"ehm..ehm." Ryota menggaruk pelipisnya, "Itu koperku, untuk berjaga-jaga kalau kau tidak mau ikut denganku,"Mencoba mengartikan koper dan maksud perkataan Ryota, kening Elara berkerut. "Kau ingin ikut tinggal di sini?""Kau pikir aku akan meninggalkanmu tinggal sendirian di sini?" tanya Ryota dengan nada marah. Tapi kemarahan itu tampak tidak mempengaruhi Elara. wanita itu tetap tenang. "Aku tidak tinggal sendiri, aku menumpang di rumah pasangan sepuh," katanya. "Apa?"Elara menunjuk ke arah villa yang berdiri megah di atas bukit yang tak jauh dari mereka. "Pasangan kakek nenek itu sedang kerja di sana. Karena pemilik villa lagi datang berlibur."Tatapan Ryota pun mengikuti telunjuk istrinya. "Pemilik rumah—""Sudah sana pergi, ke mesjid," potong Elara kembali mendorong Ryota. Ryota pun bergegas pergi ke arah atap mesjid yang terlihat dari jauh. Selepas kepergian Ryota, Elara menghela napas. Ia melirik koper hitam milik suaminya yang nangkring di sebelahnya. Koper itu pun ia sere
“Aku tidak menahannya seperti yang kau lakukan pada Alessia.” Cavell menyapu darah di bibirnya kasar. “Dia sendiri yang memilih pergi dari bajingan sepertimu.”Ucapan Cavell mendapat pembenaran ketika Erol dan orang-orangnya melaporkan hasil penggeledahan rumah itu, tak ada jejak Elara di setiap sudut rumah Cavell.Ryota maju, menarik kerah Cavell dengan kasar. Tinjunya hampir melayang. “Apa yang kau katakan padanya?!”Cavell menyeringai, gigi berlumur darah yang mulai mengering membuat senyum itu tampak kejam sekaligus menyedihkan. “Semua yang kutahu tentangmu.” Ia tidak peduli jika tinju Ryota berikutnya akan mematahkan tulangnya. Namun pukulan itu tak pernah tiba. Ryota hanya menatapnya, putus asa.“Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja…” suaranya terdengar putus asa, memohon. Cavell tertegun. Ia menatap tak percaya. Pria arogan dan dingin di hadapannya kini—menangis? Perlahan, genggaman Ryota mengendur. Ia melepaskan kerah Cavell, lalu berlutut sekali lagi. ***Di sebu
Tiga minggu sudah berlalu sejak Elara menghilang. Di ruang kerja pribadinya, Ryota duduk di kursi kerjanya. Wajahnya pucat, rahangnya mengeras oleh amarah dan cemas yang tak pernah reda. Lingkar hitam menebal di bawah matanya, karena hampir tak tidur. Setiap menit tanpa kabar terasa seperti pisau yang ditusukkan berulang kali. Pintu diketuk pelan. Erol berjalan masuk dengan tergesa memberi laporan, “Rekening dan kartu kredit Nyonya tidak bergerak. Tidak ada catatan penerbangan udara maupun perjalanan darat atas nama nyonya. Tambahan sekitar enam puluh lokasi baru sedang dipetakan. Belum ada jejak Nyonya ditemukan.” Ryota hanya mendengarnya dalam diam. Sorot matanya tajam, namun terlihat kosong. Erol meletakkan kotak berisi kalung berlian milik Elara di atas meja. Kalung itu ia ambil dari sebuah butik perhiasan di provinsi yang berbatasan langsung dengan wilayah kediaman Ryota. Butik menahan kalung yang hendak dijual itu karena tidak ada dokumen kepemilikan yang sah, lalu m
Ryota sedikit terhuyung saat melangkah keluar, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Erol mengikuti di belakang, setengah langkah lebih jauh, menjaga jarak.Tiba-tiba, earphone di telinganya bergetar. Erol menempelkan jari ke alat kecil itu, mendengarkan laporan yang masuk.“Ponsel dan smartwatch Nyonya sudah ditemukan,” lapornya cepat kepada tuannya. Ryota menoleh singkat, dengan sorot matanya yang dingin. “Dia bisa saja ke arah lain… atau masih berada di sekitar lokasi.”“Saya mengerti, Tuan.”Ryota masuk ke mobil hitam yang sudah menanti. Erol segera mengambil alih kemudi. Mesin meraung, kendaraan melaju meninggalkan area apartemen. Di tengah perjalanan, suara dari earphone kembali terdengar. Erol menegang, lalu melirik kaca spion tengah mobil. “Tuan… mobil yang keluar dari apartemen sebelum lockdown sudah ditemukan. Kendaraan itu mengalami kecelakaan.”Ryota mengangkat kepalanya, tatapannya tajam menusuk ke depan.“Lokasi?” tanyanya singkat.Erol langsung memutar setir. “Tidak jau
Elara akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan Ryota setelah beberapa hari terakhir ia berusaha mengikis kekecewaan dan ketakutannya pada pria itu. Ia marah karena Ryota mencampuri rumah tangganya hingga membuatnya tampak seperti orang bodoh. Ia takut pada kekuasaan Ryota yang bisa membuat Daris kehilangan segalanya. Hari ini ia berniat mengajak Ryota bertemu untuk membuat kesepakatan, suaminya itu tidak boleh lagi mencampuri masa lalunya. Sama seperti dirinya yang memilih melupakan semuanya. Elara sendiri tak menyimpan dendam, lalu mengapa Ryota berbuat jahat di belakangnya? Siang itu, dengan hati tenang, ia turun dari mobilnya yang terpakir di basement dan melangkah menuju akses masuk lift unit apartemennya. Kedua tangannya penuh kantong belanjaan, dan senyum tipis terukir di wajahnya. Kali ini ia bertekad untuk makan lebih banyak agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan. Sambil menekan tombol lift, ia menghubungi nomor Ryota dan menempelkan ponsel ke telinganya.
Kalimat itu meluncur dari bibir Ryota dengan kecepatan sedang. Elara merekam setiap kata. Setelahnya, ia mengunyah sisa daging di mulutnya perlahan hingga habis, lalu meletakkan sumpitnya dengan hati-hati di atas meja. “Terima kasih atas makanannya,” ucapnya sambil membungkuk kecil, sopan. Tanpa menunggu tanggapan Ryota, ia berbalik dan melangkah pergi. Saat tiba di ambang pintu dapur, Elara menoleh sebentar. “Saya akan tidur di kamar saya,” katanya datar. Ryota tidak bergerak. Ia hanya menatap punggung Elara yang kian menjauh hingga menghilang di balik tembok. Dapur mendadak terasa hampa, menyisakan dirinya dan beberapa potong daging kecoklatan di atas grill. Ia menekan pelipisnya sambil mengembuskan napas kasar. Sial! Apa yang baru saja kulakukan? Tawa sinis keluar dari bibirnya. “Rubbish,” umpatnya pada psikiater yang memberi saran konyol. Beberapa menit ia mondar-mandir di dapur, sebelum berhenti dan mencengkeram tepi meja bar dengan kedua tangannya. 'Bagaimana jika d