Share

Bukan Selingkuhan Pak Bos!
Bukan Selingkuhan Pak Bos!
Penulis: Thesa

After 5 Years

Tidak ada malam yang tenang bagi Tristan. Karena setiap gelap menghampirinya, dia akan dihantui bayang-bayang gadis yang dia tiduri di club malam itu. Bisa-bisanya, setelah dia bangun pagi dan berniat membersihkan tubuh sebentar. Gadis yang dia cium paginya itu mendadak menghilang. Tidak hanya itu saudaraku, gadis itu juga menyisipkan beberapa lembar uang seratus ribu di atas ranjang yang mereka gunakan untuk bermain malam itu. Jumlahnya sekitar 5, dan itu artinya lima ratus ribu.

Bagaimana tidak terhantui. Harga diri seorang Tristan, lelaki yang sudah diambil keperjakaannya malam itu melayang hingga ke bawah-bawah sekali. Padahal rencananya, dia akan melamar wanita itu langsung, karena sudah mengambil keperjakaannya. Sebenarnya mereka itu fair, karena Tristan juga mengambil keperawanan gadis itu.

Tapi. Demi neptunus, dan demi martabat laki-laki. Itu sungguh menyesakkan baginya. Harga diri Tristan hanya lima ratus ribu? Jadi begitu? Sejak saat itu, Tristan bersumpah akan mencari gadis itu. 

Sialnya, selama 5 tahun dia mencari hingga ke pelosok kota Jakarta, tidak ada wujud gadis itu. Tristan hafal betul bagaimana wajah itu, bahkan ukuran branya juga dia hafal. Jangan diragukan lagi seorang Tristan. Dia tidak akan lupa, sampai kapanpun.

“Woi, lo gak kerja apa? Hari ini ada rapat anjir.”

Suara melengking dari luar kamarnya membuat pagi Tristan membuka kedua matanya.  Paginya langsung suram. Dia menatap langit-langit kamarnya, dan semuanya kosong. Dia memilih sendiri sejak kejadian di club. Tidak ada wanita yang mampu menarik perhatiannya. Jadi sudah biasa bagi Tristan untuk sendiri. Baginya, sendiri itu sudah mendarah daging. 

Dia tidur sendiri, tapi yang bangun berdua.Decakan terdengar jelas di kamarnya saat mengintip adiknya yang juga bangun. Seolah mengatakan ‘hai, selamat pagi, beibeh’. Bukannya tidak ada gadis yang mau menenangkan adik kecilnya itu, tapi Tristan benar-benar kehilangan selera berhubungan dengan wanita.

“Sialan, kalo lo udah bangun, ngomong anjir.” 

Pintunya terbuka lebar. Dan sesosok manusia muncul di ambang pintu. 

Bahkan, karena tidak punya selera menatap lawan jenis. Tristan sampai menghire Jake—lelaki yang kini menatapnya di ambang pintu–sebagai sekretarisnya di kantor. Jake adalah temannya sejak kuliah, dan melihat wajahnya tiap hari, membuat Tristan ingin muntah.

“Hari ini rapat sama siapa?”

“Pak Wicak, lo lupa?”

“Hmmm…shit.Lo urus dulu dia. Pening kepala gue dengar dia ngomongin putrinya.”

Jake tahu betul hal itu. Pak Wicak memang tertarik dengan sang sahabat, untuk dijadikan menantu maksudnya. Bukan tertarik sesama lelaki. Gey dong kalo gitu. Dan setiap ada rapat, Pak Wicak pasti akan menawarkan putrinya yang lulusan luar negeri itu. Seolah tidak ada lelaki lain saja. Itu membuat putrinya terkesan murahan. Kayak barang di obral-obral. 

“Lo masih kepikiran cewek itu?”

“Hmmm.”

“Makanya, itu azab buat lo. Makanya kalo cewek suka sama lo, tolak baik-baik. See? Sekarang lo yang dicampakkan seperti seonggok upil di pagi hari.”

“Sialan lo. Mau gaji lo gue potong?”

Jake terkekeh sambil membuat gerakan mengunci bibirnya. Lalu menghilang dari sana secepat kilat, sebelum bantal yang baru di lempar Tristan mengenai kepalanya.

Tristan menarik nafas dalam, menenangkan adiknya sebentar lalu segera menuju kamar mandi. Tidak menghabiskan banyak waktu, hingga akhirnya dia sudah sempurna dengan balutan jas biru dongker yang melekat sempurna di tubuhnya yang kekar. Berkaca sebentar, Tristan tersenyum lebar. Tidak lupa mengagumi ketampanan diri sendiri.

“Kayaknya, satu-satunya yang gue syukuri punya bokap adalah ketampanan ini. Lo sempurna Tristan, kaya, dan jago juga main di atas ranjang. Sekarang, mari kita jalani kehidupan yang membosankan ini.” Tristan menyemprotkan farfum pada bajunya, dan segera berjalan menuju meja makan.

Selain sekretaris di kantor, Jake ini juga merangkap sebagai babunya. Siap disuruh 24/7. Pintar pula memasak. Apalagi yang kurang kan?

“Makanannya sudah selesai, baginda Raja. Silahkan di santap.”

Masakan Jake memang tidak pernah salah. Waktu dulu mereka ngekos bareng, yang selalu memasak juga Jake. Tapi yang membeli semua kebutuhannya adalah Tristan. Sedikit tidak balance sebenarnya, tapi tidak apa-apa. Tristan tidak pernah kekurangan sumber daya keuangan. Setidaknya itu yang dia syukuri, walaupun tidak pernah merasakan hangatnya sebuah keluarga.

Ayah dan ibunya sudah lama bercerai, dan hidup sendiri-sendiri. Tristan tidak memilih satupun dari mereka. Dia hidup mandiri, tapi dengan dana yang selalu dia terima. Itu lebih menguntungkan, daripada harus melihat kedua orang tuanya yang hidup terpisah.

“Ini rekap data, dan juga investor pendatang di perusahaan. Semuanya udah gue kirim ke email lo.”

“Hmmm”

“Oh iya, hari ini accounting baru juga bakal datang buat interview terakhir. Kalo lo mau ngeliat pegawai baru lo. Ada 3 kandidat yang berhasil ke tahap ini, dua dari mereka bakal gugur. Kalo lo mau ikut ngetes mereka, setidaknya biar kejadian kayak dulu gak keulang lagi.”

Alasan mereka ngehire accounting baru di perusahaan, karena yang lama melakukan penggelapan dana. Padahal Tristan tidak pernah pelit soal kesejahteraan pegawai. Jika pegawainya benar-benar berprestasi, dia tidak segan-segan memberikan tiket liburan ke luar negeri. Atau sebuah kunci mobil baru. Tapi tetap saja namanya manusia, dimana-mana pasti ada saja yang tidak bisa melihat uang.

“Datanya dimana?” seru Tristan. Dia tidak tertarik sebenarnya, tapi kali ini dia tidak mau mengeluarkan uang lagi jika ternyata yang baru juga sama. Tristan butuh seseorang yang bisa dipercaya. 

Wait, gue ambil dulu.”

Tristan masih santai memasukkan sandwich itu ke dalam mulutnya sambil menatap lembaran CV kandidat baru. Tidak ada yang istimewa di lembaran itu. Semua menampilkan bakat, dan juga pengalaman bekerja di perusahaan bonafit sebelumnya. 

Tidak sampai saat mata Tristan sampai di lembar ketiga. Dia bahkan terbatuk sambil melotot tidak percaya. 

“Lo kenapa? Minum dulu, lo mati kan gak lucu. Ntar sumber keuangan gue ngilang.”

Mata Tristan makin melebar melihat bahwa nama kandidat itu tidak salah dengan ingatannya malam itu. Rosalina Hyunhen, dan nama panggilannya Rosa. Tristan langsung berdiri, mengambil kunci mobilnya.

“Lo kenapa, Tris?”

“Gue mau pergi ke kantor duluan, lo bawa keperluan yang lain.”

“Tumben anjir.”

Langkah Tristan berhenti. Dia berbalik dengan senyuman mengeringan, menatap Jake bangga. 

“Akhirnya. Akhirnya Jake. Gue ketemu sama dia lagi. Setelah lima tahun, lo bayangin selama lima tahun gue nyari ke pelosok Jakarta tapi dia seolah di telan bumi. Sekarang, mari kita lihat, apakah sumbangan sperma gue berhasil atau tidak,”seru Tristan bersemangat.

Sedangkan Jake hanya diam, dengan kerutan di wajahnya. Dia mengambil kertas tadi, dan menatap kandidat ketiga yang membuat Tristan heboh di pagi hari. Bahkan mau ke kantor tanpa dia sopiri. Sejenak Jake diam, lalu meletakkan kertas itu. Dia bahkan tidak tahu wajah yang setiap malam disebutkan oleh Tristan saat mabuk. Yang dia tahu, sahabatnya itu sudah gila. Dan dia lebih gila karena mau berteman dengan orang gila. Membuatnya hampir gila juga. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status