Share

Bab 3

INFERTIL 3

"Nggak bisa, Ton. Tulangku rasanya hilang, kayak nggak ada tenaga. Lemes banget, sumpah!" ucap Abra frustasi.

"Kamu terlalu tegang mungkin, Bra. Coba deh kamu itu santai, rileks, dan nikmati saja momennya," jawab Antoni bijak.

"Sudah Ton, aku sudah berusaha semampuku. Tapi tubuhku terasa tak berdaya saat aku mau memulainya, aku langsung down." Abra meraup kasar mukanya berkali-kali, mengingat kejadian semalam, dimana dia gagal menyentuh Vina.

"Kamu terlalu banyak mikir kali, Bra. coba kamu fokus sama istrimu. Masa istri secantik itu, masih muda, seksi lagi, nggak membuat kamu nafsu?" ujar Antoni dengan wajah setengah menggoda.

"Nggak tahu, Ton. Aku sendiri bingung, kenapa bisa begitu? Padahal aku bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan istriku, kenapa sekarang aku nggak bisa nafsu? Padahal dia terlihat sudah siap semalam, tapi aku malah mengecewakannya. Aku jadi merasa berdosa padanya," ucap Abra frustasi. Berkali-kali dia meremas rambutnya sendiri.

"Kamu sudah selesai menjalani terapi, kemarin kamu juga bilang, kalau saat pagi punyamu sudah bisa 'berdiri'. Itu artinya kamu sudah normal, kalau sekarang kamu lemes menghadapi istrimu, itu artinya masalahnya ada di psikologis kamu. Coba sekarang kamu rileks, nikmati suasana. Atau kalian bulan madu saja, ke tempat yang romantis. Mungkin dengan perubahan suasana bisa merubah moodmu, gimana?" usul Antoni.

"Iya, ya? Mungkin usulmu bisa dicoba, tapi yakin bisa berhasil? Takutnya di sana juga gagal."

Antoni menghela nafas, kalau yang dihadapinya ini bukan sahabatnya, mungkin dia sudah menggebuk Abra. Dinasehati ngeyel terus dari tadi, sebenarnya Abra ini mau berobat apa ngajak debat?

"Dicoba dulu, jangan langsung pesimis begitu. Coba pilih yang dekat-dekat aja, yang penting tempatnya romantis. Yang suasananya mendukung acara bulan madu kalian. Kalau perlu tiru adegan drama Korea, siapa tahu berhasil, iya kan? Yang penting kamu itu rileks, nikmati setiap momen yang kalian lewati. Jangan overthinking! Yang ada malah gagal lagi nanti." Antoni berusaha meyakinkan Abra, yang terlihat menyerah sebelum berperang.

Abra menghela nafas, matanya menatap lurus kedepan. Berkali-kali dia meraup kasar wajahnya. "Aku nggak yakin, Ton. Kalau nanti gagal gimana?"

"Plak!" Antoni menggebuk gemas punggung Abra. Dinasehati selalu saja membantah. Apa salahnya dicoba dulu!

"Dicoba dulu! Harus berapa kali kubilang? Dicoba dulu, jangan overthinking! Kalau sampai nanti gagal, aku bakal kasih kamu obat perangsang yang aman. Biar kamu bisa melewati malam pertama." Mata Antoni menatap jengkel pada Abra.

"Aku laporin kamu ke IDI, biar dicabut ijin praktekmu, karena sudah menganiaya pasien!" ancam Abra, sambil meringis kesakitan. Karena gebukan Antoni bisa dibilang cukup keras.

"Habisnya aku jengkel sama kamu, dari tadi ngeyel terus. Ikuti saja saranku, kalau masih gagal juga, segera hubungi aku. Kalau perlu ajak sekalian istrimu, biar dia tahu permasalahanmu --- "

"Gila aja kamu! Ngajak Vina konsultasi sama kamu? Mau ditaruh di mana mukaku?" pekik Abra spontan.

"Penyakit kamu itu, butuh dukungan dari orang terdekat, terutama pasangan." Suara Antoni mulai meninggi, efek dari sikap Abra yang menjengkelkan.

"Ya kalau dia mau mengerti, kalau dia memilih pergi gimana? Kamu lupa kasus Lia?" Bayangan Lia memutuskan hubungan mereka masih teringat jelas di benak Abra.

"Aku nggak bisa nunggu, Mas," lirih Lia, saat Abra mengutarakan keinginannya menunda pernikahan mereka, menunggu dia benar-benar sembuh, dan kembali normal.

"Hanya beberapa kali terapi, setelah sembuh aku akan segera menikahimu," melas Abra.

"Butuh waktu berapa lama? Sebulan? Dua bulan? Atau setahun, dua tahun? Mau sampai kapan? Berapa kali kita mencoba, tapi kamu tetap saja tak berdaya. Ya kalau sembuh, kalau penyakit kamu itu permanen gimana?" cerca Lia yang mulai terbawa emosi.

"Beri waktu tiga bulan, kalau tidak ada perubahan, terserah kamu mau apa?" ucap Abra pasrah, tak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan Lia agar jangan pergi dari sisinya.

"Aku nggak mau spekulasi, Mas. Aku mau hidup normal, bahagia punya anak." Abra benar-benar frustasi mendengar kalimat yang meluncur dari bibir kekasihnya itu.

Bukan hanya Lia, dia pun punya keinginan yang sama. Tapi keadaannya sekarang belum memungkinkan untuk menuju pelaminan. Dia ingin benar-benar sembuh dulu, kembali normal, agar bisa membahagiakan istrinya lahir batin.

"Maaf, Mas. Aku rasa hubungan kita harus berakhir di sini, akan menikahi laki-laki lain," ucap Lia datar, sedatar ekspresinya.

Abra mengeram frustasi, orang yang dia harap mau mendukung dan memberinya semangat untuk sembuh, nyatanya memilih mundur. Apa salah jika kemudian dia terpuruk dan putus asa?

"Bra!" Antoni menepuk pundak Abra yang sedang termenung itu. "Kayaknya setelah ini kamu harus konseling sama psikolog, aku rasa masalahnya ada pada psikismu. Kamu butuh ahli jiwa, Bra. Aku lihat kamu kehilangan kepercayaan diri, takut ditolak, trauma. Semua gejala yang kamu alami mengarah pada unxieti, kamu menderita kecemasan yang berlebihan. Ini baru dugaanku, hanya psikiater yang tahu pasti apa yang sebenarnya kamu alami," tutur Antoni panjang lebar.

"Apa separah itu, Ton?" tanya Ibra lemah. Antoni mengangguk pelan. "Aku rasa begitu, dari cerita gagalnya malam pertamamu, mengarah pada gejala itu. Apa perlu ku rekomendasikan psikolog terbaik?" Abra menggeleng lesu.

"Kenapa? Malu? Hanya psikiater yang bisa membantumu sembuh." Antoni menatap dalam-dalam mata Abra. Melihat Abra yang hanya diam, Antoni melanjutkan ucapannya. "Kalau kamu terus bersikap seperti ini, obat sebaik apapun, psikiater sehebat apapun tidak akan bisa menyembuhkanmu. Kamu harus punya semangat untuk sembuh! Kalau kamu menyerah begini, bagaimana dengan istrimu? Kamu nggak kasihan sama Vina? Kamu nggak kasihan sama Tante Maya?" Abra menatap nanar sahabatnya.

Dokter berwajah oriental itu berdiri dari tempat duduknya, dan mengambil tas yang dari tadi tergeletak di meja.

"Mau kemana?"

Antoni yang sudah bersiap pergi itu menunda langkahnya, karena Abra belum ada tanda-tanda akan meninggalkan ruang prakteknya. "Maaf, bukannya ngusir. Tapi aku sudah telat Ke rumah sakit. Bisa dipecat aku nanti, kalau sering telat begini," gumam Antoni pelan.

"Maaf, sudah merepotkanmu. Terimakasih ya, sudah mau mendengar keluh kesahku." Abra bangkit dari duduknya.

"Itu memang tugasku, Bra." Antoni menepuk pelan pundak Abra, sebelum kembali buka suara. "Hubungi aku, kalau kamu sudah siap ketemu psikiater," pungkas Antoni kemudian meninggalkan ruang prakteknya.

Abra berdiri, dan mengekor langkah Antoni. "Apa kamu nggak bisa bantu, Ton?"

"Kalau sama aku, kamu lebih suka ngajak ribut. Lagipula itu bukan ranahku, aku ini dokter kandungan, apa kamu lupa?" Abra tersenyum kecut. "Mending kamu ketemu ahlinya saja! Percayalah, aku tidak akan menjerumuskanmu, ini semua untuk kebaikanmu sendiri. Dan juga kebahagiaan kalian berdua," tukas Antoni lalu masuk ke dalam mobilnya.

"Aku pergi dulu, Bra. Salam untuk mama dan istrimu." Antoni bergegas melajukan mobil, meninggalkan Abra yang masih terpaku di tempatnya.

"Konseling ke ahli jiwa? Aku tidak gila." Desis Abra semakin kecewa.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status