Share

Goodlooking?

Penulis: Wildeblume
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-13 12:59:11

“Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.

“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran.

“Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah.

Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku.

“Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah.

“Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku.

“Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah.

Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat.

***

Dewi mengantarkanku pulang dengan motornya. Sesampai di depan pintu pagar rumah, sudah disambut mbah kakung yang bertolak pinggang.

Setelah aku turun dari motor Dewi, segera kusuruh dia untuk pergi. Aku tak mau Dewi juga menjadi sasaran kemarahan mbah kakungku. Dia pun langsung tancap gas. Sepertinya Dewi juga merasa ngeri menghadapi kemarahan mbah kakung.

“Apa ini perilaku wanita baik baik?” Tanya mbah kakung dengan maksud menyindirku.

“Pergi tanpa pamit! Seenaknya saja! Apa kamu lupa yang namanya tata krama!” Bentak mbah kakung padaku.

“Siapa bilang Rena pergi nggak pamit? Rena pamit kok sama ibu. Tanya aja sama ibu kalau mbah kakung nggak percaya!” Jawabku tak mau mengalah. Egoku sama tingginya dengan Mbah Kakung. Mungkin aku tertular dengan wataknya. Karena dialah yang membesarkanku.

“Pasti teman temanmu itu yang bikin kamu berani sama mbah kakung!” Tuduh mbah kakung pada teman temanku.

“Mbah kakung nggak usah nyebar fitnah, ya! Harusnya mbah kakung sadar diri, siapa yang sudah bikin Rena berubah.” Ucapku tak mau kalah. Tak terima para sahabatku disalahkan.

“Rena.......” Ucapan mbah kakung terputus.

“Pak, sudah. Jangan teriak teriak di depan rumah. Malu sama tetangga.” Ucapan ibu yang memotong perkataan mbah kakung.

“Rena, masuk rumah! Jangan membantah perkataan orang tua.” Perintah ibu padaku.

Tanpa menjawab ibu, aku langsung masuk ke rumah dan langsung ke kamar. Mengunci kamar dari dalam. Kurebahkan badan ini ke tempat tidur. Dalam posisi telungkup ku tutup kepala dengan bantal. Ya, ini yang kulakukan setiap kali merasa jengkel.

Drrt,drrt,drrt. Terdengar bunyi getaran dari hp yang masih berada di dalam tas. Kutarik tasku yang berada di dekat kakiku. Kuambil tas, kubuka dan menarik hp yang ada di dalamnya. Ku lihat layar hpku, ternyata notifikasi pesan w******p.

“Ren, gimana? Amankah? Masih utuhkah dirimu, Ren?” Bunyi pesan dari Dewi. Pastilah ia khawatir. Ia tadi melihat jelas raut wajah penuh kemarahan mbah kakung.

“Aman, Wi.” Jawabku singkat.

“Benarkah? Kenapa pendek sekali balasanmu, Ren?” Dewi langsung membalas pesanku.

“Suntuk, Wi.” “Udah dulu ya. Nanti kalau suasana hatiku udah enakkan, aku telepon. Ok?” Balasku.

“Siap.” Tulis Dewi.

Seusai membaca balasan dari Dewi, aku langsung mematikan hpku. Melemparnya ke sofa yang berada di sudut kamarku. Kemudian ku coba memejamkan mata. Tidur sepertinya menjadi jalan menenangkan hati dan pikiranku.

***

Aku terbangun ketika mendengar suara alarm yang berasal dari hpku. Kucari ke sekeliling kamar keberadaan hpku. Aku lupa kalau tadi benda itu kulempar ke sofa. Begitu kutemukan, kulihat ke jam di layarnya, jam 17.30 wib. Aku memang menyetel banyak alarm di hpku. Ini salah satunya, jam 17.30 wib, waktuku mandi sebelum adzan maghrib. Kalau kalian mau bilang, ‘mandi maghrib maghrib tidak bagus buat kesehatan’, maaf ya teman, ini sudah jadi kebiasaanku. Bahkan jika sebelum ashar aku mandi, nanti sebelum sholat maghrib pun aku juga akan mandi lagi. Gerah!!!

Untunglah! Kamar mandiku berada di dalam kamarku, jadi aku tak perlu keluar kamar dan dengan terpaksa bertemu mbah kakung. Aku masih jengkel dengannya. Selesai mandi, pas, terdengar suara adzan maghrib. Jadi, langsung saja aku mengerjakan sholat maghrib. Setelah sebelumnya sudah mengambil wudhu. Seusai mengerjakan sholat, berdzikir dan berdoa, aku berdiam diri di atas sajadah. Aku bingung harus melakukan apa. Akhirnya, ku ambil mushaf Al Qur’an dan ku baca. Tak terasa aku membacanya hingga terdengar lantunan kumandang adzan Isya.

***

Sejak maghrib tadi, tidak ada suara ketukan pintu dari ibu, seperti biasanya. Apa ibu marah padaku? Biasanya seusai sholat maghrib dan mengaji sebentar, kan terdengar ketukan pintu oleh ibu. Tawaran untuk memakan camilan buatannya. Benar. Mungkin ibu marah padaku.

Setelah selesai menunaikan sholat Isya, aku tak segera keluar kamar. Kuambil hpku yang tergeletak di atas ranjang. Begitu kunyalakan datanya, berjubel pesan w******p masuk, paling banyak, ya dari 3 bestie ku itu. Kubuka pesan di grup wa kami berempat. Terlihat Santi mengirimkan sebuah foto dengan keterangan,

“Ren, ini lho, yang namanya Ferdian Hutomo, calon suamimu!”

Kemudian Santi mengirim foto lagi dengan keterangan,

“Cewek yang jalan sama dia ini namanya Vina. Kakak kelas kita di SMP. Itu lho, yang orangnya rese abis! Inget nggak?”

“Yang pernah jambak jambak-an sama Dewi dulu, ya?” Tanya Dian.

“Ho’o ” Jawab Santi.

“Vina punya hubungan sama nih cowok?” Tanya Dewi.

“Wahh, kalau Rena beneran jadi nikah sama nih cowok, hidupnya nggak akan tenang nih. Pasti Vina akan terus terusan cari masalah.” Tulis Dewi.

“Dijadiin mainan sama si Ferdi nih anak kayaknya. Khan ferdi playboy, fren!” Tulis Santi kemudian.

Terlihat Dian juga mengirim foto. Sebuah screenshoot dengan keterangan,

“Ini salah satu teman fbku nih!”

Kemudian Dian bertanya, “Ini beneran si Ferdian bukan, cowok yang ngerangkul itu? Atau cuman mirip?”

“Iya, betul. Si Ferdian itu!” Jawab Santi.

“Kok ceweknya beda?” Tanya Dewi.

“Kan dia player!” Jawab Santi.

“Hallo,hallo, Ren, Rena, Rena. Kenapa nggak ada tanggapan nih anak? Lama banget sih, si Rena off-nya!” Tulis Dewi.

“Mumet dia. Mikirin nasib!” Tulis Santi. Chat terakhir mereka 5 menit yang lalu.

“Oh, ini yang namanya Ferdian Hutomo? Goodlooking sih, tapi kok nggak bikin berdebar ya?” Tulisku sebagai balasan chat mereka yang bejibun.

“Bodho kamu Ren, kalau berdebar sama cowok modelan dia.” Tulis Santi, membalasku secepat kilat.

“Udah bosan aku, liat cowok yang ganteng. Cari yang mukanya biasa biasa aja, yang penting baik dan setia.” Tulisku.

“Bosan?” Tulis Dian.

“Shok, banget sih Ren. Pacaran aja belum pernah. Koar koar udah bosan!” Tulis Dewi.

“Lah! Itu para sepupuku, cowok semua dan goodlooking semua pula.Ya, nggak?” Balasku.

“Siapa coba, dulu yang minta dicomblangin sama sepupuku itu? ‘yang mana aja deh Ren’ “ Ledekku.

“Kena deh lu, Wi.” Tulis Dian.

“Woi, serius woi! Ini menyangkut masa depan Rena!” Tulis Santi.

“Oke, kembali ke topik!” Tulis Dewi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 77

    “Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 76

    Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 75

    Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 74

    Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 73

    “Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 72

    Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status