Share

7. Permintaan Untuk Tinggal

"Cepetan Pak Gara, biar kata badan dia kecil begini, tapi berat nih!" Lelaki muda berseragam sekuriti itu mendesak, yang buru-buru direspon Gara dengan merapatkan tubuhnya ke pintu. Si sekuriti menerabas masuk kemudian, membaringkan tubuh Carissa di sofa yang belum juga sepuluh menit ditinggalkannya tadi.

"Lagian kok dibiarin aja temennya pergi sih, Pak?" Si sekuriti kembali melayangkan protes sembari memandang gadis di atas sofa itu dengan iba. "Kasihan atuh, untung aja tadi ketahuan saya. Bentar ya, kopernya saya ambilkan di lobby."

Gara tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mematung membiarkan petugas keamanan itu berlari keluar. Sampai beberapa menit kemudian muncul kembali seraya menenteng koper besar di tangannya, Gara masih belum bergerak.

"Loh kok diam saja, Pak? Mau saya telponkan dokter?"

"Nggak," tolak Gara, barulah bisa menguasai diri lagi. "Makasih, Pak. Udah, biar saya aja yang urus."

Urus dalam artian memandang saja dengan kedua alis menukik selama beberapa menit selanjutnya. Gara berdecak keras, ini adalah salah satu momen paling tidak menyenangkan dalam hidupnya. Lelaki itu memandang menelisik kepada gadis yang tergolek lemah di atas sofanya.

Rambut cokelatnya yang sepanjang punggung jatuh tergerai di kedua pundak. Membingkai wajah tirus berkulit putih, polos tanpa sapuan make up. Ah, dia cantik, Gara tidak menampik. Kalau dia bukan penipu, lantas apa yang dilakukannya sampai terlunta-lunta seperti itu? Memangnya jaman canggih begini masih ada orang yang kesasar tanpa arah tujuan begitu? Sebenarnya dari gua mana gadis ini berasal?

"Ah, nggak tahu. Terserah!" decak Gara kesal seraya meninggalkan ruang tengah untuk membersihkan diri. Sepertinya kepalanya perlu diguyur air dingin agar bisa berpikir jernih.

Nyaris seperempat jam menghabiskan waktu di kamar mandi, Gara kemudian menemukan si gadis sudah bangun dan duduk kembali ketika ia keluar kamar.

"Oke, jadi sebenernya apa maumu?" tanya Gara, on point tanpa basa-basi. "Oh, sebentar. Buat jaminan keamanan, aku harus minta tanda identitasmu dulu sepertinya."

Gadis itu mendongak dengan bibir bergetar. Memandang nyalang kepada lelaki di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian tanpa kata, ia bergerak lemah membuka koper dan mengeluarkan pouch kecil. Memberikan kartu tanda penduduknya kepada Gara.

"Carissa Airin?" gumam Gara dengan alis berkerut saat mengamati kartu di tangannya. "Alamat kamu nggak terlalu jauh. Kenapa nggak mau diantar pulang? Kamu lagi ngambek sama orang tuamu terus sok-sokan pergi dari rumah, iya?"

Carissa masih menunduk bergeming, sementara Gara berdecak lagi.

"Childish banget. Padahal menurut KTP ini umur kamu udah dua puluh empat tahun. Masih berasa ABG dengan sok-sokan minggat segala? Aku nggak mau tau, pokoknya dengan cara apapun kamu harus segera pergi dari tempat tinggalku. Aku bayar kalau perlu. Kamu nggak kasihan sama orang tuamu apa? Mau berapa duit, ha?"

Carissa merasa nyeri menusuk hatinya. Gadis itu hanya bisa menggeleng lemah dengan kedua tangan mencengkeram tepian baju milik Gara yang ia kenakan. Bibirnya bergetar saat berusaha menjawab.

"A-aku nggak punya orang tua."

"Hm?" Kening Gara berkerut lagi. Agak terkejut dengan pernyataan barusan.

"Aku nggak punya orang tua. Aku nggak punya tempat tinggal, aku nggak tau harus gimana. Aku minta tolong sama Kakak buat ijinin aku tinggal di sini sampai badanku kuat. Setelahnya, aku janji akan segera pergi. Aku janji, Kak ... "

Kedua netra kelam Gara menyipit. "Tapi kamu punya alamat lengkap di KTP ini, Carissa Airin. Jangan bohong kamu!"

"Aku ... aku sudah diusir. Itu alamat rumah tanteku. Aku minta tolong, Kak. Aku nggak keberatan kalau harus menjadi asisten rumah tangga Kakak di sini, asal aku boleh tinggal sebentar. Aku bener-bener nggak tahu harus ke mana."

Gara menatap Carissa dengan muak. Ingin rasanya ia dorong keluar perempuan ini, dan tidak mau lagi punya urusan dengannya. Namun, sisi kemanusiaannya terasa bergejolak. Jika memang benar apa yang gadis itu ceritakan, kemana ia akan pergi pada hari yang sudah beranjak gelap begini kalau Gara memaksa mengusirnya? Lebih-lebih lagi, sekarang sedang musim hujan.

"Kenapa diusir?" kejar Gara skeptis. "Kamu nggak bisa diatur? Nggak tau diri padahal tinggal sama tantemu, iya?"

Ya Tuhan! Rissa benar-benar merasa ngilu meremas hatinya. Lelaki tampan di hadapannya ini benar-benar punya mulut sok tahu dan pedas tanpa rem.

"Maaf ... tapi itu bukan urusan kamu," lirih Carissa akhirnya. Membuat Gara kembali menyipitkan mata, raut wajahnya masih curiga penuh prasangka.

"Tentu aja urusan aku," tandas Gara. "Kamu tiba-tiba aja minta tinggal di tempatku padahal kita sama sekali nggak saling kenal sebelumnya. Gimana aku bisa simpulin kalau kamu sama sekali nggak punya niat jahat terselubung, ha?"

Carissa pejamkan mata sesaat untuk mengumpulkan kesabaran. Lagipula Gara benar, orang asing yang tiba-tiba datang minta bantuan seperti dirinya memang harus diwaspadai, kan?

"Kakak bisa bawa KTP aku sementara, kalau aku macam-macam, Kakak bisa langsung laporkan sama polisi."

Jeda sesaat, keduanya saling beradu pandang hingga kemudian yang lebih tua mendesah kesal. Menyerah untuk terus beradu argumen tanpa ujung begitu.

"Baiklah," pungkas Gara akhirnya. Nyaris tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. "Baiklah, aku ijinin kamu tinggal, asal kamu janji harus segera menyingkir kalau keadaanmu sudah baik."

Kedua netra cokelat Rissa melebar tak percaya saat mendengar itu. "Kak ... aku– Kak makasih banyak–"

"Tapi dengan syarat." Gara masih memandang tajam. Membuat gadis di hadapannya yang sesaat tadi sudah menampakkan raut lega, kini kembali menciut ketakutan.

"Syarat, Kak?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status