Akhirnya hari ini Rosalina Hyunhe yang kerap dipanggil Rosa itu sudah siap dengan setelan kerjanya. Setelah lima tahun berlalu, dan setelah kejadian malam itu. Sebenarnya saat itu, usia Rosa masih sangat belia. Masih baru lulus kuliah. Untungnya, dia tidak hamil, karena Rosa membeli obat dari apotek usia malam itu.
Gak kebayang kalo dia hamil, tapi gak punya suami. Apa kata orang nanti?
Dua tahun Rosa jalani sebagai pekerja kasar di kantor yang embel-embelnya kekeluargaan. Lalu dua tahun Rosa mengambil S2nya. Sisa satu tahunnya? Ya benar. Rosa menjadi pengangguran, dan beralih menjadi seorang baby sitter. Meskipun yang dia jaga adalah anak dari saudara perempuannya sendiri.
Panjang perjalanan kisah mbaknya. Mulai dari tangis yang tiada henti saat suami mbaknya itu meninggal. Hingga saat ini, mbaknya itu sudah bisa lebih tegar. Eva Hyunhe adalah sosok yang tegar di mata Rosa. Mbaknya itu adalah panutannya. Jadi selama 5 tahun, Rosa menghilang dari peradaban kota Jakarta.
Lalu, setelah setahun memutuskan menjaga ponakan dan saudaranya. Akhirnya Rosa memutuskan mengejar cita-citanya lagi. Dia melamar di salah satu perusahaan impor-ekspor di Jakarta. Untungnya dia diterima, dan hari ini akan ada seleksi terakhir. Sesi wawancara yang menentukan dia bisa jadi seorang accounting atau pulang dengan keputusasaan.
“Kamu yang baik-baik ya, sayang. Nanti aunty jemput habis pulang kerja.”
Rafael mengangguk. Rosa memang masih menjaga Rafael—anak Eva—karena saudaranya itu sedang pergi keluar negeri karena urusan pekerjaan. Jadi dua minggu kedepan, dia yang bertanggung jawab atas Rafael. Untungnya, ponakannya itu tidak rewel, seolah paham seperti apa keadaan ibunya.
“Aunty…nanti beliin Fael ice cream ya.”
“Iya, sayang. Aigoo…ponakan aunty akhirnya udah sekolah. Ingat, jangan bandel ya nanti.” Rosa memperbaiki dasi Rafael. Mencium kening lelaki kecil itu lama.
“Siap.”
Mobil mereka berhenti di salah satu TK terbaik di Jakarta. Rosa turun, dan menggandeng tangan Rafael memasuki sekolah itu. Usia anak kecil itu sudah 5 tahun, dan dia pintar.
Rosa sekali lagi melambaikan tangannya. Dan segera tancap gas menuju kantornya. Dia sedikit bersemangat hari ini. Begitu parkir, Rosa melihat sebentar gedung pencakar langit tempatnya bekerja. Tidak mudah untuk diterima bekerja di sana, apalagi saingannya lulusan S2 dari luar negeri. Ya begitulah kalo cari kerja di negara Konoha ya. Susahnya minta ampun.
Harus good looking, good brain, dan ada juga persoalan orang dalam. Ini yang paling sulit. Soalnya Rosa lahir dari keluarga miskin. Bahkan kedua orang tuanya sudah menghadap sang pencipta lebih dulu karena sebuah kecelakaan.
Usai memantapkan diri, Rosa berjalan perlahan memasuki gedung itu. Auranya saja sudah berbeda. Semuanya ramah, termasuk resepsionis yang melihatnya. Rosa menuju lantai 20 saat diberitahu bahwa ruangan interview akan di adakan di sana. Suasana menegangkan terlihat jelas di wajah dua lelaki yang dia yakin adalah saingannya. Sebab hanya tiga orang yang berhasil sampai di tahap ini.
“Bapak Hans, silahkan masuk.”
Jake mulai memanggil kandidat satu persatu. Dia juga melihat sosok satu-satunya kandidat wanita yang akan di interview khusus oleh Tristan. Entah apa yang akan terjadi, tapi Jake hanya berdoa banyak-banyak untuk wanita itu. Semoga selamat dari amukan singa yang sedang terbangun.
Rosa duduk dengan tenang. Tapi mulai merasa ada yang aneh. Rekan pertama keluar dengan wajah pucat. Lalu rekan kedua keluar dengan nafas ngos-ngosan, dan banjir keringat. Pikiran Rosa mulai kemana-mana saat namanya sudah di panggil.
Sejenak Rosa menatap kedua rekannya. Tatapan mereka seolah menyiratkan agar Rosa kabur saja. Tapi sudah terlanjur, Rosa sudah masuk ke dalam ruangan dimana pemandangan gedung-gedung langsung terlihat dari kaca. Seseorang sedang duduk di bangku yang posisinya membelakanginya.
Perasaan Rosa mulai tidak enak. Auranya berbeda, membuat bulu kuduknya berdiri. Bahkan, lelaki yang tadi memanggil namanya tersenyum, seolah memberikan semangat. Lalu pergi keluar.
“Permisi, Pak.”
Rosa bertanya lebih dulu. Dia tidak tahu model interviewnya kali ini. Dia pikir akan bertemu dengan CEO perusahaannya langsung. Atau apakah lelaki yang sedang duduk memandang ke arah kaca itu adalah CEO-nya? Entahlah, Rosa mulai gugup. Perlahan lelaki itu berbalik.
Seketika itu juga kaki Rosa lemas seperti jeli.
“Hai, long time no see, babe. Gue yakin, lo pasti ingat gue kan? 5 tahun lo ngilang, tiba-tiba muncul tanpa gue repot-repot nyari lo sampe ke tong sampah. Siapa tahu lo ngumpet di sana kan.”
Rosa tertegun. Dia tidak salah mengingat. Lelaki itu…
“Belum ingat juga? Hmm…”
Rosa masih tertegun. Hingga tidak menyadari bahwa atasannya itu sudah ada di depannya. Dari sudut pandang kacamatanya, Rosa tahu bahwa lelaki itu adalah pemilik perusahaan ini. Dia baru menyadari ada tulisan CEO di sudut meja kerja itu.
“Saya datang untuk wawancara, pak. Saya…”
Tristan tersenyum lebar, “gak ingat gue?”
Kali ini Tristan tidak peduli soal wawancara. Bahkan, kedua kandidat sebelumnya hanya dia pelototi saja. Tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Tristan hanya ingin membahas soal wanita yang malah kabur setelah kejadian mereka bercinta di club. Lalu maksud dari 5 lembar uang seratus ribu yang diletakkan di ranjang. Itu menunjukkan bahwa harga keperjakaannya hanya lima ratus ribu? Murah sekali everybody.
Membayangkan kejadian malam itu, milik Tristan kembali berkedut. Lebih lagi, wanita yang mengambil keperjakaannya sudah ada di hadapannya sendiri.
Memunculkan dirinya sendiri, setelah dia hampir putus asa mencari hingga ke sudut kota Jakarta.Tristan tidak berbohong. Jake yang setiap malam membantunya berkeliling, dan mencari ke semua sudut. Bahkan ke setiap apartemen juga dia cari. Tapi nihil. Tidak ada sama-sekali.
Tristan juga bingung, kenapa dia harus mencari wanita ini. Kenapa setiap malam dia harus merasa tersiksa? Dan wajah wanita ini selalu memenuhi kepalanya. Padahal ia tidak terlalu cantik, wajahnya pas-pasan. Juga tidak terlalu tinggi, hanya se-dadanya saja. Bahkan wanita-wanita Tristan yang lain, lebih dari kata sempurna.
Sudah cantik, pintar pula menyenangkan ‘adiknya’.
Lalu kenapa dengan wanita ini, membuat seluruh energi di tubuh Tristan seolah terserap? Sekarang Tristan sedang membayangkan, seperti apa gambaran wajah anaknya. Mustahil setelah 5 tahun berlalu, wanita ini tidak hamil. Apakah setampan dia? Tristan bahkan sudah bersiap dipanggil ‘papa’ atau ‘ayah’ dari seorang anak kecil menggemaskan.
“Maaf, pak. Saya tidak kenal dengan Anda.”
“Sungguh?”
Rosa mundur menjauh. Namun sang atasan semakin mendekatkan diri. Memojokkan Rosa hingga ke tembok dekat pintu.
“Jadi, waktu lo keluar dari kamar dan bahkan masih bisa meninggalkan 5 lembar uang seratus ribu, itu lo gak sadar?”
Wajah Rosa sudah memerah. “Saya tidak tahu, pak.”
Ternyata Rosa memilih keras kepala. Sudah lima tahun sejak malam itu, Rosa berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Dia tidak menceritakan malam itu pada siapapun, termasuk pada Eva atau sepupunya yang sangat laknat. Rosa mencoba pulih sendiri. Bahkan meminum obat agar dia tidak hamil.
Rosa melebarkan matanya saat pinggangnya ditarik, dan dihimpit.
Tristan membawa dekat tubuh Rosa pada tubuhnya. Tubuh Rosa menegang. Entah kenapa, dia bisa merasakan sengatan listrik tak kasat mata antara dirinya dan pria di depannya ini.
“Atau…lo minta saya ingatkan kejadian malam itu? My pleasure, gak masalah.”
Tanpa sempat mengatakan apapun. Tristan langsung membungkam bibir Rosa. Dilumatnya benda kenyal itu dengan sedikit beringas. Lidahnya pun sudah bermain di sana. Rosa terkesiap, dia tidak siap dengan serangan mendadak.
Jelas Rosa ingat betul siapa lelaki di hadapannya ini. Tapi, dia terlalu malu untuk mengakui. Apalagi saat itu, Rosa harus mengeluarkan uang lima ratus ribu. Karena merasa bersalah. Sekalipun dia juga dirugikan.
Bahkan setelah malam itu, Rosa selalu takut. Dia dihantui bayang-bayang malam itu. Lebih lagi, lelaki ini adalah atasannya? Rosa mendesah di antara lumatan. Tangannya terangkat mencari telapak tangan Tristan yang sudah masuk ke dalam celah bajunya. Meremas bukit kembarnya dengan begitu nakal.
“Kita ke ruangan gue. Tenang, kantor ini juga memberikan fasilitas bermain kok.” Tristan menyeringai, dan menarik tubuh Rosa tanpa persetujuan. Mereka memasuki ruangan kecil di sebelah perpustakaan mini. Lalu Tristan kembali mencium Rosa dengan halus dan nakal lehernya.
“Please…stop it.”
Rosa akhirnya bisa bersuara. Dia mendesah lirih saat gigitan halus mendarat di telinganya.
“Lo mau gue berhenti? Asal lo tahu, sejak malam itu, gue selalu mikirin lo. Tapi lo malah kabur? Parahnya, lo ngehargain keperjakaan gue cuman lima ratus rebo doang? Dikit banget asal lo tau. Itu gak sebanding dengan apa yang lo udah ambil dari gue. Sekarang gue mau balas dendam, biar lo tahu seberapa frustasinya gue gara-gara lo.”
Wajah Rosa memerah. Dia berusaha memberontak, tapi tenaga lelaki di depannya jauh lebih kuat. Bibirnya kembali di bungkam. Tangan lelaki itu sudah masuk ke dalam celananya, meremas bokongnya dengan keras. Sepertinya lelaki itu tidak bermain-main saat mengatakan ingin balas dendam.
Rosa juga bingung, kenapa dirinya tidak bisa menolak sentuhan itu? Tubuhnya terasa tersengat setiap diberi sentuhan. Rosa merasakan tubuhnya di bawa mundur, dengan kondisi mereka berdua masih bercumbu.
Satu hal. Rosa bukan penurut, kecuali dengan mbak Eva yang meminta tolong menjaga anaknya. Rosa mengangkat satu tungkai kakinya. Dia tersenyum di sela ciuman lelaki itu yang sudah sampai ke bagian dadanya. Bahkan tangan lelaki itu sedang berusaha mencari kancing bajunya.
Tangan Rosa bertumpu pada lelaki itu. Lalu satu kakinya melayang ke bagian bawah tubuh lelaki di depannya. Tidak mau membuang waktu lama, Rosa membenarkan kemeja dan celananya. Tidak peduli bagaimana rintihan lelaki yang sudah tumbang di depannya itu.
Masa bodo. Besok gue harus cari pekerjaan baru lagi.
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali