Beranda / Rumah Tangga / Bukan Rahim Pengganti / 1. Hari bahagia sekaligus menyedihkan

Share

Bukan Rahim Pengganti
Bukan Rahim Pengganti
Penulis: Novita Sadewa

1. Hari bahagia sekaligus menyedihkan

Penulis: Novita Sadewa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-05 22:45:14

Bab 1

"Selanjutnya, Riana Prastikasari, dari jurusan D3 Keperawatan, dengan indek prestasi komulatif 4,00," kata pembawa acara, tepuk tangan bergemuruh memenuhi gedung megah itu kala aku naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan sebagai mahasiswa terbaik.

Ya, hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku, Riana Prasatikasari, namaku dipanggil sebagai mahasiswi dengan predikat cumlaude.

Lulus kuliah tak lantas membuatku tenang, justru setelah inilah kehidupanku yang sesungguhnya akan aku jalani.

Kunikmati soreku di depan panti selepas pulang dari acara wisuda kelulusan, sembari memikirkan bagaimana aku bisa dengan cepat mendapat pekerjaan setelah ini.

"Ana!" Tiba- tiba seseorang memanggilku, aku menoleh, dan ternyata dia adalah Mbak Najwa. Ia adalah salah satu donatur terbesar di panti yang tidak lain dan tidak bukan adalah menantu dari keluarga Pramono.

"Mbak," teriakku pada Mbak Najwa yang berlari kecil menghampiriku.

Sore ini angin bertiup begitu kencang, hingga daun dan rerumputan begitu lincah bergoyang. Kami, aku dan Mbak Najwa memilih menghabiskan waktu sore kami di bawah pohon mangga yang ada di halaman panti. Mbak Najwa sengaja datang untuk memberi selamat atas kelulusanku, aku mendapat gelar AMD. Keperawatan.

Keluarga Pramono jugalah yang membiayai sekolahku sampai akhirnya aku lulus D3 Keperawatan. Sebenarnya cita-citaku sih, dokter. Dokter kandungan, kalau pun tidak, minimal bidan lah, tapi aku cukup tau diri, sudah bisa sekolah saja ,Alhamdulillah.

"Ana, selamat, ya, atas kelulusan kamu. Mbak dengar juga kamu dapat predikat cumlaude, ya? Mbak bangga lo dengernya," kata Mbak Najwa, dia memang sangat baik padaku, bahkan dia sudah menganggapku seperti adiknya sendiri.

"Makasih, Mbak. Ini juga berkat kebaikan Mbak dan keluarga Mbak," terangku.

"Karena kamu sudah lulus, Mbak mau minta sesuatu sama kamu!" kata Mbak Najwa padaku. Dahiku pun mengerut bingung.

"Mbak mau minta apa? Mbak kan udah punya segalanya. Insyaallah, Ana pasti akan berusaha semampu Ana. Asal jangan minta yang mahal-mahal, aku kan belum kerja dan menghasilkan uang, Mbak!" candaku pada Mbak Najwa. Mbak Najwa pun tersenyum.

Mbak Najwa adalah salah satu wanita yang sangat aku kagumi, selain parasnya yang cantik, dia juga begitu baik dan begitu menyayangi adik- adik yang ada di panti. Dengan adanya Mbak Najwa yang selalu ada untuk kami, dapat sedikit mengurangi bebanku sebagai anak tertua di panti. Entah apa salahku, hingga sampai sebesar ini tak ada yang mengadopsi-ku. Padahal kalau wajah, aku juga tidak jelek-jelek amat, sih.

"Dasar anak nakal!" celetuk Mbak Najwa sambil mencubit lembut hidung mancungku.

"Mbak, jangan dicubit, nanti kalau tambah mancung Mbak kalah cantik tau," candaku lagi, kami pun tertawa bersama.

"Ana ... menikahlah dengan Mas Adrian!" ucap Mbak Najwa di tengah tawa, aku semakin tertawa mendengar perkataan Mbak Najwa. Karena aku pikir dia hanya bercanda.

"An, jangan ketawa, Mbak serius, nggak becanda, An!" katanya lagi dengan wajah yang lebih serius.

Deg ...!

Aku terkejut, bahkan aku tak menyangka Mbak Najwa akan meminta hal seberat itu padaku.

"Jadilah maduku, An!" pinta Mbak Najwa dengan begitu mantap dan ringan. Aku bergeming tak percaya.

Mbak Najwa adalah istri dari Mas Adrian, sudah hampir 8 tahun pernikahan, mereka belum juga dikaruniai momongan, hingga akhirnya Mbak Najwa divonis kanker rahim, dan kemungkinan besar tidak bisa memberikan keturunan pada keluarga besar Pramono. Mas Adrian adalah anak satu-satunya dari keluarga itu. Sebenarnya, keluarga Pramono tidak mempermasalahkan hal itu, namun, Mbak Najwa bersi keras untuk menikahkan Mas Adrian dengan wanita lain sebelum dirinya menghembuskan napas terakhir. Dia memang pernah mengutarakan tentang keinginannya untuk memberi madu pada Mas Adrian, tapi aku sungguh tak percaya kalau dia memintaku dan kenapa harus aku? Ini sungguh berat bagiku.

"Mbak, maaf aku nggak bisa, Mbak. Bagaimana mungkin aku menikah dengan Mas Adrian? Dia adalah suamimu, Mbak. Mas Adrian juga sangat mencintaimu, nggak mungkin juga Mas Adrian mau menikah denganku," tolakku lembut.

"Mas Adrian pasti mau kalau aku memintanya dengan sungguh-sungguh, aku mohon!" Tiba-tiba Mbak Najwa berlutut di hadapanku dengan wajah penuh kesedihan, aku merasa sangat bersalah melihat Mbak Najwa yang sudah sangat baik harus berlutut pada seorang Ana yang bukan siapa-siapa.

"Mbak, jangan gini, Mbak." Niatku membantu Mbak Najwa untuk berdiri, namun Mbak Najwa menolaknya.

"Nggak, An, kalau kamu belum menjawab pertanyaan Mbak, Mbak nggak akan beranjak dari sini!" tolak mbak Najwa menepis tanganku.

Hatiku semakin bimbang. Ya, Mas Adrian memang sosok pria yang sangat baik, tampan, dan juga mapan. Namun, di sisi lain, aku merasa tidak siap menjadi istri kedua. Tapi Mbak Najwa juga sangat baik dan berjasa padaku.

Aku terus berpikir, netraku tak berpindah dari sosok Mbak Najwa yang masih kekeh berlutut di hadapanku dengan wajah yang penuh harap.

Lama, kami saling diam dan tak ada suara, sampai akhirnya aku putuskan untuk menerima permintaan Mbak Najwa dengan syarat. "Baiklah, Mbak, aku akan menerima pernikahan itu jika Mas Adrian juga menerimanya!" kataku, dengan sangat berat hati aku memutuskan semua itu, tapi aku yakin bahwa Mas Adrian pasti akan menolak mengingat besarnya cinta Mas Adrian pada Mbak Najwa.

"Terimakasih, An, kamu memang sangat baik. Tak salah aku memilihmu untuk menjadi maduku. Aku akan pulang dan menanyakan itu pada Mas Adrian," kata Mbak Najwa sumringah, lalu kubantu ia untuk berdiri.

Begitu bahagianya Mbak Najwa saat mendengar jawaban dariku, dia pun segera pergi untuk menemui Mas Adrian.

Kulangkahkan kakiku dengan langkah yang begitu berat, aku masuk ke panti menemui Umi, Umi Zubaidah, orang yang merawatku sejak aku masih bayi. Umi masih sibuk di dapur menyiapkan makan malam adik-adik panti bersama Mbok Sum, orang yang membantu Umi mengurus anak-anak panti.

"Ana? Kamu dari mana saja, Nduk? Jam segini baru pulang?" tanya Umi Zubaidah yang menyadari kedatanganku. Umi Zubaidah memang orang asli Surabaya yang ditugaskan yayasan untuk mengurus panti di Jakarta, jadi bicaranya agak medok.

"Umi ...," lirihku, kuhempaskan tubuhku di kursi dekat dapur, di mana Mbok Sum dan Umi sibuk dengan aktifitasnya.

"Kenapa, Ana?" tanya Umi Zubaidah menghentika aktifitasnya, lalu menghampiriku dan duduk bersamaku.

"Umi, hari ini Mbak Najwa memintaku untuk menjadi istri kedua suaminya?"

"Opo?!" sentak Umi begitu mendengar kata-kataku.

"Umi, bagaimana ini, Umi?" keluhku, kupeluk Umi dan kulepaskan semua bebanku. Karena Umilah yang selalu membuatku tenang setiap aku ada dalam masalah.

"Ana, Nduk ... kalau kamu merasa berat, harusnya kamu ndak usah terima," kata Umi padaku sambil mengelus punggungku lembut.

"Umi, Mbak Najwa sudah sangat baik padaku dan pada panti ini, bahkan sudah menyekolahkan aku sampai aku lulus. Bagaimana bisa aku menolaknya?" jelasku pada Umi.

"Nduk ... masalah pernikahan itu bukan masalah sepele, itu keputusan untuk seumur hidupmu. Jadi, jangan kamu jadikan balas budi sebagai taruhan untuk masa depanmu, Nduk," ujar Umi, kulepaskan pelukanku pada Umi perlahan.

"Tapi, Umi. Mbak Najwa memohon hingga berlutut padaku, aku sungguh tidak tega, apa lagi kalau Mbak Najwa membahas penyakitnya Umi," jelasku pada Umi.

"An, berbagi suami itu ndak gampang, Nduk. Kamu itu masih muda, cantik, kenapa harus jadi istri kedua?" ucap Umi sambil merapikan rambutku yang terlihat acak-acakan seolah mencerminkan keadaan hatiku saat ini.

"Tapi aku sudah berjanji, Umi. Apa yang harus aku katakan pada Mbak Najwa?" rengekku pada Umi.

"Apa yang sudah kamu janjikan?" tanya Umi.

"Aku berjanji, jika Mas Adrian menerima, aku juga akan menerima, Umi! Dan sepertinya Mbak Najwa langsung menemui Mas Adrian setelah itu, Umi!" ucapku cemas.

"Kita berdo'a saja, An. Semoga Nak Adrian menolak pernikahan itu," kata Umi, aku tak menjawab hanya kuanggukkan perlahan kepalaku.

Tak lama setelah aku berkeluh kesah pada Umi, telepon panti pun berbunyi dan Umi segera mengangkatnya.

"Siapa, Umi yang telepon?" tanyaku setelah Umi kembali dari mengangkat teleponnya.

"Nak Adrian, An yang telepon. Najwa sakit, dan sekarang dirawat di rumah sakit tempatmu pernah praktek dulu, dan kamu diminta untuk ke sana sekarang."

"Mbak Najwa sakit? Ana diminta ke sana? Ada apa ya, Umi? Kenapa perasaan Ana nggak enak?"

"Ana, jangan berprasangka buruk, semua kejadian itu biasanya dari prasangka kita sendiri." kata Umi menenangkan.

"Baiklah Umi, Umi ikut kan, Mi?" tanyaku.

"Iya nanti Umi temani," jawab Umi.

Segera, kuambil ponsel dan kupesan taksi online, agar aku dan Umi bisa lebih cepat sampai rumah sakit.

Hanya butuh waktu kurang dari satu jam aku dan Umi sampai di rumah sakit tempat Mbak Najwa dirawat. Segera kami menuju ke bagian informasi untuk bertanya di mana ruangan Mbak Najwa dirawat.

"Maaf, Mbak, pasien atas nama Najwa Kamila dirawat di kamar nomer berapa, ya?" tanyaku pada bagian informasi yang sudah tak asing lagi denganku karena aku sempat praktek di sana saat kuliah.

"Ana? Kamu mau jenguk pasien Najwa?" tanya Mbak Lia yang bertugas.

"Iya, Mbak," jawabku

"Najwa Kamila di rawat di kamar VIP nomor 03," jawab Mbak Lia.

"Makasih, Mbak." Segera, aku dan Umi menuju ruangan yang diberitahukan oleh Mbak Lia.

Cekrek!

Begitu aku membuka pintu, kulihat Mbak Najwa masih terbaring pucat di ranjang rumah sakit, tak berdaya. Di sana terlihat ada Mas Adrian yang duduk di samping Mbak Najwa dan ada beberapa orang lagi di sana seperti sedang menunggu seseorang. Perasaanku mulai tak tenang, hingga suara lemah Mbak Najwa membuyarkan lamunanku.

"An, kemarilah," perintah Mbak Najwa. Aku segera menghampirinya dengan perasaan cemas, kugenggam tangannya dan dia berkata. "Menikahlah dengan Mas Adrian, dia sudah menyetujuinya," lirih Mbak Najwa.

Deg ... seketika tubuhku terasa lemah bagai tak bertulang, jantungku berdebar kencang, bibirku kelu, aku tak bisa berkata. Kulirik Umi yang juga masih mematung di depan pintu. Umi pasti juga sama terkejutnya sepertiku mendengar perkataan Mbak Najwa yang begitu cepat menagih janjinya.

"Mbak ... aku...."

"Kamu sudah berjanji, An. Mas Adrian juga sudah menyetujuinya. Apa lagi yang kau pikirkan?" potong Mbak Najwa. Aku tetap bergeming.

"Pak penghulu, tolong nikahkan Mas Adrian dengan Ana!" seru Mbak Najwa.

Ternyata benar, orang yang sekarang di hadapanku adalah penghulu. Aku melihat Mas Adrian yang juga masih bergeming. Dari sorot mata Mas Adrian, aku tau Mas Adrian juga terpaksa menerima pernikahan ini karena Mbak Najwa yang memohon seperti Mbak Najwa melakukannya padaku. Mas Adrian tak berani menolak, Mas Adrian hanya melakukan perintah dari Mbak Najwa.

Hingga ijab kabul benar-benar terjadi diantara aku dan Mas Adrian.

Bagaikan mimpi di siang bolong, hari ini aku menjadi seorang istri, istri kedua suamiku. Satu hari dengan kebahagiaan karena lulus dengan predikat cumlaude sekaligus kesedihan karena harus menjadi istri kedua.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Rahim Pengganti   108. Resepsi

    "Maaf, Suster, saya nggak bermaksud ....""Nggak bermaksud apa?! Kalau pengaduan sudah sampai ke Bapak Direktur sendiri, berarti apa yang sudah kamu lakukan itu fatal! Apa yang sudah kamu lakukan, Ana?!" tanyanya dengan nada tinggi, rahangnya pun mengetat, sepertinya dia sudah sangat marah dan jengkel padaku."Saya ....""Sudah, sudah, Suster Leny. Masalah Ana biar menjadi tanggung jawab saya. Lagi pula kan saya yang mendapat pengaduan, sekarang, Suster Leny, bisa kembali," Mas Dirga menengahi perdebatan kami."Tapi apa tidak merepotkan, Bapak? Bapak terlalu berharga kalau hanya untuk mengurusi masalah Ana yang cuma seorang perawat. Kalau bapak mau, biar saya saja yang memberinya pelajaran," sindirnya, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan menghela napas pasrah."Oh, tidak perlu, Suster, biar saya saja. Sekarang Suter bisa kembali bekerja," perintahnya lagi."Baiklah, Pak kalau gitu saya permisi. Bapak, bisa panggil saya kalau sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu, terutama masalah Ana,

  • Bukan Rahim Pengganti   107. Akting

    Kuketuk pintu yang sebelumnya di tempati oleh Profesor Wijaya. "Masuk," serunya. Aku pun membuka pintu perlahan. Satu kata, pasrah, yang bisa kukatakan dalam hatiku saat ini."Pagi, Bapak," sapaku di depan pintu. Sepasang mataku mulai menyisir ruangan yang cukup besar itu. Kucari sosok Dokter Dion, namun, sepertinya ruangan ini kosong, hanya ada direktur baru yang tak lain adalah suamiku sendiri dan kini sedang berdiri bersandar pada meja yang terbuat dari bahan marmer."Tutup pintunya!" serunya masih dengan wajah kaku. Kututup pintu, lalu ku lempar senyum sopan, selayaknya bawahan pada atasan. Entah kenapa suasana di dalam sini begitu mencekam, aku tak tahu penyebabnya. Apa karena aku takut dengan perasaanku sendiri atau karena wajahnya saat ini memang sangat menakutkan? Yang pasti aku merasa saat ini adalah dia seolah bukan teman tidurku, melainkan seekor singa yang siap menerkam karena perlakuan khusus kami untuk Mas Adrian semalam. "Gara- gara Aryo ini," batinku menyalahkan, jika

  • Bukan Rahim Pengganti   106. Direktur baru

    Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.

  • Bukan Rahim Pengganti   105

    POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada

  • Bukan Rahim Pengganti   104

    POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala

  • Bukan Rahim Pengganti   103

    POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status