Share

Eva

Setelah insiden Tristan datang ke apartemennya. Rosa tidak lagi mendapatkan pesan serta gangguan. Sudah seminggu juga Rosa tidak bertemu dengan atasannya. Pagi ini dia sudah bekerja dengan tenang. Jake menjelaskan beberapa job desknya. Singkatnya, hari ini Rosa sedang di training.

“Lo ada pertanyaan ga?”

“Sejauh ini semua yang berkaitan dengan tugas, gue paham. But, kenapa ada beberapa bagian yang janggal ya?”

Jake memang menyuruhnya untuk bicara informal saja. Kantor mereka memang menerapkannya. Tapi terkecuali dengan bos mereka. The one and only.

Rosa kembali membalik halaman job desk-nya. Ada dua poin yang janggal. Yang pertama, dia harus membuatkan kopi setiap pagi untuk Tristan. Lalu wajib memberikan kabar, apakah dia masih hidup atau tidak. Ini bukan termasuk kerjaannya. Dia bukan OB atau sekretaris. Rosa itu menjabat untuk posisi supervisor, jadi ini sedikit aneh.

“Gue juga udah nanya sama bos tadi soal poin ini. Tapi dia bilang itu peraturan baru. Jadi, gue gak punya hak buat ngubah itu. Ada lagi ga?”

“Gak lagi sih, semuanya udah gue pahami. Jadi ini berlaku mulai kapan?”

“Besok. Tristan udah balik besok kayaknya, jadi lo harus datang pagi-pagi. Jangan telat. Trus langsung buatin kopinya. Buat racikannya sudah ada di pantry.”

“Okey.”

“Okey, lo bisa pulang lebih awal hari ini. Besok mungkin bos bakal ngenalin lo secara langsung sama yang lain. Jadi…” Jake tersenyum penuh makna. “Semangat datang di Robinson Crop. Semoga lo gak kabur lagi kayak kemarin.”

Mendengar sindiran secara terang-terangan itu, Rosa hanya bisa tersenyum tipis. Sejujurnya, Rosapun tidak berniat untuk bekerja di sini. Tapi apa boleh buat. Selain gajinya di atas UMR, tunjangannya juga gede. Dibandingkan bekerja di perusahaan lain, jelas Rosa yang kantongnya sudah kosong melompong akan terima saja.

Tidak hanya itu. Jika dia keluar, maka uangnya harus di kuras lagi untuk mencari pekerjaan. Rosa tidak kuat. Bisa-bisa nanti dia jadi gelandangan muda di jalanan ibu kota. Sempat kepikiran mau jadi pegawai club malam, tapi Rosa sendiri jijik jika melihat kaula muda yang gila seks.

“Duluan ya, gue harus banting tulang dulu.”

“Oh ya, makasih Jake.”

Rosa lekas beranjak pergi, mengambil ranselnya. Dia harus ke sekolah untuk menjemput Rafael, dan langsung ke bandara. Karena mbaknya akan tiba dalam beberapa jam. Akhirnya, beban hidup Rosa berkurang juga. Setidaknya dia tidak harus bolak balik mengantar keponakannya itu.

***

Bandara Soekarno-Hatta ramai seperti biasanya. Rosa sedang duduk di ruang tunggu, menunggu arrival dari negara tetangga.

Aunty, aku mau ice cream.”

“Kan tadi udah sayang. Gak boleh banyak-banyak loh kalo makan ice cream.”

“Tapi Rafael mau.”

Menarik nafas dalam-dalam. Rosa tersenyum dan menatap lelaki kecil itu dengan senyum tipis. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, Rosa tidak pernah suka anak kecil. Mereka itu annoying, dan tidak bisa diprediksi. Bahkan Rosa juga berminat untuk tidak punya anak.

Dari sudut pandangnya. Punya anak itu bukan sesuatu yang mudah. Proses pembuatannya aja yang mudah dan penuh dengan desahan kenikmatan. Tapi ketika sudah membesarkan. Beh, jangan ditanya. Rosa jadi saksi mata bagaimana Eva pernah mengalami baby blues. Melihat Rafael saja tidak mau, saking cengengnya waktu masih usia 1 tahunan.

Bahkan Eva sempat bengong, tidak menanggapi Rosa sama-sekali. Tahun-tahun penuh kesesakan, dan tangis. Itulah sebabnya, peran orang itu besar. Tidak bisa hanya ibu saja yang membesarkan anak, tapi peran suami juga penting. Jangan cuman asal sumbang sperma aja, tapi kabur setelahnya.

Aunty marah ya, maaf ya aunty.”

“Eh…enggak kok sayang. Mana mungkin aunty marah sama jagoan aunty. Tapi kalo beli ice cream lagi, nanti ketahuan loh sama momynya Rafael. Besok aja ya sayang.”

“Betul besok?”

“Iya.”

“Tapi kan besok kami udah balik. Aunty bohong.”

“Ahahaha…” Rosa mengacak rambut Rafael. Keponakannya itu pintar, mirip ayahnya. “Kapan-kapan ya sayang. Oh ya, itu mommy. Lihat ga?”

Rafael turun dari kursi, dan menatap ke arah bagian imigrasi yang sedang memeriksa para pendatang. Senyum Rosa mengembang, dia merindukan saudaranya itu.

Begitu selesai melalui pemeriksaan. Dengan berlinang air mata, Eva berlari ke arah Rafael yang memanggilnya. Dipeluknya putra semata wayangnya itu dengan sendu. Kasih seorang ibu memang tidak bisa bohong.

“Mommy.”

“Anak mommy sehat?”

“Sehat dong. Aunty baik banget.”

Eva berdiri dan menatap adiknya itu dengan tersenyum. “Ros, makasih ya udah jagain Rafael. Maafin mbak terus-terusan ganggu kamu. Tapi ini yang terakhir kok, mbak udah mutusin biar kerja di Indo aja.”

“Gak papa loh mbak, aku juga senang jaga Rafael.”

“Ya udah, kita balik aja ya. Ke kosan kamu dulu, baru nanti kami pulang.”

“Gak sekalian aja ke rumahnya mbak? Bogor sama Jakarta cuman beda beberapa jam doang. Aku yang nganter. Mbak pasti capek. Atau mau nginap dulu?”

“Nginap aja deh, Ros. Mbak aja yang nyetir besok, kamu juga capek ngurus Rafael.”

Rosa mengangguk, dan mengambil koper Eva yang ketinggalan di belakang. Mereka berjalan menuju parkiran bawah. Tidak menyadari bahwa ada seekor manusia yang sedang tersenyum menatap mereka.

Tristan. Dia tersenyum penuh makna saat melihat interaksi Rosa dan wanita yang tidak dia ketahui siapa. Tapi yang penting, Rosa tidak berbohong padanya. Lelaki kecil itu memang bukan anaknya.

“Lo kemana aja sih? Dicariin gak kelihatan,” Jake berdecak kesal. “Mobil udah di depan.”

“Okey, ayo pergi.”

***

“Ros, yakin ga mau cari apartemen baru? Ini tempat kamu ga layak dihuni loh, dek.”

“Nanti aja, mbak. Habis Rosa dapat gajian dulu, baru pindah.”

Eva menatap Rosa dalam. Adiknya itu rela kerja kasar di tempat mereka dulu karena dia. Trauma pasca melahirkan, di tinggal pergi suami untuk selamanya, dan punya anak yang rewel. Kala itu hidup Eva sudah tidak menentu. Dia beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.

Tapi. Untungnya ada Rosa yang selalu ada di sampingnya. Bahkan di saat sang adik tidak punya apapun. Eva merasa tidak berguna menjadi seorang kakak. Lalu mendapati bagaimana kontrakan sang adik yang hanya layak dihuni satu orang, pengap, dan tidak banyak ruang gerak, membuat hati kecilnya sedih.

“Mbak? Kok nangis sih? Ada masalah?”

“Gak…gak kok. Mbak cuman ngerasa gak guna. Kamu selalu bantuin mbak. Ini mbak ada uang sedikit, cukuplah buat sewa kontrakan yang agak lumayan dikit, dek.”

Rosa berhenti memakan mienya. Lalu menatap Eva. “Gak udah gitu, mbak. Aku tulus bantuin mbak. Emangnya kita siapa sih? Kita itu darah daging bapak sama ibu. Sudah pasti saling bantu. Uangnya buat Rafael aja, dia juga harus pindah sekolah kan. Mbak masih banyak biaya yang harus dikeluarkan lagi nanti, gak usah mikirin Rosa.”

Menggigit bibir bawahnya. Eva tak kuasa menahan air matanya. Dia mulai menangis, dan memeluk Rosa dari samping.

“Maafin mbak ya, dek. Belum bisa jadi sosok yang baik buat kamu. Setelah kehilangan ibu sama bapak, mbak jadi anggap hidup gak guna. Tanpa nyadar kalo kamu dan kembaran kamu juga butuh perhatian.”

“Mbak Eva, please. Itu udah berlalu dan sekarang kita punya masa depan. Rafael butuh sosok yang tegar, sosok mama yang selalu ada buatnya. Okey? Gak usah nangis lagi deh,” Rosa menghapus jejak air mata Eva. “Mbak sampai di titik ini juga udah buat Rosa lebih tenang. Sekarang tidur aja mbak, Rafael nanti ke bangun. Aku tidur di sini aja.”

“Iya, mbak masuk dulu ya.”

Suasana mulai hening. Rosa juga sudah selesai makan dan membersihkan dirinya. Dia tidur di ruang tamu malam ini. Menatap langit-langit, Rosa tersenyum sumbing. Dalam bayangannya, kedua orang tuanya sedang menatapnya sambil tersenyum. Dia merindukan kedua sosok hebat yang lebih dulu dipanggil itu. 

Air mata Rosa menetes. Tapi dia buru-buru menghapusnya, dia harus kuat. Jika dia lemah, maka kehidupan tidak bisa ditaklukkan. Itulah kata bapak yang selalu Rosa ingat. 

Selain itu, besok Rosa juga harus bekerja. Dan tidak mau penampilannya besok menjadi kacau karena menangis malam ini. Bisa jadi besok dia kena semprot lagi. Soalnya, kata Jake, Tristan itu orangnya perfeksionis. Lihat karyawan make-upnya menor aja langsung di skors. Rosa bergidik ngeri, dan segera memejamkan matanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status