“Gue butuh duit” “Berapa?” “200 juta.” “Buat apa lagi emang?” Tristan bertanya datar. “Buat modal, emang buat apa lagi?” “Ntar di transfer sama Jake.” “Okey. Jangan lewat jam 3 ya.” Rossa menatap meja Jake yang kosong. Dia harus laporan juga pada Tristan. Mumpung teman sekantornya lagi pada makan siang, dia lekas bergegas. Sedikit ragu untuk mengetuk. Tapi 5 centi sebelum tangannya mengetuk, pintu itu sudah terbuka dari dalam. Otomatis Rossa mundur memberi jalan. Seorang wanita yang usianya berkisar 30-an jika dia tidak salah, menatapnya beberapa menit. Lalu tersenyum sebentar dan pergi begitu saja. Aura dari dalam ruangan sedikit tidak bersahabat. Rossa hendak melangkah masuk, namun berhenti sejenak karena Jake juga hendak keluar. “Ada apa, Ros?” “Ehh, gue mau laporan. Pak Tristan ada di dalam?” Mumpung sosok itu sedang di kamar mandi, Jake menarik tangan Ros keluar dan menutup pintu. Kasihan Ros jika harus menjadi pelampiasan nanti. “Loh, kenapa?” “Nanti a
Rossa menghela nafas. Padahal masih pagi. Dia menutup pintu setelah menandatangani bukti penerimaan paket. Dan lihat, kamarnya sudah hampir penuh dengan kotak kiriman Tristan. “Kali ini apa lagi?” Tas Dior yang baru saja rilis. Rossa menarik nafas dalam, mengeluarkan tas harga ratusan juta itu dan menatap catatan di dalam kotak. Isinya lagi-lagi sama. Permintaan maaf Tristan. Padahal rasa kesalnya sudah hilang, tapi karena setiap hari di kirimi hadiah mulu, Rossa jadi kesal lagi. Dia menatap pesan WA yang baru saja masuk. Kebetulan Tristan masih dinas di luar kota, dan itu memberikan kebebasan untuknya. Rossa mengabaikan pesan itu dan segera mengenakan pakaian trainingnya. Hari minggu seperti ini enaknya jogging, apalagi dia sudah cukup lama tidak olahraga karena sibuk mengejar urusan duniawi. Tas itu Rossa masukkan kembali ke dalam kotak. Dia tidak pernah menggunakan hadiah itu sama-sekali. Bukannya tidak suka, jangan ditanya. Itu barang branded semua, tapi Rossa sadar di
Tristan tersenyum dari ruangannya sambil menikmati pemandangan indah dari balik kaca ruanganya. Tepatnya dimana Rossa sedang sibuk dengan layar di hadapannya. Itu terlihat seksi dan juga membuat otaknya kadang tidak bisa bekerja dengan baik. Bahkan Jake yang sejak tadi menjelaskan progres proyek mereka diabaikan. Membuat Jake pada akhirnya ikut menoleh ke belakang, dan langsung menghela nafas kesal. Ingin menghujat, tapi dia hanyalah budaak korporat. Salah dikit potong gaji. Nasib…nasib. “Bos, lo dengar gak sih?” “Eh? Apa tadi?” Wajah Jake masam, dia meletakkan laporan bulanan itu di meja Tristan dan langsung berdiri. “Et dah, kesel banget gue. Ini lo baca aja sendiri, dari tadi gue ngomong lo gak dengar sama-sekali.” “Lah, lo bosnya?” Jake langsung duduk kembali dan menjelaskan dari awal. Untungnya kali ini Tristan mendengarnya, jika tidak, maka Jake benar-benar gondok. Mau dia hanya kacung, dia tidak akan peduli. Kadang bekerja dengan Tristan itu butuh ekstra kesab
Sepanjang jalan menuju ke apartemen, Rosa diam saja. Tidak mengatakan apapun, tapi sesekali matanya melirik ke arah Tristan yang diam saja. Dia tidak punya pilihan selain pulang bersama Tristan. Padahal dia ingin kembali ke kantor untuk mengambil barang-barangnya. Tapi namanya Tristan ya…begitulah. Kadang membuat naik darah. Kadang juga membuat Rossa berpikir keras. Apa yang sebenarnya dilihat seorang Tristan darinya? Wajah? Jangan ditanya. Wajah Rossa pas-pasan kok, standar pada umumnya. Ya intinya lengkaplah. Tubuh molek? Aduh. Apalagi itu. Tinggi Rossa hanya 158 cm dengan berat badan 55 kg. Sudah tau lah ya seperti apa bentuk tubuhnya. Untungnya Rossa itu bisa memoles wajah dan cakap dalam berpakaian. Namun detak jantung Rossa sejak tadi tidak bisa di ajak serius. Padahal Tristan sedang dalam mode kalem, tumben-tumbennya tidak banyak tingkah atau tidak menjahilinya seperti biasa. Ada yang salah. Dunia sepertinya lagi tenang. Tapi. Itu tidak baik untuk kesehatan jantung
“Trist, balikin woi.” “Gak.” “Gila lo, ini namanya perampokan. Mau lo apain sih koper gue. Orang udah gue packing juga.” “Ntar gue packing lagi. Pokoknya lo gak boleh bawa bikini atau baju seksi-seksi. Gak boleh. Titik.” “Wah, udah gila lo ya. SHIBAL.” Rossa sudah tidak kuat menggedor pintu kamar Tristan yang kabur membawa kopernya. Dia benar-benar tidak bisa berkata-kata. Rossa memang ikut dalam acara ke Bali dan tadi pagi pengumuman itu baru dia dapatkan. Seharian ini Tristan tidak kelihatan. Lebih tepatnya sejak subuh, setelah mereka berpelukan di taman. Rossa memang sedikit kepikiran, namun tidak sejauh itu. Tingkah Tristan di taman itu sudah jelas menunjukkan bahwa lelaki itu memang ada masalah. Rosa berusaha bertanya, tapi jawaban Tristan selalu saja sama. “asal kamu ada disisi gue, everything will be okay, Ros.” Karena excited liburan ke Bali, Rosa pulang-pulang langsung mengemas barang-barangnya untuk berangkat besok. Dia juga sudah memasukkan beberapa biki
Sejak ada kasus Rosa diantar oleh atasan aka Tristan, langsung ke Rumah Sakit perkara datang bulang doang, ternyata dampaknya besar sekali. Selama perjalanan ke Bali, banyak anak-anak satu divisi Rossa yang terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Untungnya, Gusti Cs selalu mengatakan ‘gak usah didengar’ kata orang. Bahkan Rossa sampai terharu, sebab satu unit kerjanya itu mengkhawatirkan keadaannya. Termasuk mbak Lis. Walau mulutnya lemes naujubilah, tapi dia ternyata se-care itu pada Rossa. Membuatnya terharu. “Ros, kamu harus banyak konsumsi herbal alami deh. Jangan nanti kalau sudah terlanjur jauh, baru disesali. Masalah haid ini memang kadang kelihatannya sepele, tapi gak boleh dibiarin aja.” “Iya, mbak. Makasih juga buat nasehatnya.” “Nice, mbak mau ketemu sama si bos dulu. Lo sama anak-anak aja, biar gak ada yang sinisin.” Rossa mengangguk dan bergabung ke sofa, dimana Gusti dkk sedang tertawa keras. Entah apa yang lucu. Mereka sedang menunggu giliran cek-in
Agenda mereka hari ini adalah acara keakraban kantor divisi. Semua sudah mendapat tim masing-masing. Dan Rossa kebagian setim dengan anak-anak dari tim divisi lain. Semuanya diacak, satu tim di kantor, tidak boleh setim di permainan mereka. “Eh, lo dari tim utama ya?” Seorang pemuda, berusia tidak berbeda jauh dari Rossa baru saja menyapanya. Rossa tersenyum mengangguk. Umumnya dia bukan tipe yang introvert, tapi karena melihat Tristan dari kejauhan sedang memantaunya. Rossa jadi merasa kurang nyaman. “Lo dari tim apa di kantor?” Rossa akhirnya memulai pembicaraan, dia tidak bisa terus-terusan diam saja, “gue jarang lihat lo soalnya.” “Dari Tim E, maklum kalo lo jarang lihat. Tim gue biasanya turun ke lapangan. Oh ya, gue Rudian, panggil Rudi aja. Lo Rossa kan?” “Eh, lo kenal gue?” “Nama sama muka lo kesebar di grup kantor soalnya, makanya gue kenal.” Menghela nafas, Rossa hanya bisa tersenyum kikuk. Dia tahu sefatal apa jika sudah berurusan dengan Tristan dan ketah
Tidak, bukan Rossa namanya jika dia adalah seorang wanita yang mudah mengeluh, tergoda, dan menyerah akan hal yang berbaur dengan kehidupan. Sebagai anak yang pernah kehilangan kedua orang tua dalam waktu bersamaan, dan bahkan pernah hanya makan nasi tambah kecap doang, Rossa itu bukan tipe cewek lemah. Apalagi dengan game berhadiah jalan-jalan ke luar negeri. Beh. Tidak usah diragukan lagi dan jelas itu kelihatan dari hasil akhir. Kelompok Rossa berhasil memenangkan juara utama dan ya, mereka mendapatkan tiket gratis itu. “Lo hebat banget, padahal tadi kayak biasa aja mainnya.” Rudi terkekeh, “but, thanks. Ini pertama kali tim gue menang.” “Ini bukan karena gue doang, tapi karena kerja sama tim kita.” Rudi tersenyum tulus, “nanti malam, lo available ga?” “Kenapa?” “Anak-anak dari tim lain ngajak makan di daerah sini, mungkin bisa gue kasih rekomendasi juga. Siapa tau lo tertarik buat ikut, sekalian ajak anak-anak dari tim utama. Biar pada kenalan juga, dan mengurangi