Share

Bab 5

Hari mulai larut. Daniel masih memandangi langit-langit di kamarnya, dengan kepalanya yang berbantalkan kedua tangannya sendiri. Masih sulit baginya memejamkan mata di bawah atap rumah yang dulu ia tempati.

Ia pikir, mungkin ia tak akan kembali ke rumah ini lagi. Meski itu mustahil. Tapi, ia sangat tak ingin lagi berada di rumah ini yang hanya mengingatkan masa kecilnya yang bahkan tak ingin lagi ia ingat.

Daniel menghela nafas kasar. Ia kembali duduk dan bersandar di kepala ranjangnya. Melihat sekeliling kamarnya yang terlihat sama saja dengan keadaan beberapa tahun lalu.

"Haaaahh! Seharusnya aku tak tinggal di sini lagi," gumam Daniel sendiri.

Ia berusaha memejamkan mata sejenak. Ingin mengistirahatkan badannya yang mulai dari kemarin belum bisa tidur dengan nyaman.

Ting!

Sebuah pesan masuk pada ponsel Daniel. Pria itu segera membuka mata. Menatap ponselnya sejenak, sambil berpikir, siapa gerangan yang mengirim pesan?

"Pasti Alvaro," gumam Daniel. Ia meraih ponselnya di atas nakas. Namun, dahinya mengkerut saat melihat nama di layar ponselnya.

"Temui Kakek di kamar," tulis dalam sebuah pesan singkat. Daniel menghela nafas pelan.

"Apa aku terlalu gegabah dalam mengambil keputusan? Rasanya pilihanku untuk kembali pulang telah salah," ucap Daniel lirih.

Daniel melangkahkan kaki menuju kamar kakeknya. Dengan langkah tenang, ia berjalan dan berdiri di depan pintu Kakeknya.

Ia menghela nafas sebentar. Padahal biasanya ia biasa saja bila bertemu kakeknya. Namun, kali ini hatinya sedikit merasakan hal yang tak enak.

Ceklek!

Pintu pun terbuka dan hawa dingin dari pendingin ruang kamar sang Kakek menerpa kulitnya. Seolah menambah suasana mencekam bagi Daniel.

"Minggu depan Kakek mengadakan rapat umum pemegang saham. Besok kau bisa ke kantor lebih dulu dan mempelajari semua hal di sana. Yang jelas adalah, Ayahmu akan diberhentikan menjadi Direktur. Sekaligus pengangkatan Direktur baru dalam rapat minggu depan. Yaitu Kamu," ucap Sanjaya tegas.

Daniel menghela nafas lega. Rupanya apa yang menjadi ketakutannya hanya bayangannya saja.

"Dan perlu kamu tahu. Syarat menjadi Direktur adalah harus sudah menikah. Dan kakek harap kamu bisa segera menikah. Agar segera resmi mendapatkan posisi jabatan itu," ucap Sanjaya membuat Daniel sangat terkejut karenanya.

"A...Apa?!"

"Omong kosong macam apa ini, Kek?!" sanggah Daniel mendekat ke arah Kakeknya.

"Para pemegang saham akan lebih memberi kekuasaan penuh jika kamu sudah menikah, Daniel. Itu sudah aturan sedari dulu. Sebelum Ayahmu menjadi Direktur di perusahaan, dia juga sudah menikah. Dan akhirnya ia terpilih menjadi Direktur setelah Kakek pensiun. Kakek tidak mau, posisi itu harus ditempati oleh pemegang saham lainnya. Apa kata orang nantinya. Kakek adalah owner sekaligus pendiri perusahaan ini. Kakek tidak mau jabatan penting itu harus jatuh ke tangan orang lain," jelas Sanjaya panjang lebar.

Daniel menghela nafas kasar. Ia tidak habis pikir dengan apa yang disebutkan Kakeknya itu. Mana mungkin ia bisa menikah dalam waktu dekat.

"Harusnya aku tidak menuruti Kakek untuk pulang ke sini!" sinis Daniel menatap dingin Kakeknya. Ia berbalik dan hendak pergi.

"Meski kau tak ingin pulang. Kakek yang akan membuatmu pulang dengan sendirinya," ucap Sanjaya lagi. Membuat Daniel menghentikan langkahnya dan mendengus kasar.

"Aku benar-benar telah membuat kesalahan yang fatal!" geram Daniel lalu benar-benar beranjak pergi dari hadapan kakeknya.

"Kakek beri waktu kamu dalam sebulan ini. Segera bawa calon istrimu ke hadapan kakek. Atau kakek yang akan mencarikannya sendiri untukmu!" ucap Sanjaya sembari memejamkan mata di atas ranjangnya.

Daniel kembali menghentikan langkah sembari menatap tajam ke arah Kakeknya. Lalu ia segera keluar dari sana dengan sedikit membanting pintu.

***********

Suasana pagi ini terasa tidak nyaman. Hanya denting sendok di atas piring yang terdengar di pendengaran tiga manusia di atas meja makan itu.

Alvaro menatap kedua pria beda generasi di depannya itu. Seperti telah terjadi sesuatu yang membuat perang dingin diantara keduanya.

"Eheemm!!" Alvaro berusaha mencairkan suasana. Namun, hal itu tak cukup membuat Kakek dan Kakaknya itu teralihkan. Keduanya hanya fokus pada makanan di depannya.

"Emmm, Kek. Bolehkah, aku berangkat keluar negerinya bulan depan saja. Aku masih...."

"Asisten Kakek sudah menjadwalkan penerbangan minggu depan. Semuanya sudah diurus. Segera kemasi barangmu dan bersiaplah!" titah Kakek yang masih fokus pada sarapannya.

Praangg!!

Alvaro sedikit terkejut dengan kakaknya yang tiba-tiba meletakkan sendok dengan kasar diatas meja. Namun tidak dengan kakeknya.

"Wah!!! Kakek penuh kejutan sekali rupanya! Kakek selalu saja berbuat semau kakek sendiri. Tanpa peduli dengan pendapat kami!" ucap Daniel geram lalu ia pergi meninggalkan meja makan.

Sanjaya hanya memejamkan mata sembari mendengus kasar. Sedang Alvaro bingung dengan situasi ini. Bahkan ia sendiri juga merasa sedikit kesal dengan keputusan kakeknya yang akan mengirimkannya ke luar negeri minggu depan. Tapi, melihat Kakaknya semarah itu, rasanya kekesalannya sudah terbalaskan olehnya.

"Aku mohon,Kek. Beri aku waktu bulan depan, Kek?" mohon Alvaro lagi.

"Habiskan makanmu!" ucap Sanjaya tak menggubris ucapan Alvaro yang juga pergi meninggalkan meja makan.

Alvaro hanya menatap kesal kemudian ia

segera menghabiskan makannya karena akan segera menemui Selena.

********

Selena sedang menyuapi Ibunya makan. Rasanya ia sudah sangat lama berada di rumah sakit ini. Ia sangat ingin segera kembali ke rumah dan tak lagi berada di tempat yang membuatnya sesak itu.

"Awas... Awas!!!!" teriak Ibu Selena seperti ketakutan. Sepertinya Ibu Selena masih mengingat kejadian kecelakaan yang menimpanya bersama sang suami.

"Awas ... Awas ada mobil!!"

"Ibu, Ibu?! Ini Selena, Bu? I am here," ucap Selena berusaha menenangkan Ibunya.

"Selena? Ayahmu, Ayahmu!!!" teriak Ibu Selena dengan terus berteriak.

Dokter dan para perawat datang karena mendengar teriakan Ibu Selena lagi. Selena sedih melihat keadaan Ibunya yang jauh dari kata baik.

Belum lagi kesedihan yang masih ada dalam hatinya karena ditinggal sang Ayah. Kini, ia harus menghadapi Ibunya yang benar-benar sangat membutuhkan perawatan.

Dokter memberi obat penenang. Kedua perawat masih memegangi Ibu Selena hingga ia sedikit tenang dan lemas. Dan tak lama kemudian ia tertidur.

Selena menarik nafas panjang. Tangisnya kembali luruh melihat keadaan Ibunya.

"Biarkan Ibu anda istirahat dulu," ucap Dokter yang diangguki Selena. Ia keluar bersama Dokter dan duduk di ruang tunggu. Selena memejamkan mata masih menikmati tangisnya.

"Selena?" sapa Alvaro datang dengan sedikit berlari melihat Selena sedih.

"Kamu kenapa?" tanya Alvaro saat Selena menatapnya dengan bercucuran air mata. Tangisnya makin menjadi saat Alvaro datang.

Dengan segera Alvaro duduk di samping Selena dan memeluknya. Gadis itu menumpahkan segala kesedihan yang ia rasakan.

Padahal Alvaro datang untuk memberitahukan, bahwa minggu depan mungkin ia tak akan berada di sini lagi. Bahkan tak bisa menemaninya lagi.

Ia merasa tidak tega jika mengatakan hal itu. Gadis yang dicintainya sedang terpuruk sedih sejak kecelakaan yang menimpa orang tuanya.

Lalu apa yang harus ia katakan pada Selena?

"Ibumu sedang tidur kan sekarang?" tanya Alvaro dan Selena mengangguk dalam pelukannya.

"Bagaimana kalau kita ke kantin dulu? Kau belum makan?" tanya Alvaro. Selena melepas pelukannya lalu mengusap air matanya sejenak. Kemudian mengangguk pelan menatap kekasihnya.

Alvaro tersenyum dan mengusap kepalanya. Ia sangat suka dengan gadis itu.

"Oke. Lets go!" ajak Alvaro yang membuat senyum indah di wajah Selena.

"Selena, berjanjilah padaku setelah ini. Jangan pernah bersedih lagi," ucap Alvaro membuat Selena tertegun karenanya. Hidangan yang dipesan sudah siap di depan mata. Namun, ia urung menyantapnya karena mendengar pertanyaan Alvaro baru saja.

"Kenapa?" tanya Selena meletakkan kembali sendoknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status