"Apa kau ingin aku antar?" Juna bermalam di apartemen bosnya.
"Tidak perlu, aku akan ke kampus dengan ojek online saja." Dannis menyambangi kepala pengawalnya di meja makan yang berada di dapur.Saat ini Dannis tinggal di salah satu apartemen mewah yang diberikan mendiang ayahnya. Seharian kemarin, ia berbelanja berbagai hal untuk memenuhi lemari pakaian dan lemari es miliknya. Meski begitu, ia tetap terlihat sederhana karena tetap menggunakan pakaian tak bermerek saat ke kampus. "Bagaimana lukamu? Apa sudah mendingan?" Tanya Juna. Ia menyendok sarapannya yang berupa ketoprak. "Dokter itu sangat luar biasa. Luka memar dan lebam di tubuhku sudah tidak terasa nyeri. Namun meski begitu, aku diminta untuk lebih berhati-hati lagi." Dannis mengoleskan roti tawar dengan selai hazelnut. Di sampingnya, ada secangkir susu hangat yang menjadi pendamping kudapan paginya. Tidak sengaja ia melihat televisi yang menyala. Siaran yang menayangkan soal walikota di wilayah kampusnya berada sangat menarik perhatiannya. Ia mengenal sosok walikota itu. "Apa kau tahu orang itu?" Tanya Dannis sambil melahap rotinya."Yang kutahu, ia adalah walikota yang memiliki track record buruk. Ada berita yang menggosipkan dirinya terlibat korupsi dana pembangunan daerah. Ada juga yang bilang ia memangkas bonus para pegawai negeri di wilayahnya," ungkap Juna. Ia hanya menerawang dari berita-berita yang sering didengarnya."Mulai sekarang tolong kau selidiki apakah semua gosip miring itu benar atau tidak," ucap Dannis. Ia telah selesai dengan sarapannya. Dirinya tengah bersiap untuk turun ke lobi. "Kenapa aku harus menyelidikinya?" Juna menyela, ia ingin tahu alasan bosnya. Sayangnya, Dannis hanya melontarkan senyum. Ia bergegas pergi dan menutup pintu apartemennya. Selagi menunggu lift menuju ke lobi, ia melihat chat grup fakultas teknik yang isinya penuh dengan umpatan tentang dirinya. Jengkel… itu adalah kata yang tepat untuk menunjukkan emosi yang dimiliki oleh Dannis saat itu.Setelah keluar dari lobi apartemennya, Dannis mengendarai ojek online kurang dari sepuluh menit dan turun di depan halte fakultas teknik. Lalu, ia meneruskan jalannya dengan menyusuri lorong fakultas. Sepanjang ia berjalan, ada beberapa pasang mata yang meliriknya dengan tajam. Mereka semua berbisik lirih dan mengumpat di belakang pandangan Dannis. Cowok itu berjalan di sepanjang lorong dengan perasaan heran. Ketika hendak memasuki gedung fakultasnya, tanpa sengaja ia bertemu dengan gerombolan para mahasiswa kaya. Randy berada di baris paling depan dan langsung memasang badan untuk menghentikan langkah Dannis. "Eits! Mau ke mana?" Ucapnya. Randy tersenyum sambil bertumpu pada pundak Dannis. "Bagaimana? Tadi malam sudah mencoba tidur di kolong jembatan?" Sindir Aryo. Ia tertawa kecil bersama teman-teman barunya. Aryo memilih bergabung dengan geng mahasiswa kaya bersama dengan Anya. Mereka berdua telah terpikat oleh kekuasaan yang dimiliki oleh Randy. "Hei! Jangan langsung di counter attack, kita tanyakan dulu bagaimana lukanya yang kemarin," sahut Randy. Ia mengangkat kemeja Dannis sedikit ke atas. Luka lebam masih terlihat di sana. Dari awal, Dannis mencoba untuk tenang dan tidak melawan. Ia memilih untuk menikmati permainan mereka. Pandangan kedua matanya juga terasa datar. Tidak ada emosi yang meluap, namun di dalam pikirannya, Dannis menahan niatnya untuk meninju wajah Randy. "Lumayan… aku tidur dirumah tetangga. Pakaian yang kupakai ini juga merupakan sumbangan darinya," sahut Dannis. Ia mencoba merendah. "Oh, jadi sekarang kamu mengemis?" Anya menyambar ucapan mantan kekasihnya itu. "Sudah jadi sampah! Gembel! Dan sekarang mengemis? Dasar hina!" Aryo tidak segan mengutarakan semua kata-kata itu. Randy tertawa geli ketika semua temannya saling bergantian menghina cowok pendiam di depannya. "Aryo, aku mengundangmu ke acara pertemuan kelas di restoran mewah dekat sini. Bagaimana?" Tanya Randy."Aku mau ikut, tapi aku ingin memastikan sesuatu dulu. Kau tidak akan mengundang gembel itu, 'kan?" Sindir Aryo."Tentu saja! Bagaimana mungkin aku mengundang si miskin ini? Itu pasti akan mempermalukannya, 'kan? Maaf… jangan tersinggung," sahutnya. Randy menoleh kembali ke wajah Dannis dengan senyuman licik. Ia sengaja mengumbar rencananya itu untuk mempermalukan lelaki miskin itu.Dannis hanya tersenyum sambil menundukkan wajahnya. Tanpa sadar, ia tertawa dalam hatinya. Mendengar ucapan Randy yang begitu norak dan angkuh, ingin sekali rasanya ia menunjukkan apa yang dimilikinya saat ini. "Nanti akan kuberikan cuplikan videonya saja. Atau kau ingin titip makanan sisa seperti tulang ikan atau buah yang sudah digigit untuk dimakan di rumah?" Randy kembali mengejeknya. "Tidak perlu! Bahkan sekarang ia pasti tidak memiliki tempat tinggal!" Sahut Aryo yang berada di baris belakang. Para mahasiswa yang lalu-lalang di lorong fakultas hanya bisa memalingkan wajahnya. Mereka enggan menegur atau mengambil jalan menuju ke tempat Randy dan gengnya berada. Semuanya seakan menutup mata dan telinganya. Hanya berharap bila kejadian itu cepat berakhir. "Barang-barang yang telah kau hancurkan itu hanyalah sampah! Aku bisa membelinya lagi bila aku mau!" Dannis membalas begitu dingin ucapan mantan sahabatnya."Terserah kau saja. Sampai jumpa lagi, miskin!" Randy tertawa lepas bersama dengan gengnya. Ia pergi meninggalkan Dannis bersama dengan takdirnya sebagai pria miskin.Tangan Dannis mengepal erat. Urat-urat di tangannya muncul seraya dengan rasa kesal yang sudah berada di ujung lidah. Ingin rasanya ia mengumpat mereka dengan kata-kata kotor. Alhasil, Dannis memikirkan cara lain untuk membalas. Ia menelepon pengawal pribadinya. Dannis mencoba meminta hal yang tidak masuk akal ke pengawalnya. "Apa kau bisa mendapatkan reservasi untuk dua orang di restoran King of Kartanegoro?" Dannis berharap sekali.["Restoran King of Kartanegoro? Kenapa kau ingin melakukan reservasi?"] Tanya Juna. "Aku ingin membalas perlakuan bocah bodoh yang sudah membuatku babak belur! Dan juga… aku ingin mengajak seseorang untuk makan di sana." Wajah Dannis tiba-tiba berubah menjadi merah. Ia merasa malu untuk berkata jujur tentang niatnya. ["Oh, jadi ini semua tentang wanita? Baiklah, aku akan membantumu, Bos. Namun ada hal yang harus kau tahu, restoran itu adalah milik mendiang ayahmu. Bahkan hotelnya juga. Jadi, bisa dibilang keduanya adalah milikmu saat ini."] Juna memperjelas semuanya. Dannis benar-benar tidak menyangkanya. Ia terdiam dan menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Semua emosi yang menggambarkan rasa bahagia, senang, terkejut dan bingung bercampur menjadi satu di dalam pikirannya. Tanpa sadar, ia segera menutup panggilan teleponnya. Dannis mencoba mengatur napasnya. Senyuman kecil tersemat di bibir mungilnya. Namun ketika hendak berbalik, ia terkejut. "Hai?" Sapa Luna."Oh, hai!" Dannis tersentak. Ia tidak menyangka bila ada Luna di belakangnya."Lagi tunggu apa? Kenapa berdiri di sini sambil cengar-cengir sendirian?" Luna meminta penjelasan. "Kau sudah lama berdiri di belakangku?" Dannis tampak cemas dan bingung."Aku baru saja datang. Kenapa?" Luna balik bertanya. Dannis merasa salah tingkah. Bahasa tubuhnya terlihat kacau. Keringat dingin tiba-tiba muncul dan membuatnya semakin gelisah. Pikirannya mencoba untuk menahan emosinya. Ia berharap bisa tenang saat ini juga. "Apa kau mau makan di restoran King of Kartanegoro?" Dannis langsung melontarkan ajakan makan."Kau tahu kalau Randy baru saja mengirimkan undangan untuk makan di sana, 'kan?" Luna memperlihatkan layar smartphone miliknya."Aku tahu… namun aku tidak diundang olehnya. Tapi! Aku dan kau bisa datang ke sana berdua saja. Kita bisa memesan meja terlebih dahulu," pikir Dannis. Mendengar hal itu, Luna cukup terkejut. Ia tahu benar tentang restoran King of Kartanegoro. Bukan hanya berkelas, namun satu hidangan menunya bisa mencapai angka enam digit. Tapi sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa fakultas teknik jika Dannis merupakan mahasiswa tidak mampu. Jadi, Luna menatap lelaki itu dengan penuh kebingungan."Kau tahu itu restoran mahal, 'kan?" Luna memperjelasnya."Akh… itu… aku sendiri…." Bibir Dannis terasa kelu. Ia tidak bisa menjelaskannya pada Luna."Oh, kau ingin sekali makan di sana, yah?" Baiklah aku akan mentraktirmu." Luna menepuk pundak lelaki di depannya sambil melayangkan senyum kecil.Ia baru menyadari bila Dannis tidak diajak oleh Randy dan anak kelas lain untuk menghadiri pertemuan itu. Luna berpikir bila lelaki di depannya ingin juga menikmati makanan mewah di restoran itu."B–bukan begitu… aku–" Dannis serba salah. "Tidak apa-apa, aku yang akan membayar makanannya. Lebih baik kita masuk ke dalam kelas. Nanti sore, temui aku di apartemenku yang berada di seberang jalan raya. Kita akan berangkat bersama ke restoran itu," ungkap Luna. Dannis tidak bisa berkata lagi. Bibirnya terasa berat merangkai kata yang cocok untuk menjelaskan situasi itu. "Lun…?" Dannis mencoba menghentikannya. Sayangnya gadis muda itu telah masuk ke dalam gedung fakultas. Ia meninggalkan Dannis yang masih berdiam diri tanpa kata. "B–bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa menjelaskannya!" Ia kesal pada dirinya sendiri. Hari pun bergulir dengan
"Silahkan, meja untuk dua orang sudah kami sediakan." Salah seorang pelayan menghampiri Dannis dan mempersilahkan mereka untuk ikut dengannya. Ketika Dannis hendak melangkah untuk mengikuti pelayan itu, Luna menghentikannya. Ia memegang lengan lelaki di depannya dengan tatapan heran. Ada rasa khawatir dan juga bingung di kedua mata Luna."Tidak apa-apa…." Dannis memberikan jawabannya berupa senyuman singkat. Ia menggandeng tangan perempuan itu dan membawanya untuk mengikuti si pelayan.Rasa kesal terlihat jelas di wajah Randy ketika ia melihat Dannis telah masuk ke dalam restoran. Ia meminta kepada pelayan yang bertugas di bagian reservasi untuk kembali memeriksa namanya. "Bagaimana mungkin namaku tidak ada?! Apa kau sedang bercanda!" Randy merasa gusar. Dirinya seperti sedang dipermainkan. "Maaf, Tuan. Aku sudah bilang padamu sebanyak tiga kali, namamu tidak ada di dalam list," ucap pelayan itu. Ia meminta Randy dan juga rombongannya untuk segera meninggalkan restoran itu. Bebera
"Dari mana kau tahu aku akan pulang?" Dannis menyapa pengawalnya di kursi supir. Dirinya sangat terkejut ketika mobil Juna menepi di depannya."Aku telah menginstal sebuah aplikasi tambahan untuk meretas smartphone-mu. Dan juga, aku mendapat pesan singkat dari manager restoran bila kau sudah tidak berada di sana," ungkap Juna. Ketika mobil itu melaju melewati Luna yang sedang berada di halte bus, perempuan itu terlihat terus saja menatap ke arah mobil hitam yang lewat di depannya. Alih-alih memalingkan wajahnya, Luna justru mencatat plat nomor mobil yang dinaiki oleh Dannis. "Siapa sebenarnya yang ada di dalam mobil itu? Apa itu pamannya Dannis? Pikir Luna yang merasa ada yang aneh. Di lain sisi, Dannis duduk diam sambil memandangi beberapa toko diluar. Juna yang melihat tuan mudanya terlihat sedang melamun segera menegurnya. Ia tidak menyinggung tentang makan malam tadi, namun ia justru memberikan informasi penting kepada Dannis."Apa misi hari ini berhasil? Ada hal yang harus aku
"Kau sudah bangun?" Suara Juna semakin menyadarkan Dannis yang baru saja terbangun. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perbincangan semalam yang berlangsung hingga larut malam telah membuatnya sangat kelelahan. Perlahan ia bangun dan menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya. Kepalanya sedikit sakit karena harus begadang hingga pukul dua malam. "Apa kakek sudah bangun?" Ia mengingat pria tua yang mengajaknya berbincang hingga larut malam."Tuan Aji Kartanegara sudah pulang sejak jam lima tadi. Aku mengantarkan beliau kembali ke kediaman utama keluarga Kartanegara." Juna sedang mengenakan setelan jas hitam serta dasinya sambil menghadap ke arah cermin besar yang ada di kamar Dannis."Oh… untunglah… aku akan merasa sangat canggung bila dia masih berada di sini. Jujur saja, aku masih terngiang-ngiang perkataannya tentang bertarung menjadi ahli warisnya," ungkap Dannis sambil mengingat beberapa hal yang ia dan kakeknya bicarakan pada malam tadi. Juna h
"Cepat katakan! Apa semalam kau menjadi babi ngepet?" Separuh menyindir, dan separuhnya lagi merasa penasaran. Randy menoleh sambil mempertanyakan pertanyaan bodoh itu. "Um… itu… koleksi motor pamanku. Yah, benar! Itu salah satu koleksi motor pamanku." Lidahnya terasa kelu ketika dirinya harus berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa dipikirkan oleh Dannis saat itu. Semua yang mendengarkan ucapan Dannis merasa agak bingung. Koleksi motor semahal itu seharusnya tidak boleh digunakan. Randy merasa bila si miskin di depannya ini sedang berbohong. "Koleksi? Sebenarnya seberapa kaya pamanmu itu? Kau yakin itu koleksinya? Atau… itu pemberian dari tante-tante kaya yang mengasuhmu?" Randy kembali tertawa. Kedua kalinya ia menyindir Dannis dengan membawa soal tante-tante kaya. Luna yang berada di samping Dannis segera menarik telapak tangannya dan membawanya pergi dari situ. Tatapan tajamnya menjurus langsung ke arah Randy yang masih enggan untuk berhenti tertawa. "Peliharaan tante-tant
"Kenapa? Ada yang salah dengan permohonan praktek kerja lapangan yang aku buat? Dannis meletakkan alat makannya dan menatap Randy dengan begitu santainya. "Kau tidak lihat siapa saja yang sudah memilih perusahaan itu sebagai tempat PKL? Gembel sepertimu tidak cocok satu tim denganku!" Cepat cabut namamu di bagian administrasi!" Randy menarik kerah kemeja Dannis dengan begitu erat. Lelaki itu sampai mendongak mendekati wajah si anak manja. Dengan cepat, Dannis berdiri dan menggenggam pergelangan tangan Randy. Cengkeraman erat yang Dannis lakukan direspon oleh si anak manja dengan mencekik lehernya. Kali ini Randy merasa sangat gusar dan ingin sekali menghabisi si bocah miskin itu. Terlihat Dannis disudutkan ke tiang kolom yang berada tidak jauh di dekatnya. Mie yamin yang belum sempat dimakan pun tumpah karena tersenggol oleh tubuh Randy yang ketika itu hendak mendorong Dannis. Seluruh urat leher Randy terlihat. Cengkeraman tangannya di leher Dannis terasa semakin kuat. Terlihat bebe
"Akh! Sakit sekali!" Dannis meremas rambutnya. Kepalanya terasa begitu pening dan berat ketika hendak bangun dari posisi tidurnya. Seakan semua hal yang dilihatnya bergerak ke sana-kemari. "Kau sudah bangun? Bagaimana kaleng sodanya? Apakah enak?" Juna berdiri memandangi cermin sambil menata setelan kemeja dan jas yang sedang ia kenakan. Sindiran halus dari Juna membuatnya berusaha untuk mengingat beberapa hal yang dilakukan olehnya kemarin. Ketika mencoba menelaah ingatannya, kepalanya terasa begitu sakit. Baru pertama kalinya ia merasakan sakit seperti ini."Apa yang terjadi? Kenapa aku berada di atas kasur? Apa aku pingsan?" Dannis masih kesulitan untuk mengingat. "Pingsan karena minum terlalu banyak minuman bersoda. Untungnya kata dokter yang aku panggil ke apartemen, kau masih bisa diselamatkan. Kau tahu meminum banyak minuman bersoda akan memicu gula darahmu? Ia berpikir bila kau pingsan karena hal itu." Juna berbalik badan dan menegur bosnya. Rasa khawatir sempat menghantuin
"Kenapa? Kok, kamu tampak terkejut? Tio yang bertanggung jawab atas mahasiswa magang tampak bingung ketika melihat reaksi Dannis. "Oh! Nggak, cuma nama perusahaannya sama seperti nama belakang saya." Dannis menyeringai sambil menundukkan kepalanya karena malu. Dalam otaknya saat itu berpikir bila perusahaan tempatnya magang adalah milik keluarga Kartanegara."Kenapa? Kau pikir perusahaan ini milik nenek moyangmu! Mentang-mentang nama kalian sama?! Belum tentu, Bos!" Randy menyindir musuh bebuyutannya. Tapi, raut wajah Tio justru merasa penasaran. Ia membuka kembali kertas yang berisi data para identitas mahasiswa magang. Dannis, nama itu tampak asing baginya. Tapi nama Kartanegara yang tersemat di belakangnya justru terasa janggal baginya. Tio segera meredam ucapan mereka semua. Satu per satu diberikan kertas beberapa lembar yang berisi jobdesk mereka untuk dua Minggu ke depan. Untuk sekarang ini, Tio meminta kepada mereka untuk membagi kelompok kerja sebanyak dua kelompok. Karena