"Mas, aku duluan ya," pamit Rani yang buru-buru turun dari angkutan.
"Jangan buru-buru!"
"Gak bisa Mas, udah telat. Nanti bosku marah," kata Rani yang terus mengulurkan tangannya, tapi Dika masih belum menyambut tangannya.
"Salim, Mas!" ucap Rani sedikit kesal.
Dika terkekeh, laki-laki di dalam angkot itu menyambut tangan istrinya dan Rani menciumnya takzim. "Memang kenapa kalau terlambat?" tanya Dika.
"Nanti dia marah. Dia itu galak, sombong dan arogan. Sudah ah, ngobrol terus aku tambah telat," kata Rani khawatir.
Mata Dika melotot mendengar Rani menghina bosnya sendiri. "Memang kamu sudah tahu siapa bosmu itu?" tanya Dika sekedar basa-basi.
"Belum sih, tapi kelihatannya begitu. Sudah ah... assalamualaikum, Mas," pamit Rani kemudian berlari terburu-buru untuk masuk ke dalam kantor.
Dika juga turun dari angkutan itu setelah membayar ongkosnya. Namun, mata Dika tertekan pada kursi yang Rani duduki tadi. sayangnya, kartu nama Rani tertinggal. Dika mengambilnya kemudian kembali turun lagi.
“Dasar pelupa,” gumam Dika, kemudian memasukan kartu nama itu ke dalam saku celananya.
Dika berjalan menjauh dari kantor itu, laki-laki itu menghampiri sebuah mobil yang telah menunggunya sejak tadi. Melihat tuannya datang, orang dalam mobil itu keluar dan membukakan pintu. "Silakan," ucap orang itu yang merupakan asistennya.
"Apa kamu membawa yang kuminta?" tanya Dika pada asistennya ketika telah berada di dalam mobil.
"Siap, ini pesananmu."
Asisten Dika adalah seorang wanita, dia bernama Bunga. Asisten sekaligus sahabat masa kecilnya. Bunga menyerahkan paper bag yang dibawanya kepada Dika.
"Aku sudah menjelaskannya tadi, kamu sudah mengerti apa tugasmu?" tanya Dika kepada Bunga.
"Iya, aku tau. Tapi, kenapa harus menyamar?" tanya Bunga keheranan.
"Banyak sekali laporan yang mengganjal setelah diperiksa. Itulah alasan aku meminta Papa untuk memimpin perusahaan ini, aku akan menyelubungi kasusnya hingga tuntas. Mereka yang sudah menjadi tikus kantor harus mendapatkan hukuman yang setimpal." Dika menjelaskan alasannya kenapa ingin menyamar.
"Oke, aku paham." Bunga menganggukan kepalanya.
“Oh ya, jadilah bos yang galak, arogan dan sombong di depan mereka, tunjukan pada kekuatan mereka yang kita miliki,” perintah Dika. Laki-laki itu mengemas kata-kata Rani yang menyebutnya seperti itu.
"Aku akan masuk lebih dulu. 10 menit lagi kamu harus tiba di kantor!" kata Dika, kemudian keluar dari mobilnya.
Dika bekerja sama dengan asistennya untuk bertukar peran. Karyawannya yang belum mengenal siapa dirinya membuat Dika leluasa memainkan sandiwaranya. Dika berjalan menuju kantor tersebut untuk memulai semuanya.
10 menit kemudian, semua karyawan berkumpul untuk menyambut CEO baru mereka. Semua berdiri dan berjajar rapi saat sebuah mobil hitam yang mewah berhenti di lobby depan pintu. Mereka sangat penasaran seperti apa pimpinan mereka yang baru.
Seorang supir keluar lebih dulu, dia membukakan pintu untuk bosnya agar keluar. Kaki jenjang mulai terlihat dari bawah pintu mobil itu. Seorang wanita cantik dengan rambut sebahu dan blazer hitam turun dari sana. Wanita itu menggunakan kacamata hitam yang membuat pesonanya semakin terpancar.
"Selamat datang, Ibu bos," ucap seluruh karyawan.
Sambutan yang ramah, Bunga hanya menarik sedikit sudut yang dilewati kemudian berjalan dengan anggun. Wanita itu memperhatikan karyawannya satu kali. Mereka menunduk saat menyadari tatapan Bunga yang menyelidik.
Tiba-tiba saja Bunga berhenti di depan seorang gadis. Dia adalah Rani, Rani menunduk saat bos baru mereka mendekatinya dan terlihat intens. Belum apa-apa Rani sudah merasakan suasana horor sejak Bunga menginjakkan kaki di kantor ini.
"Siapa namamu?" tanya Bunga kepada Rani.
“Maharani, Bu,” jawab Rani yang kemudian mengukir senyum sambil mengangkat wajahnya.
"Ada bagian apa?" tanya Bunga lagi. Semua mata tertuju pada Bunga dan Rani.
"Administrasi staf," jawab Rani.
Bunga mengamati penampilan Rani dari ujung kaki hingga kepala. "Lain kali, kartu nama harus selalu dipakai. Jika tidak, silakan kembali lagi ke rumah." Bunga berkata dengan ketus kemudian melangkah masuk ke dalam kantornya.
Rani menghela napasnya berat, ternyata yang dia khawatirkan benar-benar terjadi. Memiliki bos yang galak, angkuh dan sombong, seperti bosnya saat ini. Sahabat Rani yang bernama Felice menghampirinya yang masih berdiri sambil mengelus-elus dadanya.
“Udah gak apa-apa, namanya juga pimpinan baru,” ujar Bunga menenangkan Rani.
"Aku gak bawa kartu nama itu, tapi hilang entah kemana," kata Rani terus terang.
"Rani!" Suara seseorang memanggil namanya, Rani menoleh dan terkejut melihat Dika ada di tempat itu.
"Mas Dika, kenapa Mas ada di sini?" tanya Rani kepada Dika.
Dika mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Milikmu bukan?" ucap Dika sambil menyerahkan kartu nama Rani.
"Wah ini dia," ucap Rani senang, "kok bisa ada sama Mas?" tanya Rani seraya mengambil kartu nama itu.
"Ketinggalan di angkot tadi," jawab Dika.
"Ran, dia siapa?" tanya Felice kepada Rani.
"Em ini…." Rani memikirkan jawaban yang tepat.
Dika mengulurkan tangannya. "Dika, teman kuliah Rani dulu," ucap Dika memperkenalkan diri.
Iya, teman kuliah dulu, sahut Rani membenarkan ucapan Dika.
Rani melirik ke arah Dika yang tersenyum ke arahnya. Beruntung Dika tidak membuka statusnya yang sebenarnya. Rani bernapas lega lalu memperlihatkan jerawat gigi putihnya yang tersusun rapi.
"Hai Mas Dika, aku Felice, sahabat Rani," ucap Felice memperkenalkan diri.
"Mas, kok ada di sini?" tanya Rani.
"Aku kerja di sini," jawab Dika.
Mata Rani membulat. "Ha serius Mas? Kok aku gak pernah lihat ya," ucap Rani.
“Baru masuk hari ini, baru diterima,” kata Dika berbohong.
"Sudah Ran, ayo lanjut kerja!" ajak Felice karena mereka terlalu lama mengobrol.
Rani menatap Dika sebelum dia pergi, entah kenapa gadis itu merasa kasihan melihat suaminya bekerja sebagai office boy. Sedangkan Dika hanya terkekeh melihat ekspresi Rani. Laki-laki bingung kenapa Rani selalu menatap dengan tatapan iba. Dika melanjutkan pekerjaannya dengan mengepel lantai.
******
"Wah dunia sangat sempit ya, ternyata suami pilihan Rani juga bekerja di sini."
"Kamu ...."
"Bicara omong kosong, aku tidak akan bercerai dari Mas Dika," ujar Rani dengan berani. "Rani Rani, aku tahu kamu masih mencintaiku. Aku juga tahu kalau kalian hanya bersandiwara saja, kamu membayar Dika untuk menjadi suamimu kan?" kata Kevin menebak. "Sandiwara atau tidak itu bukan urusan kamu. Kita sudah selesai, jadi jangan ganggu aku lagi!" Rani memperingati Kevin. Hatinya teramat benci pada laki-laki yang kini menjadi mantannya itu. Rani kembali melangkah pergi sebelum ada yang melihatnya bersama Kevin. Jika tidak, akan ada masalah baru yang membuatnya cepat emosi. Sementara Kevin menatap kepergian Rani. Sampai detik ini Kevin masih mengagumi kecantikan Rani. Kevin masih berharap bisa memiliki Rani dan Ariella bersamaan. Sungguh laki-laki yang serakah. "Aku pastikan kamu akan kembali padaku Maharani," ucap Kevin sambil menyeringai. *******Rani menggeliatkan tubuhnya, merubah posisinya dari terlentang menjadi miring menghadap jendela. Rani langsung membuka matanya lebar-leba
Duduk berdua di dapur selayaknya pengantin baru yang menghabiskan waktu hanya berdua saja. Dika membawa sepiring nasi beserta lauk pauknya. Rani menunduk lesu, wanita itu merasa bersalah pada Dika yang tidak pernah diperlakukan baik di rumahnya. Meskipun laki-laki itu hanyalah menjadi suami sesaatnya, tetapi Rani paham harus bagaimana melayani Dika seperti istri pada umumnya. "Kamu kenapa Ran?" tanya Dika begitu lembut. Rani mengangkat wajahnya, menatap manik coklat milik Dika yang terlihat indah. Jika dipikir-pikir Dika adalah tipe laki-laki yang sangat tampan. Tubuh atletis yang sempurna, mata yang berpijar indah, bibir tebal berwarna merah alami, kulit putih bersih dan rambut lurus hitam sempurna."Mas, maafin aku ya," ucap Rani lirih. "Maaf kenapa?" tanya Dika bingung. "Selama Mas tinggal disini belum pernah merasakan kenyamanan. Keluargaku ya seperti ini, tidak pernah ada kehangatan. Dan aku, si anak tiri yang seperti bawang putih," ujar Rani. Dika tersenyum memandang wajah
Waktu terus berputar, siang berganti malam. Sepulang dari kantor, seperti biasa Rani akan merapikan rumah dan menyiapkan makanan. Sebenarnya gadis itu sudah muak tinggal bersama keluarganya, terlebih Retta ibu tirinya yang tidak pernah menyayanginya. Saat ini, Rani tengah menanak nasi dan menyiapkan berbagai makanan. Katanya, Ariella dan Kevin akan datang menginap malam ini. Retta memintanya untuk menyiapkan banyak hidangan."Huh kenapa harus aku yang repot sih setiap mereka mau datang," gerutu Rani."Mas Dika kemana lagi?" Rani tidak melihat keberadaan Dika sejak mereka pulang dari kantor sore tadi. Dika mengatakan akan keluar sebentar karena ada urusan. Namun, sudah lebih dari satu jam laki-laki itu belum juga kembali. "Rani, mana makanannya? Sudah sejam kamu masak tapi belum satupun tersaji di meja," ujar Retta, tiba-tiba muncul dan menghakimi Rani. "Ini juga lagi masak Ma," jawab Rani ketus. "Kamu ngomong sama orang tua ketus begitu, gak sopan Rani!" seru Retta kesal. "Dari
"Kalian tidak mungkin punya hubungankan?" tanya teman-teman Rani penuh selidik. "Yang benar saja Ran, kamu putus dari Pak Kevin yang pangkatnya lebih tinggi dan sekarang berpaling sama staf rendahan kayak ini, kamu masih waras kan Maharani?" sambung yang lainnya dan terus merendahkan Dika. "Ran, mending sama aku aja. Ya meskipun pangkatku gak setinggi Pak Kevin tapi setidaknya gak serendah dia juga," cibir yang lainnya lagi. Mendengar semua hinaan dan cibiran yang tertuju padanya, Dika hanya menanggapinya dengan senyuman saja. Rupanya banyak orang yang hanya menghargai seseorang dari statusnya saja. Lewat penyamaran ini Dika mengetahui wajah-wajah palsu dari semua karyawannya. "Memang sehebat apa kalian sampai merendahkan Mas Dika seperti ini? Jabatan kalian pun juga gak setara Pak Kevin," ucap Rani, membela suaminya.Prok ProkProk"Wah hebat, ternyata kamu masih mengagumiku Maharani," sahut Kevin yang tiba-tiba datang dengan bertepuk tangan. Di sebelahnya, Ariella berdiri denga
"Maharani!"Suara sepatu beradu dengan keramik dan panggilan dari seseorang membuat Rani menoleh. Saat ini, gadis itu sedang terburu-buru kembali ke mejanya. Namun, langkahnya terhenti saat suara itu memanggil namanya."Bu Bunga," ucap Rani ketika mendapati bosnya yang sangat cantik dan berkelas itu menghampirinya."Ini buat kamu," kata Bunga, sambil menyerahkan sesuatu di dalam paper bag berwarna putih.Rani mengernyit heran. "Apa ini?" tanya Rani, sambil membuka paper bag tersebut. "Makanan?" tanya Rani, memastikan ia tidak salah lihat. "Saya membelinya dan ternyata sudah dingin. Saya tidak memakan makanan yang dingin, jadi daripada dibuang ambillah," ujar Bunga, tanpa ekspresi. Sangat dingin seperti biasanya. Senyum di wajah Rani mengembang, kebetulan sekali dirinya juga tengah lapar karena melewati makan siangnya. "Wah, kebetulan sekali. Terima kasih Bu," ucap Rani senang. Bunga meninggalkannya tanpa menanggapi ucapan terima kasih dari Rani. Memang, Bunga di minta bersifat j
"Jadi Kevin adalah laki-laki matrealistis yang tidak berperasaan. Gila harta, gila wanita dan gila segala-galanya," ujar Rani dan diikuti dengan tawa renyahnya. "Benarkah?" tanya Kevin memastikan. "Hmm … dulu kami berpacaran saat dia akan melamar pekerjaan di perusahaan DS, dia tidak pandai dalam menyiapkan proposal dan lainnya di saat bosnya memberinya tugas. Aku ini yang mengerjakannya, semua tanpa terselip sedikitpun. Bahkan saat bertunangan dan rencana menikah, semua aku yang membiayainya. Bodohkan aku?" terang Rani dengan senyum bodohnya. "Cinta memang buta," sindir Dika. "Mas Dika benar, dulu aku benar-benar tergila-gila dengan Kevin sampai menutup mata dan telinga. Tapi setelah aku melihatnya di ranjang yang sama dengan Ariella, di saat itu aku sadar jika aku hanya dimanfaatkan," kata Rani menyesal. Dika mengambil tangan Rani dan mengelusnya lembut, wanita itu mendongak menatap suaminya. "Jangan sedih lagi, sekarangkan kamu sudah punya aku," ujar Dika lalu menghentikan mo