Share

Bab 4

Daniel membanting bingkai foto itu. Rindu sebagai seorang anak tak pernah hilang dari hatinya. Namun, sepertinya, Ibunya itu sudah tak lagi peduli padanya atau bahkan pada Alvaro.

Meski lisannya mengatakan tidak pada Kakeknya, tapi hati Daniel sudah merasa tidak tenang setelah pembicaraan dengan Kakeknya.

Daniel mulai mengemasi barang-barangnya dan hendak kembali ke tanah airnya. Kejadian tabrak lari yang dilakukan Ayahnya juga sukses mengusik ketenangan hatinya.

Pergolakan batin pun terjadi. Saat ia bingung untuk menentukan pilihannya kembali ke rumah, atau tetap pada pendiriannya yang masih ingin di luar negeri. Tapi hatinya juga tidak menyangkal bahwa ia rindu untuk pulang. Juga rindu pada adiknya yang telah beberapa tahun ini tidak ditemuinya.

"Mungkin, aku memang harus segera kembali," lirih Daniel dengan senyum tipis menghiasi bibirnya.

********

Selena sedang mencari info lowongan pekerjaan di internet. Sesekali ia melihat Ibunya yang masih tertidur. Padahal ia sudah sangat bosan berada di rumah sakit.

Namun, ibunya masih belum diperbolehkan pulang oleh Dokter. Selena juga sedang mencari seorang perawat yang akan mau menjaga Ibunya selagi nanti ia bekerja jika nanti sudah mendapatkan pekerjaan.

"Doakan aku, Bu. Agar aku bisa mendapatkan pekerjaan untuk membiayai hidup kita. Andaikan masih ada Ayah, mungkin...," gumam Selena sembari menundukkan kepala.

"Mungkin, Ibu tak jadi seperti ini. Mungkin, semuanya akan baik-baik saja," ujar Selena dengan berkali-kali mengusap air matanya.

Ia masih sangat tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi pada kedua orang tanya. Hingga menyebabkan nyawa Ayahnya terenggut saat itu juga. Sedangkan Ibunya juga mengalami kelumpuhan.

"Aku berjanji, akan menjaga Ibu. Dan segera mencari pekerjaan untuk biaya hidup kita," ujar Selena menggenggam tangan Ibunya.

Untung saja kuliahnya sudah lulus. Hingga ia tak terlalu susah untuk memikirkan biaya pendidikannya.

Ia hanya perlu mencari pekerjaan hingga mendapatkan uang untuk keperluan sehari-harinya juga pengobatan Ibunya.

"Aku merindukanmu, Ayah. Sangat. Semoga kau tenang di sana. Maafkan aku, maaf," lirih Selena dengan sedikit terisak tangis dalam kesendiriannya.

******

"On behalf of The Airlines and the entire crew, I'd like to thank you for joining us on this trip. We are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day!"

(Atas nama The Airlines dan seluruh kru, saya ingin mengucapkan terima kasih telah bergabung dengan kami dalam perjalanan ini. Kami berharap dapat melihat Anda kembali di pesawat dalam waktu dekat. Semoga harimu menyenangkan).

Annoucement dari sang pramugari menandakan bahwa pesawat akan segera mendarat.

Rasanya jantung Daniel saling bersahutan dengan deru mesin pesawat saat mendarat. Bukan karena ia takut di dalam pesawat. Melainkan, hatinya seakan masih bimbang dalam mengambil keputusan untuk segera pulang.

"Ayo, Daniel! Tenangkan hatimu! Calm down, oke?" monolog Daniel sendiri sambil mengatur nafasnya.

"Sorry, can i help you?" tanya salah seorang Pramugari cantik menghampiri Daniel.

"Oh, No. Thanks," jawab Daniel sembari tersenyum.

Daniel tidak tahu saja, jika Pramugari ini sudah memperhatikannya sedari tadi. Sehingga memberanikan diri menyapa Daniel saat pria itu seperti sedang ketakutan atau cemas.

"Okay, if you need my help, you can call me right away," ucap sang Pramugari membuat Daniel hanya membalas gelengan dan senyum ramah darinya.

Sang Pramugari merasa kecewa karena Daniel tak terlihat tertarik padanya.

Daniel mendengus kasar. Ia seakan baru tahu maksud dari Pramugari itu. Dan itu sangat memuakkan baginya.

"God damn it!" pekik Daniel lirih karena Pramugari itu selalu memandanginya.

Daniel menghirup udara segar di tanah airnya. Empat tahun lalu ia pergi meninggalkan kotanya sendiri, hanya untuk menyembuhkan luka dalam hati karena orang tuanya.

Kini ia kembali, bersama sekelibat kenangan yang mulai memenuhi pikirannya.

Ayah dan Ibunya yang seakan tak pernah memikirkan kedua putranya. Saling memikirkan egonya masing-masing, kedua orang tuanya harus berpisah tanpa melihat ada dua putra yang ikut sakit menyaksikan perpisahan itu.

Sebenarnya, Daniel pun tak heran akan hal itu. Mengingat dari awal saja, hubungan kedua orang tuanya tak begitu pantas untuk dinamakan suami istri. Lantas, kenapa mereka menikah jika tidak saling mencintai? Batin Daniel.

Ia mendengus kesal, dengan menyeret koper bawaannya. Kemudian langkahnya terhenti saat melihat sekumpulan orang yang melambaikan tangan padanya.

Daniel menghela nafas panjang.

"Bahkan aku tidak mengabari mereka, kalau aku pulang sekarang. Nyatanya mereka sudah di sini menjemputku. Haaahh!!" helaan nafas Daniel terdengar berat.

Ia melanjutkan langkahnya dengan memandang malas ke arah Kakeknya juga adiknya, Alvaro.

"Aku bisa pulang sendiri. Kenapa mesti dijemput? Siapa yang bilang kalau aku pulang hari ini?" ketus Daniel memandang ke arah Kakek dan adiknya.

"Hey! Begitukah seorang Kakak menyapa adiknya?" tanya Alvaro heran.

"Dan begitukah seorang cucu menyapa Kakeknya?" tanya Sanjaya yang mengikuti ucapan Alvaro.

Alvaro berdecak kesal menatap Kakeknya. Sedangkan Sanjaya hanya mengedikkan bahu pelan. Kemudian beralih menatap Kakaknya.

"Waah! Apakah ini sebagai barter? Kau kembali pulang, sedang aku akan pergi dari sini," ucap Alvaro setelah memeluk Kakaknya.

Daniel tersenyum menanggapi adiknya.

"Don't mention it! Kau juga akan meneruskan perusahaan ini nanti. Tapi, kau harus belajar dulu. Sepertiku," ucap Daniel menepuk bahu Alvaro.

"I see. Tapi, rasanya sungguh berat meninggalkan rumah," gumam Alvaro yang menadapat decakan dari Kakek dan Kakaknya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Sanjaya pada Daniel. Pemuda itu memeluk Kakeknya.

"Seperti yang Kakek lihat," jawab Daniel singkat.

"Aku pikir, kakek sedang kurang sehat?" tanya Daniel memeriksa kakeknya dengan menatap dari atas hingga bawah dari kakeknya itu.

"Kau tidak senang, jika kakek sehat?" tanya Sanjaya. Membuat Alvaro menahan tawa dengan menutup mulutnya.

"Ah, bukan begitu. Hanya saja beberapa hari lalu kakek menghubungi dengan nada seperti sedang kurang sehat," ujar Daniel membuat Sanjaya mendengus kesal.

"Tidak masalah jika kamu tidak mau pulang. Aku akan memberikannya pada Alvaro kalau begitu," ucap Sanjaya membuat Alvaro mendelikkan mata kaget karenanya.

"Ke... Kenapa aku? Bukankah aku harus belajar dulu, kata kakek," ucap Alvaro sedikit terbata.

"Kau tidak mau juga? Baiklah! Kalau begitu kakek akan mencari orang yang mau diangkat menjadi anak atau cucu kakek," ucap Sanjaya sembari memutar badan dan berjalan meninggalkan kedua cucunya.

Pria tua itu berjalan sedikit tertatih dengan menggunakan tongkatnya dan dibantu dengan asistennya.

"Pcckkk. Sudah tua, masih aja pemarah," gerutu Daniel berdecak kesal karenanya. Alvaro membuka mata lebar, karena kakaknya selalu saja membuat kakeknya marah padanya.

"Kau mengatai kakek?" tanya Sanjaya menghentikan langkah. Sedang Daniel hanya berdecak kesal.

"Ah tidak, Kek. Dia hanya berucap kata tidak penting," ucap Alvaro membela kakaknya. Daniel terlihat tak peduli. Sedangkan Sanjaya hanya mendengus kasar. Cucu pertamanya itu masih saja keras kepala.

"Kau benar-benar cari mati!" gerutu Alvaro kesal. Daniel mengedikkan bahu tidak peduli. Ia berjalan mengikuti kakeknya bersama Alvaro.

*********

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status