Sudah seminggu berlalu sejak kejadian dimana Rosa menendang aset atasannya itu. Tapi tidak ada surat pemecatan sama-sekali. Membuatnya bertanya-tanya dalam hati, kenapa tidak kunjung mendapat surat itu. Tapi entah apapun alasannya, Rosa tidak peduli.
Dia sedang di apartemen sepupunya—Jemimah—sembari menunggu Rafael pulang sekolah, barulah nanti dia kembali.
“Lo gak kerja, Ros? Perasaan kemarin lo bilang udah di terima deh,” Jemimah muncul. Keringat memenuhi seluruh wajah, hingga lehernya. Ada beberapa bekas cupang yang dibiarkan terekspos. Tanpa Rosa tanya pun, dia tahu apa yang baru saja dilakukan sepupu laknatnya itu.
Seorang pria keluar dari kamar Jemimah terburu-buru.
“Gue balik ya, Jem, Ros. Ntar malam jangan lupa mampir ke klub gue, ada party soalnya.”
“Iya, babe. Gue datang,” Jemimah beranjak untuk mengantar lelaki bernama Luis itu.
“Ajak Rosa juga.”
“Iya.”
Teriakan itu berakhir dengan pintu apartemen yang ditutup. Jemimah kembali duduk di sofa, merentangkan tangan sambil tersenyum. Rosa di sebelahnya menatap jijik. Kehidupan di ibu kota memang berbeda. Kadang Rosa sampai bergidik ngeri, tidak membayangkan seberapa sering sepupunya itu berhubungan badan dengan lelaki tadi.
Yang pasti. Rosa tahu Jemimah sering gonta ganti cowok. Tapi untuk kali ini, dia bertahan sudah lebih dari 6 bulan. Entahlah mereka akan serius atau tidak. Rosa pun tidak peduli.
“Gue tau lo jijik lihat gue. At least, lo jawab dulu. Bukannya lo udah kerja ya?”
Menghembuskan nafas pelan. Rosa mengalihkan pandangannya dari televisi dan menatap Jemimah.
“Gue resign.”
“What? Lo gila?”
“Gajinya kecil soalnya. Gak sebanding dengan apa yang gue kerjain. So, daripada tulang-tulang gue jadi remuk, mending gue resign. Ini lagi nyari kerja yang baru.”
Rosa terpaksa berbohong. Bibir Jemimah itu sebelas dua belas sama bibir mak lampir, gak bisa diam kalo gak di kasih jawaban pasti. Rosa juga malas menceritakan apa yang terjadi. Karena persoalan dia sudah kehilangan keperawanan, hanya dia dan lelaki itu, dan juga Tuhan yang tau. Selebihnya, tidak ada sama-sekali. Kecuali lelaki itu bibirnya ember. Rosa memberi pengecualian.
“Lo mau makan gak? Gue mau mesen McD deh keknya. Capek banget, dia mainnya hebat banget soalnya.”
“Ishh…lo gila ya, Jem. Gak pernah tobat dari dulu, main mulu lo sama cowo. Hamil baru tau rasa.”
“Udah…tenang, Ros. Gak usah khawatir soal kehidupan gue. No one care. Bokap ama nyokap gue aja ga pernah nanya gue masih hidup ato enggak. Setidaknya gue nyari kesenangan gue sendiri.”
“Serah…” Rosa menaikkan bahunya.
“Lo mau kemana?”
Rosa beranjak dari sofa, mengambil kunci mobil dan juga jaketnya. Sudah pukul tiga belas, dan tiga puluh menit lagi, keponakannya akan pulang. Which mean, Rosa harus menjemputnya.
“Jempur Rafael?”
“Menurut lo? Udah deh, gue mau cabut dulu. Lain kali, kabarin kalo cowok lo lagi di sini. Biar gue bisa nyari tempat lain, setidaknya biar gue gak muntah dengar suara desahan lo berdua.”
“Iya-iya. Galak amat sih, lagi M ya?”
“Minggir.”
Jemimah tersenyum sumbing, membiarkan sepupunya itu pergi. Dia juga merasa tidak enak, karena tidak memberitahu Rosa bahwa pacarnya datang. Punggung Rosa menghilang di balik pintu. Tidak lupa dengan dentuman keras. Fiks. Rosa pasti marah. Jemimah tidak ambil pusing, tubuhnya sangat lelah, dia butuh makan dan istirahat.
***
“Bos, lo mau sampai kapan nungguin itu cewek sih? Ini udah hampir seminggu dia gada kabar. Karyawan baru tapi gitu. Gak biasanya lo kasih kendor kayak gini.”
Jake yang sedang menyetir mulai mengomel. Karena gadis yang baru saja satu minggu yang lalu lari terbirit-birit dari kantor tidak pernah menginjakkan kakinya lagi. Membuat semua pekerjaannya jadi dobel. Sebab bosnya sama-sekali tidak mau posisi itu diambil oleh orang lain.
“Tris, lo gimana sih jadi bos? Gue lama-lama bisa keluar juga loh. Ini namanya pembodohan.” Jake akhirnya memanggil nama asli temannya itu dengan kesal. Tapi yang diajak bicara sedang menatap keluar jendela mobil.
Tristan sedang melamun, menatap ke arah zebra cros. Mobil sedang berhenti karena lampu merah. Anak-anak kecil sedang berlarian menyebrang, karena di sebelahnya adalah sekolah. Dari semua itu, mata Tristan melebar saat melihat wanita yang seminggu lalu menendang asetnya, sedang menyebrangi jalan. Tidak hanya itu saja. Satu tangannya menggandeng tangan anak kecil.
Refleks Tristan siaga di kursinya. Dia mengamati mereka, memasuki sebuah mobil. Bibir Tristan membentuk seringai.
“Lo keluar.”
“Hah?” Jake bingung.
“Lo keluar. Sekarang. Cepat.”
Jake dipaksa keluar dari dalam mobil. Sedangkan Tristan langsung mengambil alih kemudi. Mengikuti mobil itu. Meninggalkan Jake yang kebingungan di lampu merah. Mana banyak anak-anak kecil, dan juga ibu-ibu yang mengerumuninya. Jake melongo, dan tidak bisa berkata-kata.
Sepanjang perjalanan, bibir Tristan tidak henti-hentinya mengumpat. Tidak hanya mengumpat, otaknya juga sedang berpikir keras. Siapa anak kecil itu?
Dari tampangnya, dan melihat anak tadi. Tristan memperkirakan usia anak itu 5 tahun. Mereka juga bercocok tanam sekitar 5 tahun lalu. Jadi…besar kemungkinan itu anaknya. Tristan begitu semangat membayangkan semua hal itu.
Mobil Tristan berhenti dengan jarak 100 meter dari mobil yang dinaiki Rosa. Mereka berdua keluar, begitu juga dengan Tristan. Dia mengikuti mereka dari belakang.
Rosa mulai sadar bahwa ada mobil yang mengikutinya. Tapi dia tetap positif thinking, karena merasa itu hanya sebuah kebetulan saja. Tapi saat melihat mobil itu juga berhenti saat dia berhenti, Rosa mulai panik. Dia buru-buru memasuki apartemen, berharap itu hanyalah ilusinya saja. Dia bahkan berjalan cepat, sambil menggendong Rafael yang sejak tadi mengeluarkan banyak pertanyaan.
Rosa membuka pintu. Dia lekas masuk, begitu berbalik hendak menutup pintu. Mata Rosa melebar.
“ARGHHH…SETAN.” Teriak Rosa.
“Argh…dimana setanya? Mana?” Tristan ikut berteriak, segera mendorong pintu dan masuk. “Mana…mana setannya?” serunya pelan sambil mengintip dari balik bahu Rosa.
Wajah Rosa merah padam. Dia menatap Rafel yang terjatuh, dan hampir menangis.
“Aduh…sayang. Sakit ya, maaf-maaf. Tadi memang ada setan yang lagi ngikutin kita.”
“Itu setannya, aunty.” Rafel menunjuk ke arah Tristan.
Lelaki itu baru sadar, bahwa setan yang dimaksud adalah dia. Segera Tristan melepas pegangannya pada Rosa dan berdiri dengan angkuh. Bahkan tanpa diberi izin, dia melangkah memasuki ruang tamu. Duduk di sofa tanpa dipersilahkan. Matanya mengamati seiri rumah dengan tatapan menilai.
Tapi, Tristan sebenarnya sedang memikirkan kenapa bocah kecil itu memanggil Rosa dengan sebutan aunty. Pendengarannya itu tajam, seperti pendengaran monyet. Jadi tadi itu dia tidak salah.
Rosa dan Rafael berdiri di ambang pintu. Menatap Tristan yang seolah dia yang punya rumah.
“Aunty, paman itu siapa?”
Akhirnya, Rosa dan Tristan saling menatap satu sama lain. Wajah Rosa memerah, tidak tahu kenapa Tristan harus muncul di hadapannya. Tapi di satu sisi, dia legah karena penguntit dari bukan orang jahat. At least, Rosa tahu bahwa lelaki di depannya ini adalah bosnya.
Catat baik-baik. Lelaki di depannya itu adalah BOS-nya sendiri.
“Rafael sudah lapar belum?”
“Belum. Tadi Rafael dikasih bekal sama ibu guru.”
“Good. Sekarang ponakan aunty ke kamar dulu, ganti baju, habis itu bobo ya. Aunty mau bicara sama orang asing ini. Okey?”
Melihat Rafael mengangguk patuh dan segera menuju kamarnya. Baru lah Rosa berani melangkah mendekat ke ruang tamunya yang sempit. Tidak layak untuk menerima tamu luar sebenarnya. Apartemennya sangat sempit, hanya ada beberapa ruangan. Ya…sesuai budgetnya lah.
Dari tatapan Tristan, Rosa tahu lelaki itu sedang menilai tempat tinggalnya.
“Lo mau apa?”
“Wah…sekarang udah gak manggil bapak lagi ya, babe?” Tristan memainkan perannya. “Setelah lo merebut keperjakaan gue, lo hampir buat gue gak punya masa depan, itu masih buat lo nanya gue mau apa?”
Rosa tidak tahu harus berbuat apa. Dia mengambil duduk, agak jauh dari posisi Tristan. Takut kalau terjadi kejadian yang sama seperti hari dia interview untuk kedua kalinya. Akan ribet urusannya.
“Okey. Atas semua yang udah gue lakuin, gue minta maaf sama lo. Tapi kalo lo ngebahas soal klub dulu, apa lo nyadar bahwa lo juga yang ambil keperawanan gue? At least, kita impas. Terus kenapa lo merasa yang paling disakiti itu lo? Heran gue.” Rosa mulai kehabisan kesabaran. Dia berani menatap Tristan to the point.
“Ya gue tau kita impas. Tapi gue mau nanya sesuatu.”
“APA? LO NANYA APA LAGI ANJING. GUE LAPAR, TAU GAK SIH?”
Tristan diam membeku di tempatnya. Sampai lupa caranya bernafas. Dia menelan ludah, dan menatap Rosa yang sangat beringas. Sepertinya wanita itu sedang M.
“Anak yang tadi, anak gue?”
Rosa menghela nafas. “Bukan. Dia keponakan gue. Puas lo?”
“Oh. Okey.” Tristan bangkit berdiri dan menuju ke pintu keluar tanpa diperintah. Dia sedang bertahan agar terlihat tetap cool dan menawan. “Lo jangan berharap dapat surat pemecatan. Besok kerja kayak biasa, dan sampai jumpa.”
Di tempatnya duduk. Rosa tidak paham lagi. Bahkan tidak bisa menjelaskan seperti apa otaknya saat ini saat melihat lelaki itu benar-benar pergi dari apartemennya. Rosa berdiri, membuka pintu dan memastikan lelaki itu memang pergi. Dan itu benar.
Menggelengkan kepalanya. Rosa lekas masuk dan bersandar di pintu dengan kaki gemetar. Dia menelan ludah kasar. Tangannya bahkan ikut tremor setelah membentak atasannya itu tadi.
“Gila lo, Ros. Abis lo besok.”
Tapi 30 menit dengan posisi seperti itu. Bell apartemennya kembali di buka. Tanpa pikir panjang, Rosa membuka. Siap dengan makian.
“LO MAU APA LAGI SIH…Eh pak? Ada apa ya?”
Pak kurir di depan Rosa menelan ludah kasar. Kakinya gemetar. Bahkan kotak Pizza di tangannya hampir jatuh. Rosa jadi merasa bersalah. Dia pikir itu adalah Tristan lagi. Tapi delivery food.
“I…ini mbak. Tolong tanda-tangannya. Terima kasih sudah order di tempat kami, silahkan mampir lagi.”
Rosa diam. Melihat sebuah surat di atas kotak pizza itu.
Dari Tristan.
Ini lo makan.
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali