Langkah kami berhenti di depan sebuah pintu kaca buram bertuliskan angka sepuluh. Mas Afnan merogoh kunci akses dari saku jasnya, dan dengan suara klik yang lembut, pintu itu terbuka.
“Masuklah,” katanya sembari menuntunku dengan lembut.
Aku melangkah pelan dan ragu-ragu. Ruangan itu terlihat luas dan elegan dengan jendela besar yang memperlihatkan panorama kota dari ketinggian. Interiornya mewah namun tertata sederhana tanpa banyak hiasan berlebihan. Aroma kayu dan kopi hangat samar tercium.
Tetapi, semuanya seketika lenyap dari fokus pandanganku saat aku melihat tulisan di papan nama yang terletak di atas meja kerja besar di ujung ruangan itu.
Afnan Syabil Bagaskara – Direktur Utama
Langkahku terhenti. Mataku membelalak. Tubuhku seakan membeku di tempat.
“Mas .…” suaraku nyaris tercekat. “Kamu?”
Mas Afnan menutup pintu dan menghela nafas panjang, lalu menatapku dengan
Aku terbangun oleh suara pintu yang ditutup pelan. Samar-samar, suara langkah kaki Mas Afnan yang baru saja selesai mengambil wudhu terdengar menembus keheningan malam. Sekilas kulirik jam dinding. Pukul dua lewat sedikit. Dini hari yang sunyi. Tapi tidak untuk hatiku.Aku bangkit setengah duduk. “Mas, mau shalat, ya?”Mas Afnan menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut. Entah karena aku bangun atau karena aku menyapanya. “Iya,” jawabnya pelan. “Kok kamu bangun?”Aku tersenyum tipis dan menjawab, “Aku juga mau shalat. Tungguin, ya.”Dia terdiam sejenak. Tatapan matanya memudar. Ada jarak yang tak kasat mata, tapi terasa sangat nyata. Tapi pada akhirnya dia mengangguk juga.Aku buru-buru menyibak selimut dan melangkah ke kamar mandi. Gemericik air wudhu menyadarkanku sepenuhnya. Rasanya seperti membasuh luka yang sejak beberapa hari ini kupendam. Luka karena rasa canggung yang tak semestinya ada antara s
Pagi ini udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya, tapi tidak dengan suasana hati di dalam rumah. Aku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur bisa mendengar suara Mas Afnan yang terdengar lebih berat dari ruang tamu. Nada tenangnya tetap terdengar, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan.“Jadi, kenapa kamu harus milih tinggal di sini, Sar?” tanya Mas Afnan.Aku menahan gerakan tanganku sejenak, mencuri dengar tanpa benar-benar berniat menguping. Namun, percakapan itu terlalu dekat untuk diabaikan.“Padahal, nggak jauh dari sini juga ada penginapan kecil yang aman dan cukup dikenal orang,” lanjutnya.Suara Sarah terdengar pelan dan ragu. “Aku nggak nyaman, Kak. Di tempat yang nggak aku kenal siapa-siapa.”Ada jeda. Tak lama kemudian, suara helaan nafas panjang Mas Afnan menyusul. “Papa sama Mama tahu kamu nginep di sini?” tanyanya kali ini lebih tegas.Aku bisa membayangkan Sarah menunduk. S
Mentari siang mulai condong ke barat saat aku menutup lembar hafalan anak-anak, menandai berakhirnya sesi mengajar hari ini. Suasana TPA mulai lengang. Beberapa anak sudah dijemput orang tuanya. Sebagian lagi duduk di pojokan sambil menunggu waktu pulang.Aku menghela nafas panjang dan mengusap keringat tipis di pelipis. Hari ini cukup melelahkan, tapi ada rasa lega yang mengalir saat melihat semangat anak-anak menghafal ayat demi ayat. Belum sempat kubereskan semuanya, ponselku bergetar. Kubuka layar dan sebaris pesan masuk membuat dahiku langsung berkerut. Dari Sarah.“Aku udah di rumah Kakak. Aku tunggu ya.”Aku mematung sejenak. Sarah di rumahku? Kenapa dia bisa ada di sana? Dan buat apa?Perasaan tidak nyaman langsung menyusup ke dada. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutahan, tapi tak juga bisa kutemukan jawabannya.“Safa, mau langsung pulang?” suara Nilam membuyarkan lamunanku.Aku menoleh, buru
Udara pagi di desa memang selalu membawa damai yang aneh. Angin semilir menyapu hijabku saat motornya berhenti di depan gerbang TPA. Aku menoleh dan melihat wajahnya yang masih tampak segar meski pasti kurang tidur.“Kayaknya hari ini Mas bakal pulang telat deh,” ucapnya tiba-tiba.Aku mengerutkan dahi. “Jam berapa, Mas?”“Mungkin agak maleman,” jawabnya sambil menurunkan standar motor. “Soalnya harus ngatur acara juga. Banyak yang belum beres.”Aku mengangguk pelan. “Oh, iya. Paham.”Mas Afnan menoleh padaku lagi. “Nanti kalau lewat Isya Mas belum pulang, kamu langsung tidur aja ya.”“Emang selama itu?” ucapku cepat dan sedikit kaget.Dia tertawa kecil. Nada suaranya genit. “Kenapa? Takut kangen ya?”Aku mendengus dan berpaling ke arah gerbang. “Nggak juga.”Tapi pipiku malah panas. Aku tahu wajahku memerah, dan M
Sudah beberapa hari sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di rumah ini, dan pagi ini suasana terasa jauh lebih ramai. Sarah akhirnya diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit.Dengan langkah ringan dan suara yang penuh semangat, ia masuk ke rumah sambil menyerukan satu nama yang langsung membuat dadaku ikut menegang pelan.“Kak Afnan mana?”Tak lama, Mas Afnan muncul dari arah ruang tengah. Ia mengenakan kemeja santai dan celana kain. “Kamu udah pulang? Alhamdulillah,” ucapnya sembari tersenyum.Sarapan pun dimulai dengan formasi yang tak asing lagi. Aku di sebelah Mas Afnan, Mama dan Papa di sisi berseberangan, dan Sarah duduk agak merapat ke sisi lain Afnan. Entah kenapa aku mulai merasa seperti sedang menyaksikan sesuatu yang ganjil tapi belum bisa kupastikan.Di tengah menyuapkan sesendok nasi ke mulutku, Mas Afnan tiba-tiba membuka suara.“Hari ini, aku dan Safa akan kembali ke desa.”Sontak sendo
Aku tahu mungkin malam ini Mas Afnan akan pergi lagi ke Rumah Sakit menemani Sarah. Sementara Papa, baru akan pulang esok pagi. Dan di rumah besar ini, hanya ada kami berdua.Tetapi, bukan berarti aku ingin menghabiskan malam ini dengan diam dan rasa curiga.Aku memilih diam di dapur dan memotong buah-buahan untuk camilan, serta menyiapkan makan malam yang sederhana, tapi hangat.Tanganku sibuk mencuci buah anggur di bawah air mengalir, tapi fikiranku entah di mana. Mengembara ke wajah Mas Afnan yang beberapa jam ini jarang kutatap lama-lama. Karena aku takut dia akan membaca resah yang tengah kurasakan sekarang.Tak lama kemudian, aku mendengar langkah kaki dari belakang. Langkah itu berat, tapi tenang. Tanpa perlu menoleh, aku tahu betul itu pasti Mas Afnan.“Saf .…”Suaranya pelan. Tapi cukup untuk membuat jantungku terasa bergetar. Aku menoleh dan memaksakan senyum yang kuusahakan terlihat tulus. “Hmm? Ayo makan ma