"Mas, kamu ngapain?" Suara Rani terdengar dari belakang tubuh Dika.
Mahardika menoleh sambil tersenyum lalu meletakan ponsel Rani. "Pinjam ponselmu ya, aku perlu menghubungi seseorang masalah pekerjaan," kata Dika yang tentu saja hanya beralasan.
Tiba-tiba saja, Rani memasang wajah sedihnya, Dika terheran kenapa istrinya cepat sekali berubah-ubah ekspresi. "Kenapa kamu?" tanya Dika bingung.
"Saya kasihan sama Mas, ponsel saja tidak punya. Nanti setelah gaji Mas saya bayar, Mas beli ponsel baru ya," ucap Rani yang membuat Dika membulatkan matanya.
Rasanya ingin sekali tertawa, Rani seperti sedang berbicara pada anak kecil. "Kok Mas malah ketawa sih, aku ini kasihan loh sama, Mas," tutur Rani lalu memajukan.
Tawa Dika pun lepas. “Ha ha … maaf maaf, kamu ini ….” Tangan Dika terulur mencubit hidung mancung Rani.
"Aku hari ini harus pergi, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," kata Dika, lalu berdiri dan merapikan penampilannya. Meskipun hanya menggunakan kaos tipis dan celana kemarin.
“Memangnya, Mas Dika kerja apa?” tanya Rani penasaran.
"Aku kerja di sebuah perusahaan, nanti kamu juga akan tahu kok."
"Aku juga sepertinya harus ke kantor, sudah terlalu banyak aku cuti gara-gara patah hati," ujar gadis seolah banyak sekali beban dalam hidupnya.
"Mas Dika, pergi naik apa?" tanya Rani.
"Naik taksi mungkin," jawab Dika asal.
"Ada uang tidak? Taksi itu mahal, mending naik angkutan umum sama aku," kata Rani memberi saran.
Dika belum pernah naik angkutan umum, tentu saja laki-laki itu berpikir dulu sebelum mengiyakan saran dari Maharani. “Bagaimana, Mas?” tanya Rani kepada Dika.
"A A …."
"Aku anggap iya!" kata Rani spontan sebelum Dika menyelesaikan ucapannya.
Laki-laki itu berkacak pinggang. "Hei, apa kamu selalu seperti ini? Membuat keputusan secara sepihak dan spontan. Aku tidak tahu kenapa ada gadis sepertimu." Dika memprotes keputusan Rani.
"Sudahlah, tunggu aku sebentar. Kita berangkat bersama," ujar Rani yang langsung bersiap-siap dengan memole make up tipis di wajahnya.
******
Sedangkan di kamar lain, sepasang pengantin juga melewati malam pertamanya saling berdiam diri. Ops, bukan malam pertama, karena mereka pernah melakukannya sebelumnya. Dia adalah Kevin dan Ariella.
"Vin, pokoknya aku gak setuju kamu ikut bayar pesta kemarin!" kata Ariella saat membantu suaminya bersiap karena akan masuk kerja.
"Aku juga tidak mau membayarnya. Biarkan saja semua Rani yang membayar, lagian dia sudah membuat kita malu kemarin," balas Kevin.
“Iya, biar Kak Rani saja. Lagi pula dia adalah seorang Kakak, sudah seharusnya kan berbagi dengan adiknya,” tutur Ariella yang semakin tidak tahu diri.
Ariella mengelus lembut dada Kevin setelah selesai memasangkan dasi. "Omong-omong, sejak kapan Kak Rani kenal sama siapa suaminya?" tanya Ariella.
"Mahardika," jawab Kevin.
"Nah iya, Dika. Aku curiga kalau Kak Rani sebelumnya pernah main di belakangmu, buktinya dalam 1 minggu dia bisa bawa laki-laki lain untuk dinikahinya, benar bukan?" kata Ariella memanas-manasi Kevin agar semakin membenci Maharani.
"Benar juga, dasar perempuan bermuka dua." Kevin mengumpati Rani. Sebenarnya laki-laki itu tidak rela jika ada pria lain yang menikahi gadis itu.
"Kevin…." Suara Ariella terdengar manja dan mendayu.
"Daripada uangnya buat bayar pesta kemarin, nggak boleh kalau aku pakai saja," ucap Ariella merayu.
"Untuk apa, Sayang?" Kevin, dia sangat suka jika Ariella bermanja-manjaan seperti itu, berbeda dengan Rani yang cuek dan banyak bicara. Hal itu yang membuat Kevin patah hati.
"Temanku menawarkan tas, lihat nih," kata Ariella sambil menunjukkan foto tas mahal di ponselnya, "bagus kan?" imbuh Ariella lagi.
"Kamu mau?" tanya Kevin yang langsung di anggukan oleh Ariella.
Kevin mengeluarkan kartu ajaib dari dalam dompetnya, mata Ariella berbinar. "Beli jika kamu suka. Uangku juga uangmu," kata Kevin dan membuat hati Ariella senang.
"Terima kasih, Kevin Sayang," ucap Ariella lalu memeluk suaminya. Tidak lupa sebuah kecupan dia berikan untuk Kevin.
Kevin melihat selai yang melingkari pergelangan tangannya. "Sudah jam 7, aku harus kerja," kata Kevin berpamitan.
"Aku antar, ya."
Ariella mengantarkan Kevin hingga ke parkiran, Kevin merasa senang memiliki istri seperti Ariella, yang dianggapnya begitu peduli dan mengerti apa yang dia inginkan. Tiba-tiba saja, ketika Ariella dan Kevin tiba di parkiran, di saat yang sama Rani dan Dika berjalan beringan. Kevin menatap Rani dan suaminya dengan kesal.
"Eh, Kak Rani, Mas Dika," sapa Arella dengan mengapit tangan Kevin.
"Mau kemana berdua?" tanya Ariella basa-basi.
Rani hanya tersenyum miring melihat kelakuan adiknya bersama mantannya yang bermesraan di parkiran umum. Ariella memasang senyum manisnya seolah sangat bahagia. Berbeda dengan Rani dan Dika yang berjalan saja harus memiliki jarak.
"Hai Real, Vin," ucap Rani yang juga menyapa keduanya.
"Duluan ya, kita mau kerja." Rani menarik tangan Dika untuk segera menjauh dari mereka.
"Kak Rani!" panggil Ariella yang membuat langkah Rani dan Dika terhenti.
"Pengantin baru seharusnya jangan pikirin pekerjaan dulu. Seperti Kevin nih, dia memintaku untuk bersenang-senang." Ariella memamerkan kartu ajaibnya sambil bergelayut memanjakan di lengan Kevin.
Rani menarik bagian ujung tepi. "Oh ya? Bagus dong kalau begitu. Jangan lupa ya, satu bulan lagi bayar hutang," kata Rani mengingatkan Ariella dan Kevin tentang cicilan pesta pernikahan mereka.
Wajah Ariella langsung berubah masam. Rani menyunggingkan senyumnya, dia tidak cemburu dengan kemesraan Ariella dan Kevin. Hanya saja merasa geli dengan tingkah mereka. Tak mau kalah, Rani pun mengapit tangan Dika secara tiba-tiba, membuat laki-laki di sampingnya membulatkan mata.
Rani melambaikan tangannya dan berjalan dengan menggandeng tangan Dika. Sedangkan Ariella menghentakkan kakinya karena kesal. Niatnya ingin membuat Rani cemburu, justru dirinya yang terbakar amarah.
****
"Mas, ngapain di sini?"
"Mas, aku duluan ya," pamit Rani yang buru-buru turun dari angkutan. "Jangan buru-buru!" "Gak bisa Mas, udah telat. Nanti bosku marah," kata Rani yang terus mengulurkan tangannya, tapi Dika masih belum menyambut tangannya. "Salim, Mas!" ucap Rani sedikit kesal. Dika terkekeh, laki-laki di dalam angkot itu menyambut tangan istrinya dan Rani menciumnya takzim. "Memang kenapa kalau terlambat?" tanya Dika. "Nanti dia marah. Dia itu galak, sombong dan arogan. Sudah ah, ngobrol terus aku tambah telat," kata Rani khawatir. Mata Dika melotot mendengar Rani menghina bosnya sendiri. "Memang kamu sudah tahu siapa bosmu itu?" tanya Dika sekedar basa-basi. "Belum sih, tapi kelihatannya begitu. Sudah ah... assalamualaikum, Mas," pamit Rani kemudian berlari terburu-buru untuk masuk ke dalam kantor. Dika juga turun dari angkutan itu setelah membayar ongkosnya. Namun, mata Dika tertekan pada kursi yang Rani duduki tadi. sayangnya, kartu nama Rani tertinggal. Dika mengambilnya kemudian ke
"Hai, Kevin," sapa Dika ramah. Kevin menelisik penampilan Dika yang menggunakan seragam office boy dan membawa alat kebersihan. Laki-laki itu tertawa menyadari jika suami mantannya ini tidak lebih baik darinya. Kevin menyilangkan tangannya di dada dan mengangkat wajah angkuhnya. "Jadi ini pekerjaanmu?" tanya Kevin seperti meledek. "Ya seperti yang kamu lihat. Alhamdulillah pekerjaan ini halal," jawab Dika santai. "Aku kira, Rani akan jadi sutradara atau CEO, ternyata… Rani Rani…." Tawa Kevin semakin pecah. "Memang apa salahnya dengan pekerjaanku?" tanya Dika lagi. "Ya tidak ada yang salah. Tapi, Rani yang salah, meninggalkanku dan justru memilih laki-laki sepertimu. He, beda laki kasta!" ketus Kevin mencemooh Deka. Dika menarik sedikit sudut yang terkena dan kepala berguncang. Laki-laki itu adiknya menatap iparnya dengan tenang meskipun hinaan telah terlontar untuknya. "Sudah ketawanya?" tanya Dika begitu santai. Kevin langsung memasang wajah datarnya. Ucapan Dika barusan sepe
Mata Bunga membulat. Tentu saja wanita itu sangat terkejut. Setelah menghilang selama satu minggu, dan kini setelah kembali, Dika mengatakan telah memiliki istri. "Serius, Pak?" tanya Bunga memastikan. "Apa aku harus menunjukan buku nikah kami?" kata Dika. Bunga yang belum percaya hanya diam saja tidak menjawab iya ataupun tidak. Dika mengeluarkan sebuah foto dari dalam sakunya. Laki-laki itu sengaja membawanya untuk di tunjukan kepada Bunga jika wanita itu tidak percaya. "Wah rupanya Bapak sudah menikah. Kapan? Dan kenapa tidak ada berita yang meliput ini? Jika wartawan tau, ini akan menjadi berita hot sepanjang hari," papar Bunga setelah melihat foto tersebut. “Ceritanya panjang, yang jelas aku minta untuk kamu memberikan data mengenai Maharani Ayunda,” kata Dika. "Baik, malam ini saya kirim ke email bapak," ucap Bunga menyetujuinya. "Satu lagi," ucap Dika, "jangan sampai ada yang tahu tentang pernikahanku dengan Rani, termasuk Mama dan Papa," sambungnya lagi. "Baik, Pak.""
Suara berat yang terdengar lembut itu membuat sepasang mata coklat berbinar. Rani menoleh saat Dika memanggilnya kembali. Laki-laki yang sedang duduk di ujung ranjang itu menatapnya begitu dalam. "Ada apa, Mas?" tanya Rani, suaranya tak kalah lembut. "Oh tidak, lupakan saja," jawab Dika sambil tersenyum. "Oh, baiklah." Rani kembali melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam kamar mandi. 'Ada apa denganku? Kenapa aku jadi peduli pada gadis itu? Ucapan Mama Retta … apa karena ini?' batin Dika. Sedangkan beberapa detik kemudian, Dika mendengar suara senandung dari kamar mandi. Suara yang sangat merdu meskipun bernyanyi dengan nada yang asal-asalan. Laki-laki itu tersenyum mendengar suara yang berasal dari Rani itu. Dika mengitari kamar Rani, laki-laki itu mengamati foto dan barang-barang yang terpajang di dalam kamar itu. Dika juga membuka laci-laci dan lemari milik Rani, berharap menemukan sesuatu yang bersangkutan dengan informasi istrinya. Dika menemu KTP milik Rani. "Maharani Ayun
Sepasang mata coklat menoleh saat suara seseorang memanggilnya dari belakang. "Iya," ucap Rani menjawab panggilan orang tersebut. Kevin mendekat ke arah Rani, dengan tatapan yang sulit diartikan. Mata laki-laki itu menelisik penampilan Rani seperti menelanjangi. Rani, dengan wajah datarnya kepada Kevin, menatap tajam laki-laki yang telah menjadi masa lalunya itu. "Ada apa?" tanya Rani datar. Langkah yang semakin dekat, Kevin mengambil piring di tangan Rani. "Mau apa kamu?" tanya Rani lagi, pasalnya Kevin semakin mendekatkan tubuhnya. "Kamu sengaja, ya?" Bukannya menjawab, Kevin justru melemparkan pertanyaan yang tidak Rani mengerti. "Sengaja? Maksudnya?" tanya Rani bingung. "Untuk apa kamu pakai pakaian seperti ini?" tanya Kevin."Ada apa dengan pakaianku? Tidak ada yang salah sepertinya," ucap Rani. "Tidak ada yang salah katamu? Selama ini kita berpacaran bahkan sampai tunangan, kamu tidak pernah dandan secantik ini dan …," Kevin sengaja menghentikan ucapannya. "Dan?""Dan pa
Rani dan Dika pergi ke kamar mereka. Rani menangkupkan tangannya pada wajahnya lalu menangis. Dika berjalan ke arahnya lalu mengelus rambut Rani untuk menenangkannya. "Mas, aku gak ngelakuin apa-apa, aku gak merayu Kevin," ucap Rani di sela isak tangisnya. "Aku percaya kok sama kamu," ujar Dika. Dika memeluk Rani yang masih menangis, dia mengerti bagaimana perasaan istrinya saat ini. Keluarga gadis itu tidak seharmonis keluarga pada umumnya. Rani bagaikan bawang putih di rumahnya sendiri, hanya ada Retta sebagai ibu tiri yang kejam dan Ariella yang selalu berkuasa. Dika mengerti semuanya tidak mudah untuk Rani, apalagi saat semua orang bersalah. "Sudah nangisnya," ucap Dika dengan mengelus rambut Rani. Rani tersadar jika sejak tadi dirinya banyak menangis di pelukan Dika. Buru-buru gadis itu melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Rani merasa malu telah melakukan hal itu. "Kenapa di lepas? Menangis saja, tidak apa-apa," kata Dika lalu memberikan pundaknya kembali.
"Kirimkan aku informasi tentang Kevin Aprilio, lengkap dan jelas. Secepatnya!" ucap Dika, kemudian tersenyum miring. Dika mematikan sambungan teleponnya. Kemudian mulai berselancar dengan ponselnya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu, Dika membaca semua informasi mengenai Maharani Ayunda, wanita yang kini menjadi istrinya. "Tidak salah, dia bisa mempermudah jalanku," ucap Dika puas. Karena hari sudah semakin larut, Dika meletakan semua pekerjaannya dan bergegas untuk istirahat. Dika menatap Rani yang sudah nyenyak dalam mimpinya. Laki-laki itu tersenyum, Dika cukup mengagumi kecantikan Rani ketika wanita itu tengah tertidur. *****Pagi-pagi sekali, Dika dan Rani berangkat lebih awal. Rani yang katanya ada meeting dadakan sangat terburu-buru. Kali ini, mereka memilih untuk naik taksi saja karena sedang memburu waktu. Rani, dengan penampilan sederhananya, tetapi terlihat anggun karena polesan make up tipis dan gaya rambutnya. Tak butuh waktu lama dan mereka telah tiba di
Sebuah bogeman mentah mendarat ke wajah Kevin sehingga laki-laki itu tersungkur dan membentur meja. Rani membekap mulutnya terkejut dengan kehadiran suaminya secara tiba-tiba. Dika menatap nyalang Kevin yang baru saja mencoba melecehkan istrinya lagi. "Anda sudah menguji kesabaran saya, Bapak Kevin," ucap Dika geram, "apa seperti ini pekerjaan anda? Selalu mengganggu bawahan anda baik di rumah maupun di kantor," imbuhnya lagi dengan nada kesal. Kevin tertawa bodoh lalu berdiri dan mencengkram kerah baju Dika. "Beraninya kamu memukul saya, kamu tidak tahu siapa saya?" ucap Kevin penuh penekanan. Dika justru tersenyum miring mendengar ucapan Kevin. "Saya cukup tahu siapa anda, jauhkan tangan kotor itu atau anda akan menyesal!" ancam Dika dengan sorot mata tajam. "Mas Mas, sudah Mas. Ayo kita keluar," ajak Rani yang tak ingin menambah masalah. Kedua laki-laki itu saling melempar tatapan tajam. Tangan Dika sudah mengepal kuat dan siap untuk melayangkan pukulan lagi jika saja Rani tid