"Jakarta, kami datang!" Fina dan Fiska berteriak senang setelah menginjak kaki di bandara Soetta. Sementara Zio, Ega dan Rafa, tiga calon dokter yang ikut dalam LKTI tingkat nasional mewakili UGM tak kalah heboh."Woi, UI Bro. Gila! Mimpi apa kita bisa sampai ke tahap ini," teriak Rafa."Iya, tapi saingan kita UI loh. Minimal kita nanti pas presentasi kudu bisa juara dua.""Jangan dua, Fa. Satu." Ega berteriak dengan heboh.Kelimanya segera menuju hotel yang sudah disiapkan oleh pihak penyelenggara LKTI. Selama masa istirahat dan menunggu, Fina dan kawan-kawan berkenalan dengan banyak mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia.Fina begitu semangat, berkenalan dari satu orang ke orang lain. Sampai secara tidak sengaja dia menabrak seorang lelaki jangkung sangat tampan. Tetapi sayang, tampilan si lelaki terkesan angkuh dan dingin. Persis seperti Reihan."Maaf." Fina mengucapkan kata maaf yang hanya ditanggapi oleh si lelaki dengan anggukan dan dia pun segera berlalu begitu saja.Fisk
Abizar tak bisa tak senyum. Paska perkenalan dua tahun yang lalu, hubungan dirinya dengan dua adik angkatnya semakin mesra. Apalagi ketiganya sering bertemu lewat penelitian-penelitian yang melibatkan dosen dan mahasiswa UI-UGM."Paketan dari siapa, Bi?" tanya Maira sang ibu."Fina sama Zio, Mah.""Mereka gak datang ke acara wisuda kamu?""Katanya datang Mah. Tapi gak ngerti juga. Kan mereka juga sibuk kuliah.""Oh, kapan-kapan suruh nginep sini, Bi. Kamu bilang mereka adik angkat kamu.""Iya, Mah. Nanti Abi ngomong ke Zio sama Fina."Abi pun membawa paketan yang baru saja dikirim oleh kurir menuju ke dalam rumah. "Fina cantik Bi. Kamu suka sama dia?""Suka yang gimana maksud Mamah?" Abizar menatap sang ibu dengan tatapan menyelidik."Suka sebagai cewek. Cinta gitu?""Gak, Mah. Nganggep adek aja.""Ck. Kamu tuh aneh Bri. Ada banyak cewek cantik kamu tolak. Viona sampai Fina. Viona kamu tolak, mamah gak nyesel. Tapi ini Fina loh Bi. Blasteran. Cantiknya gak kaleng-kaleng. Masa kamu ga
Fina menatap sosok yang berada pada radius sepuluh meter darinya dengan tatapan tak percaya. Tubuhnya bergetar, refleks air matanya turun ke pipi. Cukup lama, Fina berada pada fase tercengang, kaget dan bercampur dengan kesedihan. Namun, dia langsung segera menghapus air matanya. "Kamu kenapa Fin?""Gak papa, Mbak Lovi. Tiba-tiba Fina kangen rumah aja.""Oh."Quinsha kembali fokus mendengarkan ceramah suaminya. Sesekali dia terkekeh melihat suaminya yang biasanya bersikap tengil tampak berwibawa mengisi pengajian di salah satu masjid yang berada di daerah tempat tinggal mereka. Sesekali, Quinsha juga fokus memperhatikan tingkah anak-anaknya. Takut mereka bikin huru-hara"Mbak Lovi.""Ya.""Mbak Lovi kenal orang-orang yang ada di sini gak? Jamaah di sini maksudnya?""Oooo. Hampir semua kenal sih.""Tua-tua semua ya, Mbak?""Gak juga. Itu ada yang muda kok. Nah kamu lihat itu."Quinsha menunjuk pada sosok lelaki muda yang duduk dekat dengan mimbar tempat Azada sedang bercerah."Itu Mas
Keheningan menyapa sejak dua orang kekasih di masa lalu duduk di bawah pohon angsana yang berada di sebuah taman yang cukup sepi. Keduanya duduk berjauhan di sebuah kursi panjang. Zio menatap dingin ke arah kejauhan sementara Azizah sibuk memainkan ujung kerudungnya sambil menunduk. Sesekali air matanya menetes. Sesekali pula dia mengusap air matanya.Sepertinya tidak ada satu pun dari mereka yang mau bicara hingga akhirnya, Azizah bicara."Aku sama Mas Kahfi udah nyoba buat mengelak dari perjodohan. Tapi ... kami berdua kalah. Aku sama Mas Kahfi nikah tiga bulan yang lalu setelah Mas Kahfi lulus. Beruntung Mas Kahfi keterima ngajar di sini. Makanya kita bisa pindah. Dan aku bisa pindah kampus."Hening. Zio sama sekali tak menanggapi pernyataan Azizah."Asal kamu tahu, Zio. Berat sekali bagi kami berdua. Di satu sisi kami punya orang yang kami cintai tapi di sisi lain, kami gak bisa egois dan jadi anak durhaka. Makanya ....""Tapi bukan berarti kalian harus diam dan gak jujur, Zizah."
Zio menatap lalu lalang mobil di depannya dengan tatapan kosong. Hampir lima belas menit dia berada di cafe, menunggu Azizah datang. Hampir satu bulan dia dan Azizah berhubungan. Keduanya selalu bertemu saat ada kesempatan dan selama itu pula hubungannya dengan Fina menjadi renggang. Meski di depan teman-teman yang lain Fina dan Zio bertingkah seperti biasa tetapi ketika hanya berdua, hubungan keduanya menjadi dingin. Fina menolak berbicara dengannya. Setiap Zio ingin bicara, Fina langsung memasang wajah dingin membuat Zio tak berani mendekat. Awalnya Zio berpikir, jika sikap dingin Fina pasti akan mencair. Sayang, sudah satu bulan berlalu justru Fina semakin menjauhinya. Meski sosok Azizah yang manis selalu berada di dekatnya namun hati Zio merasa kosong. Dia merasa ada yang hilang dalam hidupnya. Dia sadar itu adalah Fina. Fina telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Karena itu ketidakhadirannya membuat hidup Zio menjadi tidak berwarna lagi.Zio menghela napasnya. Jujur dia sang
Kalau biasanya cewek itu yang suka menyandar manja pada cowok, untuk sepasang sahabat kita justru kebalikannya. Zio sedang menyandar nyaman di bahu Fina. Matanya tertutup tapi tidak tidur. Hatinya terasa tenang karena bisa lagi berdekatan dengan sosok yang begitu dia rindukan."Fin.""Hem." Fina sendiri sibuk mengunyah keripik kentangnya."Kamu ganti parfum ya?""Iyes. Dibeliin sama Mbak Fiqa pas dia lagi jalan-jalan ke Inggris sama Mas Elang.""Owh."Zio menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya. Aroma khas tubuh Fina bercampur parfum menyapa indera penciuman. Dia tersenyum dan tetap menyandar di bahu Fina. Matanya pun masih terpejam."Kamu harum Fin. Manis banget wanginya. Jadi adem."Blush. Pipi Fina merona jadinya, tiba-tiba dia merasa gerah. Mana degup jantungnya jadi jumpalitan lagi. Untuk menyamarkan kegugupan, Fina menampilkan mimik muka judes dan suara ketus."Ck. Sampai kapan kamu gelendotan, Zi? Berat tahu." Fina menggerakkan bahunya kasar agar kepala Zio terusir dari bahun
Azizah menatap sendu halaman rumahnya dari balik jendela. Hampir satu jam dia berada di salah satu sudut ruangan dan hanya menatap diam sekelilingnya. Kahfi yang baru kembali sari masjid hanya bisa menghela napas. Dia segera menghampiri Azizah, menepuk bahunya pelan. Azizah kaget lalu dengan setengah dipaksa dia tersenyum."Mas.""Jangan melamun di sini, ayok kembali ke kamar. Kamu harus banyak istirahat."Kahfi membimbing Azizah, keduanya masuk ke dalam kamar. Dengan lembut Kahfi membaringkan Azizah lalu menyelimutinya."Mas Kahfi gak berangkat ngajar?""Enggak. Mas gak tega ninggalin kamu.""Maaf.""Kenapa minta maaf?"Azizah hanya diam. Kahfi tersenyum lalu mengelus kepala Azizah lembut."Ini mungkin sudah jalan kita. Ikhlaskan."Azizah menatap nanar ke arah suaminya. "Zizah belum bisa Mas. Zizah belum bisa ngelupain Zio.""Sama, Zah. Tapi kita juga harus sadar. Kita gak bisa masukin mereka dalam rumah tangga kita. Kemarin umimu dan abi kamu sempat marah sama mas. Karena mereka ta
Pandu langsung menerjang keponakannya setelah satu jam disidang oleh ibu, adik dan adik ipar. Jadilah keponakan dan pakdhenya saling adu gulat."Kamu ya Nat. Gak bisa diem apa?""Oh tidak bisa. Anda berulah saya balas lebih parah. Kan begitu konsepnya saya. Masa Pakdhe lupa.""Dasar keponakan semprul."Pandu kembali memiting sang keponakan, namun bukan Zio jika tidak bisa berkelit. Bahkan kini dia tertawa-tawa saat melihat sang pakdhe kesusahan berlari mengejarnya."Sini kau! Jangan kabur," teriak Pandu."Maaf Pakdhe, Nathan ada acara kencan sama Fin Fin. Selamat berjuang ya Pakdhe. Hahaha."Zio langsung kabur dan pergi meninggalkan rumah Pandu. Sebelumnya dia mencium pipi sang ibu dengan cepat karena harus menghindari kejaran Pandu."Mom, aku pulang malam, mau kencan dulu sama calon mantu Mom!" teriak Zio di atas motor lalu dia segera melajukan motornya saat dilihatnya Pandu sedang menuju halaman."Dadah, Pakdhe. Awas ya jangan sampai lepas Mbak Gendisnya." Zio pun segera kabur.Pand