Suara mesin mobil Mas Afnan berhenti di depan rumah membuat detak jantungku bertambah cepat. Aku tahu, malam ini waktunya. Waktu untuk bicara. Waktu untuk memperbaiki batas yang mulai kabur. Tapi juga waktu untuk menyiapkan hati. Entah akan berujung pada pelukan, atau justru diam yang menggantung lagi.
Aku bangkit dari duduk dan mengintip dari sela gorden, lalu buru-buru menuju pintu saat melihat mobilnya sudah benar-benar berhenti. Ketika pintu terbuka, kulihat wajah lelah Mas Afnan dan dahi yang mengernyit saat melihatku masih terjaga.
“Kenapa belum tidur?” tanyanya lirih.
Aku tersenyum tipis dan mencoba tetap tenang, meski gemuruh di dadaku seperti petir yang menunggu meledak. Aku melangkah mendekat, lalu meraih tangannya dan mencium punggungnya dengan penuh takjim. Sehangat itu kulitnya, bahkan saat lelah sekalipun.
“Mas pasti capek banget, ya,” kataku pelan. “Aku buatin minum dulu, ya.”
“Nggak usah, Sa
Aroma tumis buncis dan telur dadar memenuhi dapur. Suara dentingan piring berpadu dengan langkah pelan dari arah kamar. Aku tahu itu Mas Afnan. Dan seperti biasa, meski ada banyak hal yang bergemuruh di dada, aku tetap tersenyum menyambutnya.“Hai, Mas.” Suaraku terdengar ringan, meski perasaanku tak seenteng itu. “Kamu sarapan dulu, ya.”Mas Afnan mengangkat wajah. Ada semburat lelah yang masih tertinggal di matanya, tapi ia tetap membalas senyumku. Senyum yang belum sepenuhnya pulih. “Maaf, Saf,” gumamnya lirih. “Semuanya jadi buyar.”Aku tahu apa maksudnya. Ia masih memikirkan kejadian semalam. Tentang bagaimana momen kami yang nyaris begitu indah berubah menjadi kekacauan hanya karena darah. Hanya karena trauma lama yang kembali menyeruak.Aku menelan ludah, lalu menggeleng sambil tetap tersenyum. “Nggak perlu dipikirin, Mas. Sekarang mending Mas sarapan dulu.” Suaraku sebisa mungkin kubuat t
Aku masih duduk di tepi ranjang dan mencoba merapikan diri dan mengatur nafas yang belum sepenuhnya stabil. Jemariku sibuk membenahi kerah piyama yang sempat terbuka saat suara melengking dari arah dapur kembali membuatku terlonjak.“Kak Afnan! Astaga!”Jantungku langsung terjun ke perut. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke luar kamar, menyusuri lorong rumah yang sunyi tapi mencekam. Dan ketika sampai di ujung dapur, pandanganku terpaku. Nafasku tercekat.“Mas, astagfirullah, Mas!” seruku spontan.Mas Afnan terduduk di lantai dengan wajah pucat dan keringat dingin yang mengucur deras. Dadanya naik-turun. Seperti baru saja lari jauh tanpa sempat bernafas. Tatapannya kosong, nyaris tanpa fokus.Aku segera berlutut di sampingnya. Tanganku gemetar menyentuh pundaknya. “Mas, kenapa? Sarah, ada apa ini?” tanyaku panik.Sarah berdiri canggung di sisi lemari kecil dengan tangan yang memegang pergelangan kakinya. R
Suara mesin mobil Mas Afnan berhenti di depan rumah membuat detak jantungku bertambah cepat. Aku tahu, malam ini waktunya. Waktu untuk bicara. Waktu untuk memperbaiki batas yang mulai kabur. Tapi juga waktu untuk menyiapkan hati. Entah akan berujung pada pelukan, atau justru diam yang menggantung lagi.Aku bangkit dari duduk dan mengintip dari sela gorden, lalu buru-buru menuju pintu saat melihat mobilnya sudah benar-benar berhenti. Ketika pintu terbuka, kulihat wajah lelah Mas Afnan dan dahi yang mengernyit saat melihatku masih terjaga.“Kenapa belum tidur?” tanyanya lirih.Aku tersenyum tipis dan mencoba tetap tenang, meski gemuruh di dadaku seperti petir yang menunggu meledak. Aku melangkah mendekat, lalu meraih tangannya dan mencium punggungnya dengan penuh takjim. Sehangat itu kulitnya, bahkan saat lelah sekalipun.“Mas pasti capek banget, ya,” kataku pelan. “Aku buatin minum dulu, ya.”“Nggak usah, Sa
Aku baru saja selesai mengenakan jilbab dan memeriksa tas berisi buku-buku hafalan anak-anak TPA, ketika suara langkah kaki terdengar di lorong. Pagi masih segar, semoga hati juga bisa tetap segar hari ini.Namun, langkahku terhenti ketika pintu kamar terbuka dan aku berpapasan dengan Sarah. Ia tampak sibuk merapikan kunciran rambutnya dengan tas selempang tergantung di bahu.“Kak,” ucapnya ringan tanpa sadar menambah beban di pundakku. “Meja yang di deket dapur itu kayaknya menuhin tempat deh. Jadi, aku pindahin aja ke belakang.”Aku langsung menoleh. Keningku otomatis mengerut. “Meja yang mana, Sar?” tanyaku. Suaraku lebih tinggi dari biasanya. “Kenapa kamu nggak bilang-bilang dulu?”Sarah terdiam sejenak. Mungkin dia menyadari perubahan nada suaraku. Ia mengatupkan bibir, lalu menjawab pelan, “Maaf, Kak. Aku pikir kakak juga akan setuju. Lagipula, mejanya juga jarang dipakai, kan?”Aku
Aku terbangun oleh suara pintu yang ditutup pelan. Samar-samar, suara langkah kaki Mas Afnan yang baru saja selesai mengambil wudhu terdengar menembus keheningan malam. Sekilas kulirik jam dinding. Pukul dua lewat sedikit. Dini hari yang sunyi. Tapi tidak untuk hatiku.Aku bangkit setengah duduk. “Mas, mau shalat, ya?”Mas Afnan menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut. Entah karena aku bangun atau karena aku menyapanya. “Iya,” jawabnya pelan. “Kok kamu bangun?”Aku tersenyum tipis dan menjawab, “Aku juga mau shalat. Tungguin, ya.”Dia terdiam sejenak. Tatapan matanya memudar. Ada jarak yang tak kasat mata, tapi terasa sangat nyata. Tapi pada akhirnya dia mengangguk juga.Aku buru-buru menyibak selimut dan melangkah ke kamar mandi. Gemericik air wudhu menyadarkanku sepenuhnya. Rasanya seperti membasuh luka yang sejak beberapa hari ini kupendam. Luka karena rasa canggung yang tak semestinya ada antara s
Pagi ini udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya, tapi tidak dengan suasana hati di dalam rumah. Aku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur bisa mendengar suara Mas Afnan yang terdengar lebih berat dari ruang tamu. Nada tenangnya tetap terdengar, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan.“Jadi, kenapa kamu harus milih tinggal di sini, Sar?” tanya Mas Afnan.Aku menahan gerakan tanganku sejenak, mencuri dengar tanpa benar-benar berniat menguping. Namun, percakapan itu terlalu dekat untuk diabaikan.“Padahal, nggak jauh dari sini juga ada penginapan kecil yang aman dan cukup dikenal orang,” lanjutnya.Suara Sarah terdengar pelan dan ragu. “Aku nggak nyaman, Kak. Di tempat yang nggak aku kenal siapa-siapa.”Ada jeda. Tak lama kemudian, suara helaan nafas panjang Mas Afnan menyusul. “Papa sama Mama tahu kamu nginep di sini?” tanyanya kali ini lebih tegas.Aku bisa membayangkan Sarah menunduk. S