Share

8. Satu Syarat

last update Last Updated: 2022-12-26 13:35:30

"Syarat, Kak?"

"Iya, dengan syarat, kamu nggak boleh keluar sama sekali dari apartemen ini. Aku nggak mau ada laporan yang sampai ke telinga ibuku kalau ada seorang gadis di dalam tempat ini. Ngerti?"

Carissa tidak percaya, Tuhan masih sangat berbaik hati kepadanya dengan mengirimkan bantuan seperti ini. Gadis itu mengangguk cepat seraya menggumamkan terimakasih berkali-kali. Tak ada keberatan apapun dengan syarat yang Gara ajukan. Justru bagus, ia tidak perlu berurusan dengan dunia luar sementara. Masalah di mana ia akan tinggal nanti, itu biar dipikirkannya sendiri sembari memulihkan tubuh. Yang penting sekarang ia tidak terlantar di jalanan dengan kondisi babak belur seperti ini.

"Pakai kamar tamu sebelah sana, jangan diam di sofa. Kalau ada tamu datang, kamu nggak boleh keluar kamar sampai tamunya pulang." Gara merasa dirinya agak berlebihan dengan berkata begitu, tapi ya masa bodohlah. Tempat ini kan miliknya, jadi ia yang memegang kendali penuh.

"Baik, baik Kak ... "

"Sagara."

"B-baik Kak Gara. Terimakasih banyak."

Gara mendengus kecil. Lelaki itu lantas meraih kunci mobilnya di atas meja bar dapur. Bermaksud keluar untuk menenangkan pikiran. Seluruh kejadian ini membuat kepalanya seperti mau pecah. Mungkin ia memerlukan beberapa teguk alkohol untuk membuat pikirannya rileks sedikit. Sementara itu, Carissa yang akhirnya ditinggal sendirian, tertatih melangkah dan menyeret kopernya masuk ke kamar tamu. Gadis itu mendudukkan diri di atas ranjang yang dingin karena sepertinya kamar ini tidak pernah ditempati, lalu diam di sana selama beberapa saat.

"Apa Tuhan nggak mau aku kembali kepada-Nya dengan cara begitu?" ujarnya serak. Air mata mulai lagi menggenangi kedua obsidiannya yang layu. "Tuhan masih ingin aku berada di dunia yang jahat ini. Tapi buat apa, Ya Tuhan? Buat apa ... "

Isaknya sesekali memecah keheningan ruangan itu. Carissa mengusap pipinya yang basah dengan kasar. Perlahan gadis itu keluarkan dompet kecil dari kopernya, menemukan selembar foto yang terselip manis. Foto dirinya yang tersenyum bersama Abian. Rasanya sudah seabad yang lalu sejak foto itu diambil.

"Abian, apa kamu tau aku sehancur ini gara-gara kamu?" bisiknya perih. "Aku nggak punya siapa-siapa, dan sekarang ngemis-ngemis sama orang asing supaya aku diijinin numpang di rumahnya. Apa kamu bisa bayangin itu?"

Carissa menahan isak, membuatnya merasa sesak sekali. Ia menekan dadanya kuat-kuat sembari berbisik lirih. "Abian, denger! Sekarang aku akan baik-baik aja. Kalau Tuhan nggak mau aku mati, aku nggak akan mati. Aku akan tetep hidup untuk membalas semua perbuatan kamu."

Carissa melemparkan dompetnya ke atas nakas. Tanpa ia sadari, selembar foto sialan itu lepas dari tempatnya, kemudian jatuh ke lantai. Gadis itu tidak akan pernah tahu, hidupnya bisa saja berbalik haluan dalam beberapa saat ke depan, gara-gara selembar foto.

***

Seperti kebiasaannya, Gara terjaga dari tidurnya pada jam enam pagi. Lelaki itu terdiam dan berpikir, apa yang kiranya berbeda pada pagi ini dari pagi-paginya yang biasa. Hingga disadarinya perbedaan itu ; ada aroma lain yang menembus celah ventilasi kamarnya dari luar. Aroma manis dan hangat yang tidak pernah tercium selama ia bangun pagi di apartemen miliknya ini. Gara yang dilanda penasaran, kemudian beranjak dari ranjang dan membuka pintu kamarnya.

Hal pertama yang berhasil ditangkap oleh indera penglihatannya adalah, ada yang sedang menggunakan dapurnya.

"Kamu ngapain?" tanyanya refleks.

Di balik kompor, Carissa terlonjak kecil karena kaget. "Ah! Eh ... selamat pagi, Kak ... "

"Kamu ngapain?" Gara mengulangi, membuat Carissa gentar. Seulas senyum yang tadi menghiasi bibirnya, kini lenyap.

"A-aku ... aku bikinin Kak Gara sarapan."

"Siapa yang suruh?"

Astaga, kaki Rissa mendadak gemetaran. Sungguh ia lupa, Gara mengijinkannya tinggal, bukan berarti lelaki itu juga menerimanya di tempat itu. Maka dengan raut penuh sesal, Rissa menunduk mengucap maaf berkali-kali.

"Nanti aku beresin, Kak," cicit Rissa ketakutan. Sebelah tangannya mencengkeram gagang spatula erat-erat sementara kedua alisnya menukik turun. Pemandangan yang membuat Gara menghela napas dengan jengah.

Pemuda tampan itu menarik kursi meja makan yang hanya ada tiga buah saja. Duduk di sana, lalu menyapukan pandangan kepada beberapa piring yang sudah tertata rapi di atas meja. Ada beberapa porsi kecil makanan berbeda. Pancake, roti panggang, dan telur mata sapi.

"Ka-Kakak mau yang lain?" tanya Carissa pelan.

"Kopi," jawab Gara pendek. Lelaki itu menghela napas, sebenarnya ini juga tidak sepenuhnya salah, justru menguntungkan, daripada Gara repot-repot cari sarapan di luar.

"Kakak mau makan apa? Pancake atau roti?" tawar Carissa lagi.

"Pancake."

Kemudian untuk pertama kalinya sejak kemarin, Gara melihat senyum kecil tersemat di bibir si gadis. Pandangan Gara lalu terpancang kepada tangan mungil yang cekatan menyiapkan ini dan itu, seperti sudah biasa ia lakukan setiap hari. Sebuah pertanyaan tentang siapa sebenarnya gadis ini, kembali memenuhi benak Gara. Namun, waktu yang sempit tidak memberinya kesempatan untuk bertanya-tanya. Ia harus segera bersiap ke kantor.

"Aku nggak akan pulang ke sini malam ini," tutur Gara setelah selesai bersiap. Lelaki itu memandang Carissa yang masih berkutat membereskan sisa sarapan. "Kamu nggak bisa keluar sama sekali. Aku nggak akan repot-repot kasih tau kamu password kunci apartemenku."

"Iya, Kak. Nggak apa-apa." Carissa mengangguk. Tidak masalah jika ia harus terkunci di dalam sini. Ia tidak memerlukan apapun lagi. Tidak perlu takut mati kelaparan pun, isi lemari es Gara cukup bahkan untuk dua minggu ke depan. Nah, tidak termasuk tindak kejahatan kan, kalau Carissa memakainya?

Lelaki tampan itu sudah setengah jalan menuju pintu keluar sebelum sesuatu menarik perhatiannya. Sesuatu yang tergeletak di dekat pintu kamar tamu. Gara mendekat dan memungutnya dari atas lantai. Perlahan tapi pasti, raut wajahnya berubah menjadi kaku kala melihat benda apa itu. Kedua manik hitamnya terpaku tak berkedip pada selembar foto kecil yang kini ia pegang.

"Carissa?" panggilnya tanpa sadar. "Apa foto ini milikmu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Palsu   Extra Part 2

    **Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma

  • Bukan Pernikahan Palsu   Extra Part

    **Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia

  • Bukan Pernikahan Palsu   233. Everything's Gonna Be Okay

    **Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j

  • Bukan Pernikahan Palsu   232. Prasangka Yang Salah

    **Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian

  • Bukan Pernikahan Palsu   231. Freddy Fernandez

    **Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be

  • Bukan Pernikahan Palsu   230. Rumah Sakit Lagi

    **Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja

  • Bukan Pernikahan Palsu   229. Sudah Berakhir?

    **Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter

  • Bukan Pernikahan Palsu   228. Jatuh!

    **"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa

  • Bukan Pernikahan Palsu   227. Misi Penyelamatan

    **Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status