Share

Kembali

Tidak ada yang membuka percakapan sejak tadi. Rosa diam, menatap atasannya dengan kikuk. Dia memasuki ruangan Tristan sudah lebih dari 15 menit. Tapi tak juga diberi perintah apa-apa. Untungnya dia tidak sendiri. Ada Mbak Lis, salah satu teman se-divisi Rosa. 

Orangnya baik, tapi suka keceplosan. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu, Rosa sudah tahu seperti apa kepribadian wanita beranak satu di sebelahnya itu.

“Lis, gue udah ngecek laporannya. Semuanya oke kayak biasa. Gue ada laporan baru, trus nanti jam 12 kita bakal ketemu klien.”

“Okey bos. Saya sudah bisa pergi?”

Tanpa melihat, Tristan mengangguk. Lis langsung tersenyum sumringah. Tapi sebelum menginjakkan kaki keluar dari sana, Lis menatap ke arah Rosa lebih dulu.

“Lo semangat ya, semoga mood-nya gak berubah.” Bisik Lis menyemangati Rosa. Barulah kabur dari ruangan itu.

Kini tinggal Rosa. Suasananya mulai berubah aneh. Ada aura-aura menggelikan, sekaligus horor. Bahkan saking parnonya, bulu-bulu tangannya sudah berdiri. Rosa merinding sekaligus terkejut saat di tatap oleh Tristan dengan pandangan menilai.

Tatapan itu berbeda sekali saat dia diberi makanan tiba-tiba. Rasanya tatapan itu seperti tatapan menilai. Rosa jadi melihat pakaiannya. Tertutup kok. Gada yang terbuka. Dia memang mengantisipasi jika sewaktu-waktu penyakit ‘mesum’ Tristan kumat lagi.

“Gimana kerja di kantor saya? Aman?”

Eh. Kok jadi lain pertanyaannya. Tapi Rosa tetap mengangguk.

Good. Jake mungkin udah ngejelasin semua tentang pekerjaan yang kamu kerjakan. Tapi kenapa tadi pagi tidak ada kopi di meja saya? Bahkan hingga saat ini. Apa ingatanmu itu buruk, sehingga tidak mampu mengingat? Atau, kamu masih menganggap harga diri saya cuman lima puluh ribu?”

Kan mulai lagi nih orang. Rosa membatin.

Tapi Rosa juga mendadak kalut. Dia benar-benar lupa untuk membuat kopi. Tadi pagi, jalanan macet dan dia naik angkutan umum. Naik MRT di kala orang desak-desakan di pagi hari. Hampir saja dia telat. Lalu tanpa mengingat tugas itu, Rosa langsung duduk di meja kerjanya, dan mbak Lis langsung mengajaknya ngerumpi. 

Mana topik yang mereka bahasa itu adalah bos mereka sendiri. Aka Tristan Robinson. Rossa bahkan tau kalo keluarga mereka itu sudah kaya dari sononya. 

“M…maaf, pak. Saya buatkan lagi, tadi saya lupa.”

Rosa mengambil ancang-ancang untuk keluar dari ruangan itu.

“Siapa suruh kamu bisa keluar? Sekarang mendekat ke arah saya.”

Wajah Rosa memerah. Takut akan di apa-apakan lagi. Sebagai kacung, Rosa tidak bisa menolak. Dia melangkah mendekat ke singgasana Tristan.

Tristan yang tidak sabaran langsung bangkit berdiri. Tapi melihat Rosa melangkah mundur, membuatnya makin frustasi. Akhirnya Tristan memilih duduk kembali, menanti wanita itu hingga tiba di depan mejanya.

“Kenapa, pak?”

“Duduk.”

Raut wajah bingung Rosa cukup menghibur juga. Sekuat mungkin Tristan menjaga raut wajahnya agar tetap cool. Dia tidak mau merusak suasana lagi, dan wanita itu kabur lagi.

“Duduk?”

“Iya duduk, kamu tidak mengerti? Atau mau duduk di pangkuan saya?”

Tristan sudah gila mengatakan hal itu. Tapi dia tidak bohong, Tristan masih mengingat detail jelas malam dimana kesuciannya diambil. Rosa akhirnya duduk di kursi tamu. Wanita itu mengenakan blus longgar dan sebenarnya tidak menerawang. Tapi entah mengapa tetap nampak tembus pandang bagi Tristan.

Pasti ukuran branya 32C.

Tristan sebenarnya tidak sesinting itu bisa langsung tau ukuran bra cewek dengan sekali lihat. Bahkan dia tidak tertarik menebak-nebak ukuran Bra wanita-wanitanya yang sering menunjukkannya secara langsung. Tapi khusus Rosa, Tristan just can’t help it. Bahkan seluruh lekuknya masih terbayang jelas di kepalanya. Bagaimana desahan, liarnya Rossa malam itu, dan kenikmatan itu masih dia ingat jelas.

Tidak bisa lepas dari kepalanya. Barang seincipun. Tidak sama-sekali.

Jangankan hanya ukuran bra, Tristan bahkan bisa membayangkan bagaimana rasanya jika telapak tangannya menangkup di sana. Meremasnya dengan pelan, dan saling bersentuhan. Lalu mendesah bersama. 

For God Sake. Jangan sampai Rosa tahu isi kepalanya!

“Kamu kena penalti karena lupa tugas hari ini.”

“Penalti?” Rosa bertanya bingung. Ya, dia memang salah. Mana ada istilah atasan salah. Kalopun salah, tetap ingat kacung yang disalahkan.

Tristan mengangguk. Tangannya meraih ipad dari atas meja, dan melihat beberapa apartemen dekat dengan kantornya. Sudah beberapa hari Tristan mencari apartemen yang dekat. Dan pilihannya jatuh pada apartemen di sebelah kamarnya. 

“Tadi kamu bilang telat, kan? Jadi biar kedepannya semuanya tidak terulang kembali, silahkan pindah ke apartemen dekat kantor. Saya ada beberapa rekomendasi, mungkin kamu bisa melihat.” Tristan sengaja bangkit. Berjalan memutari meja, dan menyerahkan ipadnya.

Nafas Rossa tercekat karena Tristan yang mengawasinya dari belakang. Tepat di belakang. Bahkan lelaki itu mencondongkan tubuhnya. Posisi mereka saat ini, seperti Rosa sedang dipeluk dari belakang. Bahkan  nafas aroma mint Tristan terasa jelas.

Sekali lagi. Rosa tidak mau ambil pusing. Jadi dia menerima ipad itu dan melihat apartemen itu. Tapi satu demi satu yang lewat di depan matanya, tidak satupun yang ramah dengan kantongnya. Semuanya terlihat luxury. Bisa-bisa gaji Rosa habis semua sebelum dia sempat survive mencari kantor baru.

“Tenang. Kamu tinggal bilang saja mau apartemen yang mana, nanti ada diskon karena yang punya tempat itu adalah teman saya.”

“Diskon?” Rosa menelan ludah.

“Iya, jadi kamu tinggal bayar setengah harga saja. Include listrik dan wifi. Gimana?”

“Tapi pak.”

“Atau, kamu memang berniat untuk telat setiap hari? Jakarta kota yang hidup 24 jam sehari. Saya tidak mau kualitas kantor saya turun karena ada yang berani telat di bulan pertama masa percobaan bekerja.”

“Tapi, pak. Saya…”

“Ohww…atau kamu memang berniat demikian?”

Rosa kehabisan pembelaan. Mulut Tristan ternyata lemas juga ye bunda-bunda. Dia lekas bangkit berdiri dan memberi mereka jarak. Wajahnya sudah memerah. Rosa tidak berani menatap Tristan.

“Bukannya tidak mau, pak. Tapi setengah harga pun masih sangat mahal buat saya. Itu..emm…diluar kemampuan saya.”

Tristan menahan senyumnya. Dia berhasil. Rosa masuk ke dalam jebakannya.

“Kalau begitu…saya ada satu lagi rekomendasi. Harganya tidak sampai setengah dari harga apartemen sebelumnya. Tidak terlalu jauh dari kantor.”

Kening Rosa berkerut. Dia tidak salah lihat. Harga apartemen itu sangat murah. Benar-benar murah. Padahal semua barang, dan viewnya sangat bagus. Tidak mungkin apartemen itu dibandrol dengan harga sangat murah. Rosa tahu bahwa itu hanyalah akal-akalan Tristan saja. Dia tidak akan tertipu. Tapi biar bagaimanapun, Rosa juga tergoda. Dia sudah lama punya cita-cita memiliki apartemen luxury dengan harga miring. Meskipun itu sangat tidak mungkin terjadi.

Deal?”

“Tapi, pak. Kenapa bisa apartemen ini murah sekali? Bahkan ini lebih murah dari apartemen sepetak saya.”

“Itu milik teman saya. Dia masih memberikan subsidi, makanya diberi harga sewa semurah itu. Tidak semua orang punya informasi ini. Anggap saja kamu itu beruntung.”

Rosa tidak bisa menolak. Dia akhirnya setuju dengan tawaran tersebut.

“Kalau begitu, kamu bisa pulang lebih awal. Segera kemari barang-barangmu. Besok pagi saya tidak mau kopi saya telat atau bahkan sama-sekali tidak ada di atas meja.”

“Benar, pak?”

“Hmmm.”

Rosa tersenyum sumbing dan bergegas keluar. Apartemen barunya jauh lebih menggoda. Sebelum pergi, Rosa berhenti dulu. Menatap Tristan dengan pandangan tulus untuk kali ini.

“Makasih, pak Tristan.”

“Sama-sama.”

Begitu Rosa keluar dari ruangannya. Tristan langsung tertawa lebar. Mangsa sudah masuk perangkap, dan semua rencananya bisa berjalan dengan lancar.

Jake yang baru saja masuk terdiam di ambang pintu. Merasa ngeri saat melihat Tristan yang tertawa seperti orang sinting. Tidak mau ketularan, Jake lekas keluar.

“Ros, mau kemana?” Jake bertanya saat tidak sengaja melewati meja kerja Rosa. Wanita itu sedang merapikan meja kerjanya. Padahal baru saja Jake ingin menyerahkan kerjaan tambahan.

“Gue pindahan hari ini, Jake. Jadi bos ngasih toleransi biar bisa pulang lebih awal.”

“Oh…di daerah mana?”

“Perumahan Sunter. Apartemen yang bagus itu.” Rosa kegirangan saat menceritakannya. “Gue balik dulu ya, bye.”

Jake diam. Merasa kasihan dengan Rosa karena sudah masuk perangkap dari bos-nya itu. Segera Jake memutar haluan, dan kembali ke ruangan Tristan.

“Bos, rapat jam 12 di cancel?

Tristan langsung diam, segera berbalik dan menatap Jake. 

“Gak. Siapa bilang di cancel?

“Tapi ini…”

“Owh…” Tristan menatap saja. “Lo yang bakal gantiin gue. Lis bakal nemenin lo, siang ini gue harus melakukan pekerjaan mulia.”

“Bos. Yang bener aja deh. Ini rapat bareng client penting kita, 5 tahun berturut-turut bos gak pernah absen. Lagian jadwal bos kan gada yang penting siang ini.”

“Ini dadakan. Sekarang gue pergi dulu.” Tristan berhenti di sebelah Jake. “Ingat. Kerja yang bener. Kalo sampe itu client gak puas, awas aja lo. Gue bakal buat lo jadi jomblo seumur hidup.”

Buset. Gini amat ya nasib kacung. Dan Jake hanya bisa pasrah. 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status