"Jadilah istri Mas Adrian, An." Sebuah permintaan begitu lugas diucapkan Najwa kepada Ana —gadis panti tempat keluarga Najwa memberikan donasi. Awalnya Ana menolak, namun akhirnya menerima karena tak tega melihat keinginan Najwa yang mengiba bahkan bersujud di kaki Ana, selain itu rasa tahu diri dan hutang budi pada keluarga Pramono membuatnya tak bisa lagi menolak. Namun, tak disangka, ia yang meminta, ia sendiri pula yang menjadikan Ana menyandang status janda di usia muda. Lalu bagaimanakah Ana menjalani hidup dengan status janda muda?
View More"Assalamualaikum, Adrian," sapa Mama tersenyum padaku, aku terpaku."Adrian, kenapa bengong?" tanyanya kemudian."Wa'alaikumsalam, Mama sama Papa Kenapa nggak ngabari kalau pulang? Kan, bisa Adrian jemput di bandara?" tanyaku, kukecup punggung tangan Mama dan Papa bergantian."Sengaja, mau bikin surprise buat kalian," jawab Papa."Eh, Najwa, kok, bengong. Ke sini, Sayang!" kata Mama yang melihat Najwa berdiri di belakangku, amun, tak segera menyambutnya seperti biasa. Sepertinya Najwa juga sama terkejutnya denganku. Najwa pun segera menghampiri Mama dan Papa, mengecup punggung tangannya takzim."Ayo, Ma, Pa, masuk," kataku, kubawa koper dan berbagai belanjaan, sepertinya oleh-oleh dari haji dan dari liburannya. "Mana menantu Papa yang satunya lagi?" tanya Papa, saat ini kami duduk berempat di ruang tamu. Dadaku langsung sesak mendengar pertanyaan Papa. Aku tak tahu lagi harus menjawab apa, papa memang sudah tahu kalau aku menikah lagi atas keinginan Najwa yang tidak bisa dibantah, di
POV AUTHORKediaman Adi Wijaya.Kepergian Mirza yang membuat Bu Ratri merasa kehilangan untuk kedua kalinya membuatnya tak henti-henti menangis."Sampai kapan Mama akan nangis terus?" tanya Adi Wijaya pada istrinya, saat ini mereka masih duduk di meja makan. Ada Rania yang juga ikut duduk di sana."Harusnya Mama yang tanya sama Papa, sampai kapan akan bermusuhan sama Anak sendiri? Darah daging papa sendiri?!" tanya Bu Ratri penuh penekanan.Adi Wijaya terlihat diam, Mirza adalah anak kesayangannya dulu, sebelum dia mulai menentang dirinya. Bahkan, Rehan kerap merasa iri dengan Mirza, karena menurut Rehan, Papanya lebih condong pada Mirza yang hanya anak ke dua."Sampai Mirza sadar dan minta maaf pada Papa, kembali ke Indonesia dan ke rumah, ikut mengurus perusahaan bersama Papa!" jawab Adi Wijaya mantap."Udah lah, Pa. Mirza juga sudah jadi dokter spesialis, itu cukup membanggakan bagi Mama." "Tidak, Ma, perusahaan lebih membutuhkan dia.""Sudah ada Rehan,.Pa.""Rehan itu ....""Ap
Kruuuk... kruuuk suara perutku menghentikan ocehan Dokter Mirza, kupegang perutku dan ia melihatnya."Nasi masih ada kayaknya tu, masak aja bahan di kulkas!" katanya menyalakan TV. Aku pun dengan berat hati menuju ke dapur, kubuka kulkas, memang banyak bahan di sana, dari sayuran, ikan, dan daging. Tapi hanya satu yang menjadi tujuanku. Telur yang berjejer di kulkas bagian pintu. Kuambil dan segera kunyalakan kompor. Kubuat telur dadar favoritku, aku beri kecap, karena tak ada cabai atau saus sambal di sana. Tak lama, telur dadar kecap siap di santap. Bukannya aku malas. Ya masak, anak yatim piatu malas dan manja sampai masak aja nggak bisa, bagiku sudah ada yang mengurusku saja sudah Alhamdulillah banget. Jadi, dulu waktu di panti, mbok Sum dan Umi melarangku ke dapur, katanya kalau aku turun ke dapur akan membuat dapur seperti kapal pecah dan menambah pekerjaan mereka. Akhirnya, aku diberi tugas cuci baju dan beres-beres panti saja."Bikin apa kamu?" tanya dokter Mirza yang tiba-t
POV ANAAku terjatuh saat hendak memasang gorden yang menurutku, dokter Mirza lepas untuk menyelimutiku semalam, karena seingatku, aku sudah kedinginan saat di depan cafe. Dan alhasil kakiku pun sedikit terkilir, sedikit sih tidak banyak, tapi cukup membuatku sedikit meringis saat berjalan. Saat kaki sudah terkilir barulah aku ingat bahwa stok pemb*lut di koperku sudah habis, tak mungkin minta mbak Lia membelinya untukku, itu sama saja membongkar rahasia kalau aku tinggal di apartemen ini. Satu-satunya yang bisa kumintai pertolongan hanya satu orang, Dokter Mirza, mau tidak mau, dan tanpa mengurangi rasa hormat, terpaksa, aku meminta tolong padanya. Malu? Pasti, takut? Jangan ditanya lagi. Awalnya dia menolak namun sepertinya dia sudah berubah pikiran saat kubilang bahwa, kakiku sakit.Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, tak ada tanda-tanda dokter Mirza pulang, aku duduk di sofa tamu, aku cukup tahu diri, koper pun aku keluarkan dari kamar dokter Mirza. Tuan rumah lebih berhak tid
Aku menoleh ke arah suara, terlihat Papa dan juga Rania datang bersamaan. Mereka terperanjat saat melihatku duduk di meja makan, begitu juga denganku. Mama memegang tanganku erat, seolah tahu, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Kutepuk lembut tangan Mama dan tersenyum padanya."Eh, Papa, Rania , sini makan bareng dulu," kata Mama mencoba mencairkan suasana, kuhampiri Papa dan kuraih tangannya, ingin kucium punggung tangannya namun ia menolak dengan menyembunyikan tangannya di belakang dan memalingkan wajahnya dariku. Aku tak mempermasalahkan itu, kuberalih pada Rania yang saat ini berdiri di samping Papa, kuulurkan tanganku padanya dan dia tersenyum menyambut tanganku."Hai, Mir ... apa kabar?" tanyanya terlihat canggung, ini adalah kali pertama aku bertemu dengan Rania setelah kami mengakhiri hubungan tujuh tahun yang lalu, kulihat dia banyak berubah terutama dari penampilannya yang lebih glamour dengan make up tebal. Aku tak heran, karena yang kudengar, sekarang Rania sudah menj
POV MIRZASetelah kupastikan Ana pulang dengan selamat, aku segera mencari suster Lia, karena kuperhatikan selama ini dia yang paling dekat dengan Ana. Perasaanku tak tenang setelah perbincanganku dengan Ana barusan. Aku terlalu keras padanya. Merasa bertanggung jawab pada pelayanan rumah sakit kakekku membuatku lupa diri bahwa memarahi Ana atau memecat Ana bukan ranahku. Karena aku bagi mereka hanyalah dokter tamu, bukan cucu pemilik rumah sakit."Suster Lia, bisa bicara sebentar?" kataku, membuatnya terkejut."S_aya?" "Iya, bisa?""Bisa, Dok, bisa.""Mari ikut saya." Kuajak suster Lia ke ruanganku, karena aku tak ingin ada yang mendengar pembicaraan yang mungkin sifatnya pribadi dan bisa menimbulkan asumsi yang kurang baik."Duduk, Sus," kataku, dia pun duduk di depanku."Nggak usah tegang, Sus. Saya nggak galak," kataku saat melihat suster Lia sejak tadi mengambil napas dalam."Saya mau tanya soal Ana," kataku sedikit ragu. Suster Lia membuka matanya lebar-lebar, aku tahu dia pas
POV ANAAkhirnya aku putuskan menemui Mas Adrian, saat ku buka dompetku untuk membayar makan siang di kantin tadi aku melihat kartu kredit pemberian Mas Adrian masih tersimpan rapi di sana. Akku berniat mengembalikannya. Aku datang ke tempat yang sudah Mas Adrian beritahukan. Kulihat dia masih menungguku dan aku segera menghampirinya."Selamat siang, Tuan Adrian," sapaku."Ana, akhirnya kamu datang, duduklah," katanya tersenyum padaku, senyum yang biasanya terlihat manis dimataku sekarang justru terlihat menyebalkan dan memuakkan."Aku ke sini bukan untuk memenuhi permintaanmu, aku hanya ingin mengembalikan kartu kredit yang pernah kamu berikan kepadaku. Masih utuh, tak berkurang sepeserpun," kataku seraya menaruh kartu kredit black card di meja."Apa yang sudah aku berikan, tak akan aku ambil lagi, Ana," jawabnya."Aku hubungi Umi tadi pagi. Dia bilang kamu nggak ada di panti. Kemana saja kamu semalam? Kamu nggak pulang ke panti, kan? Kemana, An?" tanyanya penuh intimidasi."Apa
POV MIRZAAku dan dokter Dion masih melakukan pemeriksaan pada pasien yang bermasalah itu, syukurlah, tuntutan sudah mereka cabut dan pasien berangsur membaik."Mirza, pasien sudah membaik, tinggal menunggu masa pemulihan, apa kamu benar- benar akan kembali ke Jerman secepatnya?" tanya dokter Dion entah sudah berapa kali, saat ini kami berjalan menuju ruanganku."Ya ... begitulah," jawabku."Kapan?" "Mungkin hari Minggu," jawabku yakin."Tunggu lah sampai ulang tahun direktur.""Kakek, ulang tahun? Kenapa saya lupa. Tapi, nggak lah, Dok. Menghadiri ulang tahun kakek, berarti harus bertemu keluarga Wijaya," jelasku."Sebenarnya kamu takut bertemu keluarga Wijaya apa takut bertemu sama Rania?" tanya dokter Dion."Stop menghubung-hubungkan saya dengan Rania. Demi Allah saya nggak ada sedikitpun rasa ke Rania," jelasku "Meski akan bertemu setelah sekian lama tidak bertemu? Kamu yakin rasa itu tidak akan muncul kembali?" tanyanya menyelidik."Tentu." "Apa nggak sebaiknya latihan dulu?"
POV ANAAku masih bingung kenapa bisa ada di tempat dokter Mirza, yang kuingat aku beli kopi dan pusing di depan cafe. "Arrgh ... yang penting aku masih perawan," kataku mengacak rambut frustasi, aku kesal karena tak ingat apapun.Notifikasi pesan masuk di ponselku yang kuletakkan pada nakas di samping tempat tidur.888xxx : [sudah bisa buka pintu, jangan lupa dimakan supnya keburu dingin. Jangan lupa kunci pintu kalau berangkat kerja. Mirza]Kubaca pesan, ternyata dari dokter Mirza. Aku menghela napas panjang dan tak berselang lama, pesan kembali masuk di ponselkuAryo: [An, mana helm ku, mau pulang, nih.]"Waduh, tadi dokter Mirza lupa bawa helmnya nggak, ya?" gumamku. Segera kuhubungi nomor dokter Mirza. Ia pun mengangkatnya."Halo dokter?" sapaku"Ya.""Dok, Aryo cari helmnya, dokter bawa nggak helmnya?" tanyaku panik."Saya lupa, An. Saya masih di luar ini, kamu kirim nomor Aryo sama saya, biar saya sendiri ya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments