Dira tercengah saat mengetahui hal penting yang ingin dilakukan Abi. Setelah kepergian Miranda, Abi langsung menghubungi Zain pengacara yang mengurusi perjanjian yang kemarin dibuat untuk kedua belah pihak. "Jadi ini hal penting yang Kakak maksud?" tanya Dira menatap wajah tampan sang suami yang kini berada di sampingnya."Iya, ini hal penting yang harus segera kita selesaikan." Abi memegang tangan Dira lalu menautkan tangannya, "aku sudah bilang padamu jika aku akan memulai dari awal denganmu. Dan langkah pertama yaitu membatalkan perjanjian konyol yang sudah kita buat." Bola mata Dira berbinar di ujungnya ada tumpukan cairan yang hampir saja keluar dari bendungan. Dira sama sekali tidak menduga hal sepele seperti ini tak luput dari pemikiran Abi. "Kamu menangis?" Tangan Abi yang menganggur kini menghapus air bening yang sempat mengalir. Kedua bola mata keduanya kini saling bertatapan seakan tidak ada habisnya Abi langsung meletakkan kepala Dira di pundaknya. Tentu saja Zain yan
Abi merasa sangat bersalah ketika hidung yang ia tarik tadi bukan hanya merah tapi juga mengeluarkan cairan berwarna merah. Seketika itu Abi langsung membawa Dira ke rumah sakit. Lelaki itu berdecak sebal saat di rumah sakit justru dokter yang menangani Dira lagi dan lagi adalah Rico. "Sudah selesai belum? Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan!" seru Abi saat melihat Rico yang kini membersihkan darah dari hidung Dira yang tak kunjung berhenti. "Bawel amat! Ini juga karena perbuatan dirimu. Aku heran kenapa wajah Dira penuh memar apa kamu melakukan KDRT?" tuduh Rico. "Jangan sembarang bicara! Sudahlah lebih baik panggil dokter yang lain. Aku mampu membayar tiga kali lipat," ujar Abi kesal dengan tuduhan Rico tadi. Dahi Rico mengkerut sembari menatap penuh tanya pada Dira. Lelaki itu berharap Dira dapat memberikan jawaban yang kini mengganjal di benaknya. Iya, pertanyaan apa kira-kira hubungan Dira dan Abi kini sudah membaik? "Aku sudah tidak apa-apa. Ini juga akan segera b
Wanita berambut sepinggang itu meninggalkan rumah sakit dengan keadaan lemah. Dalam langkah lunglai dia masih mengingat dengan jelas, tiga kata yang baru saja masuk ke dalam gendang telinganya. "Anda terkena leukemia." Andira Sabit, wanita berusia 25 tahun ini sama sekali tidak menyangka, di usianya yang masih terbilang sangat muda harus menerima kenyataan pahit dengan mengidap penyakit yang mematikan. Takdir seolah mempermainkan dirinya, dia sudah tidak memiliki kebahagiaan dalam dunia fana ini. Cepat atau lambat dia akan pergi, tapi siapa yang akan menangisi kepergiannya kelak? Dira menahan air mata dan isak tangis, lalu menghadap ke atas agar air matanya tak banyak jatuh di pipi. Kejadian demi kejadian terus menimpa dirinya. "Kenapa semua terjadi padaku? Kenapa Engkau memberikan takdir seperti ini?" tanya Dira sembari menatap tajam ke arah langit yang menghitam. Langit itu tanpa ada rembulan atau pun bintang yang menghiasinya. Jika dipikir-pikir langit di atas sangat menggamb
Pagi menjelang, Dira terbangun dari tidurnya. Perlahan-lahan mata Dira terbuka sebelum kesadarannya kembali penuh dia merasakan pening di kepalanya. Ingatan tentang vonis dokter membuat Dira menghembuskan napasnya dalam-dalam. "Ternyata kamu masih bisa bernapas, Dir." Dira memijit kepalanya agar bisa mengurangi pening yang dia rasakan. Meskipun pening itu gak kunjung menghilang.Samar-samar Dira mendengar suara wanita di dapur. Dira berpikir itu maling atau pembantu yang baru Abi pekerjaan. Namun, rasanya itu tidak mungkin karena Abi pernah bilang jika dia tidak akan mengundang orang lain untuk menjadi pembantu rumah tangga di apartemennya ini.Dira bangkit dari tempat duduknya berusaha menghilangkan pening di kepalanya dengan menepuk-nepuk dahinya menggunakan tangan, lalu berjalan terseok-seok menuju dapur. "Kakak, kenapa di sini?" tanya Dira sedikit bingung. Sejak tiga bulan lamanya baru kali ini Nadya datang sepagi ini ke apartemen. "Kenapa kaget begitu? Semalam aku menginap di
Siang ini Dira berkunjung ke rumah mertuanya, meskipun kehadirannya akan ditolak, baginya tidak masalah dia akan tetep mencoba. Dira memencet bel rumah, seorang pembantu paru baya membuka pintu untuknya. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya seperti tidak mengenal Dira.Dira tersenyum miris, segitu tak berharganya dia sampai tak dikenal sebagai menantu dari keluarga Sander.Namun, Dira harus tetap bersikap sopan lagi pula sampai meninggal pun mungkin dia hanya akan dikenang di keluarga Sander sebagai wanita perebut kekasih kakaknya. "Siang, Bi. Ibu Miranda ada?" "Ada, Non. Tunggu sebentar saya panggilkan, Non—?" "Dira, Bi," ucap Dira menyebutkan namanya agar pembantu itu tidak bingung."Baik, Non Dira. Saya Minah, Silahkan masuk," perintah Minah. "Terima kasih," ucap Dira. Bi Minah bergegas memanggil Miranda, ia takut tamu di depan mungkin orang yang penting. Karena dilihat dari penampilannya terlihat anggun dan elegan. Sebelum berangkat ke rumah mertua, Dira tadi
Abi tiba di apartemen. Dia bergegas mencari Dira. Dia ingin memastikan satu hal. Apa yang direncanakan wanita itu?Gedoran demi gedoran pintu, Abi layangkan di kamar Dira. Namun, hasilnya nihil tidak ada jawaban dari dalam sana. Abi memutar kenop pintu, menyapu pandangan ke seluruh penjuru kamar. Sepi seperti tidak ada kehidupan yang artinya Dira belum pulang. "Kemana wanita itu pergi!" ucap Abi. Lelaki itu kesal saat emosinya sudah memuncak justru dia tidak menemukan seseorang yang dicari. "Kakak mencariku?" Suara Dira terdengar dari arah belakang membuat Abi terkejut. "Kamu! Bisakah tidak mengejutkanku? Dari mana saja kamu?" tanya Abi.Ekspresi Abi yang terkejut membuat Dira terkesima. Bagaimana tidak, Abi memiliki ketampanan yang bisa dibilang cukup sempurna, dengan alis tebal yang hampir menyatu, bulu mata yang lentik hingga bola mata yang hitam pekat membuat tatapannya bisa melelehkan hati. Belum hidungnya yang mancung dan ditambah bibir yang sedikit tebal, tapi terlihat san
Dira kini menginjakkan kakinya di rumah sakit. Dia dengan sekuat tenaga mengumpulkan keberaniannya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Selama tiga bulan menikah dengan Abi, Dira sama sekali tidak ingin menunjukkan wajahnya kepada Lita dan juga Indra, dengan tujuan kedua orang tuanya itu akan merindukan dirinya dan saat bertemu akan memeluknya. Namun, apa yang dia harapkan nyatanya kini hanya sia-sia. Bukan pelukan yang dia dapatkan, tapi sebuah tamparan dan kata hinaan. "Ini pasti karena dirimu. Dasar pembawa sial!" kecam Lita dengan tangan yang masih bergetar setelah menyentuh pipi Dira dengan keras. Dira masih terdiam ditempatnya, dia sama sekali tidak bisa berucap kata saat tuduhan itu diberikan padanya. Dalam batin dia berkata, 'Sebenarnya apa salahku. Kenapa setiap kejadian yang dialami Kak Nadya selalu saja aku yang disalahkan?' Ingin rasanya Dira mendapatkan pembelaan dari seorang ayah atau seorang suami yang kini hanya menatap dirinya di seberang sana dengan tatapan
Tubuh Dira kini semakin bergetar saat Abi mulai melepaskan satu persatu kancing baju miliknya. "Dasar wanita murahan, jadi selama ini kamu benar-benar mengharapkan aku menyentuhmu?" ucap Abi menatap wajah Dira lalu turun ke bawah, di sana Abi dengan jelas melihat aset berharga milik Dira yang masih tertutup dengan bra berwana merah menantang. Dira terus menerus meyakinkan dirinya, jika memang Abi ingin meminta haknya dia akan dengan mudah menyerahkan semuanya meskipun kata hinaan terus dia dengar. Mungkin dengan begitu harapannya bisa membuat satu kenangan indah agar bisa diingat Abi seumur hidupnya bisa terlaksana. "Kak Abi, menjadi wanita murahan untuk suami sendiri bukankah itu hal yang wajar?" Dira terus menerus memancing Abi, menyulutkan api emosi agar lelaki itu benar-benar melakukan apa yang diinginkan, meskipun dia dalam kondisi takut dan tertekan. "Bukankah, sangat indah milikku? Aku bersedia menyerahkan ini semua," imbuh Dira. "Kamu bilang indah? Milikmu tidak ada apa-a