Home / Rumah Tangga / Bukan Sekadar Pengasuh / BAB 2 Tak Ada Pilihan

Share

BAB 2 Tak Ada Pilihan

Author: Pritca Ruby
last update Last Updated: 2024-08-22 10:16:44

"Kak! Kak Nin, aku mau pinjam dress yang warna putih itu, lho. Aku ada acara—" Ucapan Alika, adik Nindy yang terhenti ketika melihat kakaknya tengah mematung dengan mata berkaca-kaca. "Kakak kenapa? Sakit? Aku panggil Ibu dulu."

"Lika ...."

"Ya?" Alika mengurungkan niatnya untuk mengadu.

Nindy menunjuk pada ponselnya yang jatuh. "I--itu ...."

"Oh, HP Kakak jatuh? Ish, ish, kan bisa diambil." Alika pun berjongkok dan mengambil ponsel kakaknya.

Layar ponsel itu yang masih menyala dan memperlihatkan isi pesan dari Faiz sontak terlihat oleh Alika.

Setelah membaca empat pesan dari nomor yang tak disimpan, Alika menjadi marah dan sangat emosi.

"Ngapain cowok ini hubungin Kakak? Kapan Kakak buka blokiran nomor cowok brengsek ini?” tanyanya tak sabaran. “Jawab, Kak! Atau aku akan kasih tau ini sama Ayah dan Ibu!"

Untuk sesaat, Nindy tak bisa menjawab. Ia hanya terus menangis, menunjukkan ketidaktahuannya atas alasan pria itu kembali menghubunginya.

Melihat kakaknya terpuruk untuk kedua kali karena orang yang sama, Alika terlihat melunak.

"Kenapa Kakak buka blokiran cowok itu?"

"Tujuan Kakak blok nomor dia dulu, hanya untuk mencegah Kakak menghubunginya duluan. Tapi setelah satu bulan putus, Kakak membukanya lagi. Berharap dia menghubungi Kakak meski kenyataannya tidak. Jadi Kakak berpikir kalau dibuka blokir pun tidak apa-apa karena selama ini juga dia tidak pernah hubungin Kakak lagi."

Alika seketika mendengus. "Setelah satu tahun lebih, dia berani ngirim pesan itu sama Kakak?” Emosi gadis itu kembali menggebu-gebu. “Tidak tau malu! Jangan pernah Kakak respon pesan itu atau aku akan bilang sama Ayah. Kakak gak mau kan bikin penyakit Ayah kambuh kalau sampai tau kejadian ini?"

Dengan mata berkaca-kaca, Nindy menggeleng. "Tolong kamu rahasiakan. Kakak juga tidak mungkin mau bertemu sama dia. Luka hati Kakak baru saja sembuh, bodoh kalau Kakak mau diajak bertemu begitu saja."

"Baguslah kalau Kakak berpikir seperti itu."

Setelah kepergian Alika, Nindy terus memandangi ponselnya. Ia menimbang-nimbang, harus ia apakan pesan dari pria itu?

Akan tetapi, teringat luka yang ditorehkan pria itu padanya… Nindy pun akhirnya memutuskan untuk kembali memblokir nomor pria itu.

“Rasakan! Kamu pikir, aku akan luluh!!” sungutnya sembari menenggelamkan wajah ke bantal.

Berjam-jam berlalu, rupanya Faiz tidak kunjung menyerah. Nindy yang kini tengah berselancar di sosial media guna mengusir penat dari sulitnya mencari kerja, kembali mendapatkan pesan dari pria itu.

[Nin, ternyata kamu blokir nomorku?]

[Istriku sudah melahirkan, tapi dia sama sekali tidak ingin menyentuh bayinya sendiri]

[Apa kamu mau bekerja sebagai pengasuh anakku?]

Gemuruh di dada Nindy kembali merangkak naik.

"Dasar cowok brengsek! Bisa-bisanya dia nawarin mantan yang dia tinggal nikah buat jadi pengasuh bayinya. Bener-bener gak punya hati! Gak tau malu!"

Nindy jadi menyesal karena sampai detik ini ia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Faiz. Pria itu ternyata begitu brengsek!

Menghilang selama setahun, lalu datang-datang membawa pesan untuk menjadikan Nindy seorang baby sitter.

Kesal, Nindy pun membalas pesan Faiz dengan ketus. Ia menolak dengan tegas, tidak lupa mengatai pria itu brengsek dan tidak tahu malu. Setelahnya, ia pun memblokir akun Faiz di seluruh media sosial yang ia punya.

Hingga pada suatu titik, penyakit jantung yang diderita Roni kambuh dan membutuhkan banyak uang untuk bisa segera dioperasi. Seluruh keluarganya panik. Nindy masih pengangguran, Alika masih berkuliah, sedang ibu dan ayahnya hanyalah pedagang di kios sederhana mereka.

"Di mana kita dapatkan uang ratusan juta dalam waktu seminggu?" ucap Lita frustasi setelah mendengar biaya yang harus dikeluarkan untuk suaminya.

"Bu, apa kita jual saja tokonya? Atau Alika berhenti kuliah dulu? Dan Alika cari kerja buat bantu-bantu."

"Kalau dijual, kita mau usaha apa?” keluh ibunya. “Apa ibu perlu menggadaikan rumah dan toko? Tapi bagaimana kalau nanti tidak bisa melunasinya dan kita tidak punya tempat tinggal?”

Nindy terdiam mendengarkan obrolan kegelisahan Lita dan Alika. Mendengar adik dan ibunya bicara seperti tadi malah membuatnya merasa sedih karena belum bisa berbuat banyak untuk membantu masalah keluarganya sendiri.

Hingga kemudian, sebuah jalan keluar terbersit di benaknya. Nindy yang semula duduk, kini berdiri. "Aku mau keluar sebentar, Bu. Mau nyari pinjaman.”

"Pinjaman dari mana sebesar itu, Nin?" tanya Lita, heran sekaligus penasaran.

"Ya dari mana saja, Bu. Aku coba hubungin temen-temen aku. Dan aku juga bakal kerja apa saja buat bayar hutangnya.” Dengan berani, Nindy melirik ibunya, lalu kembali berbicara, “Jadi, semoga ibu tidak melarang aku untuk kerja biarpun tidak kerja kantoran. Sekarang kita harus pikirkan ayah. Dan Alika… kamu harus tetap kuliah."

Setelah mengatakan itu Nindy langsung keluar. Hanya ada satu orang dalam benaknya yang bisa dimintai pertolongan uang yang tidak sedikit itu.

Dengan degup jantung yang bergemuruh, Nindy membuka ponselnya. Ia menekan sebuah kontak yang ia blokir, kemudian membuka blokirannya sebelum menekan tombol panggil.

Ketika pria itu mengangkat dalam waktu singkat, Nindy langsung berujar, “Aku setuju dengan penawaranmu, tapi dengan satu syarat….”

dalam hati Nindy merapalkan doa, ‘Ya Tuhan, semoga langkahku tidak salah.’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Sekadar Pengasuh   BAB 93 Memulai dari Nol?

    "Bu, kalau misalkan rumah sama toko kita ada yang mau beli satu miliar, kira-kira ibu bakal jual nggak?" tanya Alika dihari ketiga ia diberikan waktu oleh Sela, baru kali itulah ia memberanikan diri berbicara pada ibunya.Lita tersenyum. "Jangan mengkhayal, gak akan sampai nilai jual rumah sama toko ini sampai satu miliar.""Ya, inikah cuma misal aja, Bu. Berharap sesuatu yang baik kan nggak ada salahnya. Jadi, gimana kalau ada yang mau beli satu miliar, ibu bakalan jual?""Kayanya semua orang gak ada yang gak suka uang. Ibu juga sama. Tapi gak semua hal bisa dinilai dengan uang meskipun nominal uang itu lebih besar dari nilai barangnya. Selain memang mustahil ada yang mau membeli rumah dan toko ini sebesar itu, semuanya terlalu berarti untuk ibu dan ayah. Mengingat dulu perjuangan kami berdua untuk memiliki rumah itu tidaklah mudah.""Tapi waktu itu pas kita lagi bener-bener butuh uang untuk biaya operasi ayah, ibu bilang mau gadaikan atau menjual rumah sama toko ini.""Itukan disaat

  • Bukan Sekadar Pengasuh   BAB 92 Salah Besar

    Malam tiba, Nindy sudah menunggu kepulangan Faiz sambil menggendong Arelia di depan. Sebelumnya Faiz mengirimi pesan singkat jika ia tidak akan lembur."Tuh, Papa pulang," ucap Nindy pada Arelia yang semakin hari semakin pintar merespon meski belum bisa berbicara. "Tumben gak lembur, Mas?" tanya Nindy pelan. Ia hanya ingin bermesraan tetapi harus tetap waspada agar tidak ada orang lain yang mendengarnya."Sekarang di rumah ini ada pria lain tinggal. Aku tidak tenang karena takut dia macam-macam sama kamu. Aku takut dia jatuh cinta sama kamu."Pipi Nindy merona karena tersipu malu. "Ish, Mas. Kayak anak ABG aja cemburunya. Lagian Rico kan sukanya sama Sela. Kalau aku gak akan mudah berpaling." "Tetap saja.""Ya sudah, ayo masuk. Mumpung Bi Lastri di belakang lagi sibuk nyiapin bahan masakan untuk dimasak buat makan malam. Kan porsinya jadi bertambah satu orang. Sela juga belum pulang, Rico baru berangkat tadi siang."Mereka berdua pun bersama-sama masuk ke dalam kamar Arelia."Tadi a

  • Bukan Sekadar Pengasuh   BAB 91 Perbincangan Dua Asing

    "Kita belum sempat berkenalan dengan serius," tanya Rico pada Nindy yang baru saja keluar dari kamar. Arelia sudah tidur siang, waktunya ia untuk beristirahat dan makan.Tadi pagi, ia tidak melihat Rico karena belum bangun. Pagi-pagi pula ia melihat Faiz dan Sela sudah berangkat bersama meski dengan mobil yang berbeda.'Tengah siang bolong begini baru bangun? Padahal yang punya rumah udah kerja dari pagi,' batin Nindy."Nama saya Nindy.""Kamu udah tau aku, kan?"Nindy hanya mengangguk saja tak merespon lagi. Dia tidak terlalu ingin berbincang panjang lebar dengan Rico yang sangat asing baginya. Apalagi Rico sudah jelas ada di pihak Sela."Arel tidur, kamu mau istirahat, kan? Ayo makan siang bareng. Aku juga mau makan, belum makan apa-apa dari pagi."'Gimana mau makan pagi, bangun aja siang!' batin Nindy lagi."Mas Rico silakan makan di meja makan saja, nanti Bi Lastri yang siapkan. Saya makannya di belakang, di dapur kotor.""Kenapa? Gak apa-apa, makan sama aku aja di meja makan. Nan

  • Bukan Sekadar Pengasuh   BAB 90 Aula Serbaguna

    "Lo pikir, lo bisa ngerasa tenang karena Gery ngelindungi lo?" Sela dan kedua temannya, juga Alika yang ia incar, kini tengah berada di gedung aula serba guna di kampus mereka. Selama hidupnya, Alika belum pernah merasa yang namanya takut pada siapapun selagi ia tidak bersalah. Sehingga semasa sekolah Alika tidak pernah mengalami perundungan. Ia bahkan menjadi penyelamat teman-temannya yang bungkam tidak bisa mengadu pada guru atau orang tua.Lain hal dengan sekarang, dia lah yang mengalami langsung sebagai mahasiswi yang tengah dirundung atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Ia juga bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi korban yang tidak bisa mengungkapkan apa yang terjadi pada orang yang lebih dewasa atau pada pihak yang bisa melindunginya, karena sebuah ancaman yang mengganggu dan ketakutan jika ancaman itu menjadi kenyataan."Aku sudah pernah bilang beberapa kali, kalau aku gak suka sama Gery."Meski sudah berkali-kali Alika mengatakan itu, Sela tidak puas. Karena ia juga tah

  • Bukan Sekadar Pengasuh   BAB 89 Tamparan

    Karena sudah terlalu lama diluar, Faiz dan Nindy pun pulang. Berharap kasur yang mereka pesan juga sudah terkirim dan sampai di rumah. Tentunya agar tidak menimbulkan kecurigaan karena mereka sudah pergi cukup lama dari rumah. Meskipun sebenarnya kecurigaan itu sudah timbul dalam diri Sela.Sesampainya di rumah, benar saja. Kasur yang di pesan sudah sampai di diletakan di dalam kamar Arelia. Juga barang-barang Nindy yang ternyata sudah dikeluarkan dari kamarnya oleh Bi Lastri atas perintah Sela sewaktu keduanya pergi."Bibi yang keluarin semua barang-baranya Nindy?" tanya Faiz disaat Nindy diam terpaku melihat barang-barangnya tergelatak di lantai depan kamar Arelia. Rasanya seperti terusir dengan paksa sebab ia seolah tidak diizinkan untuk membereskan barangnya sendiri."Nyonya Sela yang meminta, Tuan," jawab Bi Lastri sambil menggendong Arelia yang baru saja ia buatkan susu."Ini tidak sopan, Bi. Bagaimana pun Nindy juga mempunyai privasi sendiri. Jadi harusnya biarkan dia yang memb

  • Bukan Sekadar Pengasuh   BAB 88 Ranjang Baru

    "Terima kasih, Pak.""Tolong langsung di kirim sekarang kasurnya ke alamat itu. Saya mau sudah sampai sebelum malam. Karena kasurnya akan digunakan untuk tidur malam ini."Faiz memastikan bahwa kasur yang baru saja dipesan untuk Nindy agar segera dikirim ke alamat yang sudah dia berikan. Sementara itu dia dan Nindy akan mencari makan sebelum pulang."Mau sekalian beli yang lain? Ada yang ingin kamu beli?"Nindy sekilas tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita cari makan saja."Setelah mendapatkan tempat untuk makan, pesanan mereka juga langsung dibuatkan oleh pelayan."Kayanya aku butuh kepastian kamu, Mas. Secepatnya," ucap Nindy yang sudah menahan dari tadi ingin segera membahasnya dengan Faiz."Aku pasti akan kembali sama kamu. Memang secepatnya sedang aku usahakan, Sayang.""Kapan tepatnya? Ibu aku sudah tau semuanya, awalnya memang ibu marah dan gak mau sampai aku kembali sama kamu lagi. Tapi, aku meyakinkannya dengan menceritakan semuanya tentang pernika

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status