirahat," jawab Vina tak bersemangat. "Iya, iya. Kalian langsung ke kamar aja!" balas Maya, dia tersenyum penuh arti. Dia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Kami naik dulu, Ma." Abra menepuk pundak Maya sebelum berlalu. Abra menyusul Vina yang lebih dulu menuju kamar. Dari wajahnya bisa dilihat kalau Vina masih kesal pada Abra. "Vin!" Abra berusaha meraih tangan Vina yang hendak menekan handle pintu. Vina menatap Abra sejenak lalu melanjutkan aksinya
"Intinya, saudara Abra ini tidak percaya diri, minder, dan takut yang berlebihan. Pengalaman pernah ditolak dan ditinggalkan dalam keadaan terpuruk membuat dia trauma, kehilangan kepercayaan dirinya sebagai laki-laki. Bahkan dia kehilangan semangat untuk sembuh, karena merasa sendiri," terang Psikiater wanita yang kini berhadapan dengan Vina. Ya, sekarang giliran Vina bicara empat mata dengan dr. Fitria Ningrum Sp.KJ. Setelah sesi pertama tadi, Abra berkesempatan membicarakan keluhannya dengan ahli jiwa ini. "Apa ada obat khusus, Dok? Ya, semacam obat kuat atau apalah, biar suami saya punya sedikit 'power', dokter?" tanya Vina sedikit ragu. Jujur dia malu pada wanita cantik yang berbincang dengannya ini. Wanita itu menggeleng pelan, "nggak ada, Vin. Nggak ada! Yang sakit psikisnya, bukan fisiknya. Lagipula obat kuat itu banyak efek sampingnya, bisa bikin kecanduan juga. Kalau nggak minum, nggak bisa bangun. Nggak bagus juga untuk jantung. Paling aku akan meresepkan beberapa vitamin
Infertil 10Vina mendesah lelah, ini malam kesekian dia dan Abra 'mencoba', tapi selalu kegagalan yang dia terima. "Maaf, Vin," lirih Abra dengan wajah penuh penyesalan. "Nggak pa-pa, Mas. Kita coba lagi besok," balas Vina tak kalah lirih. Meski dalam hati ingin meneriaki Abra, mengungkapkan segala kekecewaan yang membuncah di dada. Tapi mengingat ucapan dr. Fitria tempo hari. "Ingat, Vin! Kuncinya ada di kamu. Kalau kamu menyerah, semuanya akan sia-sia." Membuat Vina menelan kecewanya sendiri, dan tetap memberi Abra semangat, meski diri sendiri ingin rasanya ingin pasrah dan menyerah. "Terimakasih, Vin, terimakasih. Kamu memang yang terbaik." Abra mendekap erat Vina dalam pelukannya. * * * * *"Vin, Vina! Tunggu!" Vina membalik badan, menuju sumber suara. Di depannya nampak gadis seusianya sedang berjalan tergesa bahkan sedikit berlari ke arahnya. "Buru-buru amat! Sudah nggak sabar ketemu misua, ya?" ucap Nia dengan ekspresi wajah menggoda. "Apaan, sih! Aku bukan buru-buru mau
Infertil 11Vina tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana mungkin Edo tahu? Sedangkan rahasia ini sudah disimpan rapat-rapat baik oleh Vina maupun Abra. Hanya Antoni dan dr. Fitria yang tahu, tak mungkin salah satu dari mereka berdua yang membocorkan rahasia ini, kan? Edo tersenyum sinis. "Ikut aku, atau rahasia suamimu akan terbongkar!"Speechless, Vina tak mampu berkata apa-apa. Edo sudah tahu rahasia terbesar Abra. "Le--pas! Aku bisa jalan sendiri!" sentak Vina, berusaha melepaskan cengkeraman Edo yang menarik paksa tangannya. "Diam! Tak usah banyak bicara!" Edo bergeming tak berniat melepaskan genggamannya. "Nggak enak dilihat orang, Kak. Nanti mereka mikir macem-macem." Vina berusaha menego, dengan memasang wajah melas. Edo menghentikan sejenak langkahnya, ditatapnya Vina dengan tatapan dingin. "Oke, aku lepas. Tapi jangan berusaha kabur! Atau seluruh kampus, bahkan seluruh kota tahu kalau suamimu 'nggak jantan'." Edo sengaja menekan kata nggak jantan ketika menga
"Siapa dia?" tanya Abra dengan suara dingin dan tatapan tidak suka. Membuat nyali Vina mengkerut seketika. "Edo," jawab Vina takut-takut. "Edo? Namanya seperti tidak asing di telingaku," ucap Abra yang masih betah berdiri di samping mobil, dan terus menatap ke arah kafe. Vina bingung harus bersikap bagaimana. Haruskah jujur sekarang? Apa waktunya tepat? Dia takut Abra tidak terima, lantas marah. Tapi kalau tidak jujur sekarang, dia takut masalahnya jadi tambah rumit. "Mas, aku bisa jelaskan. Tapi bicaranya di mobil saja, ya?" ucap Vina lembut, mencoba melunakkan hati Abra.Tanpa menjawab, Abra membuka pintu dan langsung duduk di jok sopir. Tak mau Abra menunggu, Vina segera masuk lewat pintu sebelahnya. Dari roman mukanya, hampir bisa dipastikan kalau Abra tidak sedang baik-baik saja. Mungkin sedang menahan cemburu dan amarahnya. "Edo itu mantan pacarku, Mas," ucap Vina sambil menatap Abra yang tengah fokus nyetir itu. Hening, tak ada jawaban yang meluncur dari bibir Abra. Meski
"Beli apa, sih, Sayang?" tanya Abra, setelah Vina menghenyakkan tubuhnya ke jok yang ada di sampingnya. "Rahasia," jawab Vina singkat. Kening Abra mengkerut, memandang istrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Sementara yang dipandang tersenyum penuh misteri. Istrinya tidak sedang membeli obat terlarang, kan? "Kok main rahasia-rahasiaan, sih? Aku jadi curiga, nih, jangan-jangan ----""Jangan-jangan apa?" potong Vina cepat. "Jadi orang nggak usah curigaan, Mas. Yang jelas aku beli sesuatu yang bisa bikin kamu bahagia," jelas Vina, yang masih misterius menurut Abra. "Ayo, jalan!" lanjut Vina karena Abra tak kunjung melajukan mobilnya. Abra bergeming, dia masih betah menatap istrinya. "Mas, gitu amat lihatnya. Nanti di rumah juga bakal tahu aku beli apa? Pokoknya ini, itu aku beli buat kamu. Dah, ah jalan!" Bibir Vina mengerucut saat berkata, membuat Abra gemas dan tak tahan mengacak rambutnya. "Ih, Mas Abra!" Vina menggebuk lengan suaminya, yang punya kebiasaan mengacak rambut