Armila menatap Bagas dengan tatapan geram, karena yang diucapkan Bagas tadi sangat jauh dari ekspektasinya. Armila telah membuat skenario, bahwa Bagas cukup mengaku saja sebagai kekasihnya. Agar dirinya terhindar dari perjodohan yang mamanya rancang untuknya. Dia tak menyuruh pria itu untuk berkata jujur perihal pekerjaannya. Armila sebelumnya telah menyuruh Bagas apabila ditanya mengenai pekerjaannya, dia minta agar Bagas mengaku sebagai guru bahasa Perancis. Karena pria itu mahir berkomunikasi menggunakan bahasa Perancis. Tapi, kini Bagas sudah merusak skenario yang sudah dia buat. Menjadikan dirinya kesal pada pria itu.
Sementara itu, Astuti tampak geleng-geleng kepala sambil tersenyum sinis pada Bagas. Sedangkan Arif lebih memilih tak memberikan reaksi apa-apa, dan menunggu Bagas atau Armila mengatakan sesuatu padanya.
“Kamu nekat amat sih pacaran sama anak saya. Lebih tepatnya, percaya diri,” celetuk Astuti.
Bagas hanya tersenyum canggung pada Astuti. “Saya nggak nekat kok, Bu?”
“Terus apa itu namanya kalau bukan nekat? Kamu lihat ini anak saya. Dia cantik dan pintar. Dapat posisi bagus di kantornya. Masak pacaran sama sopir taksi online sih,” tutur Astuti dengan hembusan napas kasar dan tatapan sinis pada Bagas.
“Mama!”
“Kenapa? Salah yang Mama bilang barusan? Lagian kamu juga ini aneh sih, Mil. Jangan karena kepepet sama umur, langsung asal saja dapat pacar. Nggak lihat-lihat dulu,” sungut Astuti.
“Ma, dengerin aku dulu. Mas Bagas ini aslinya guru bahasa Perancis. Jadi sopir taksi online itu hanya kerja sambilan saja, cari uang tambahan,” ucap Armila, dengan ekor mata melirik pada Bagas.
Bagas yang tahu sedang dilirik oleh Armila, hanya tersenyum tipis dan menghela napas dalam-dalam.
“Oh...jadi kamu ini guru toh,” ucap Astuti dengan senyumannya.
Bagas terdiam. Namun, dia akhirnya mengangguk juga ketika kaki Armila menginjak kakinya.
“Kamu ngajar di mana, Bagas?” tanya Arif, yang akhirnya buka suara juga.
Bagas baru saja akan menjawab pertanyaan Arif, tapi Armila dengan cepat menyahut atas pertanyaan sang papa.
“Mas Bagas ini guru privat di salah satu tempat kursus bahasa Perancis, Pa. Atau kadang menjadi pemandu wisata karena selain jago ngomong bahasa Perancis, dia juga jago ngomong bahasa Inggris,” timpal Armila dengan senyumannya, dan menatap kedua orang tuanya secara bergantian.
Bagas menggeleng samar, mendengar penuturan Armila. Sedangkan Arif maupun Astuti, hanya ber ‘oh’ ria menanggapi penjelasan dari anak sulung mereka.
‘Sok tahu amat sih. Ini aku nggak dikasih kesempatan ngomong. Bagaimana nanti kalau orang tuanya curiga? Hadeuh...Armi, kenapa bohong segala sih?’ ucap Bagas dalam hati.
“Lalu sejauh mana hubungan kalian ini?” tanya Astuti dengan tatapan pada Armila dan Bagas secara bergantian.
“Saya berniat serius, Bu, Pak. Saya mau menikahi Armila. Usia kami kan sudah nggak muda lagi. Jadi nggak perlu terlalu lama pacaran. Kami sudah saling cocok, meski belum lama pacaran. Jadi sebaiknya diresmikan saja. Lagiannya, nggak bagus juga kan kalau pacaran terlalu lama. Enaknya sih, pacarannya setelah menikah saja nanti,” sahut Bagas cepat, karena tak mau didahului oleh Armila.
Kedua bola mata Astuti membulat sempurna saking terkejut. Begitu pula dengan Armi, yang semakin dibuat pusing dan geram oleh Bagas. Sedangkan Arif hanya tersenyum menanggapi ucapan Bagas.
“Kamu serius, Bagas? Pernikahan itu bukan main-main lho. Jadi harus dipikirkan dengan cukup matang. Jangan asal bilang serius karena usia sudah nggak muda lagi,” sahut Arif dengan tatapan lekat pada pria yang mengatakan akan menikahi Armila.
“Saya serius kok, Pak. Makanya malam ini saya datang kemari untuk mengatakan hal ini pada Bapak dan ibu. Saya berniat melamar Armila, Pak, Bu!” tegas Bagas.
“Hah?! Me-melamar aku?” tanya Armila dengan bibir bergetar.
Bagas tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tak lama, dia mengalihkan tatapan pada Arif.
“Bagaimana, Pak? Apa kami mendapat restu dari Bapak dan Ibu? Saya memang ingin memberi kejutan pada Armi. Saya nggak bilang kalau tujuan datang kemari, ingin menyampaikan niat melamarnya,” sahut Bagas dengan senyuman.
“Lalu, kamu sendiri sudah cukup mapan untuk berumah tangga?” timpal Astuti dengan tatapan lekat pada Bagas.
“Saya kan punya pekerjaan, Bu. Sedikit atau banyak kan itu relatif, yang penting berkah. Dapat uang sedikit, akan saya kasih ke istri saya nanti. Apalagi dapat banyak, pasti saya kasih dong ke istri,” sahut Bagas tanpa ragu sedikit pun.
‘Gile juga ini orang, ya. Disuruh bohong malah kebablasan. Ini kan cuma akting saja. Lah dia malah ngajak nikah beneran. Ck, bagaimana ini nantinya, ya?’ gerutu Armila dalam hati. Dia tiba-tiba menjadi gelisah, membayangkan rencana Bagas akan terealisasi.
“Berapa pendapatan kamu rata-rata?” tanya Astuti dengan tatapan serius.
“Sehari dapatlah minimal tiga ratus ribu. Kalau ramai, bisa di atas lima ratus ribu,” sahut Bagas kalem.
Astuti lalu menoleh pada suaminya. “Bagaimana, Pa? Apa tanggapan kamu?”
“Ya...kalau memang serius, ajaklah orang tuanya kemari,” sahut Arif. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Bagas. “Saya tunggu kedatangan orang tua kamu. Kapan kamu akan ajak mereka kemari?”
“Nanti saya kabari lagi, Pak. Saya usahakan sesegera mungkin bisa datang kemari, untuk melamar Armila,” sahut Bagas dengan raut wajah serius.
“Baik, kami tunggu kedatangan orang tua kamu. Tapi kalau kamu bohong, segera jauhi anak saya, paham!” sahut Arif tegas.
“Baik, Pak.”
Setelah selesai menyampaikan niatannya itu, Bagas pun berpamitan pada kedua orang tua Armila.
“Mas, kamu ini bagaimana sih? Kenapa malah jadi melamar aku? Kenal juga baru beberapa hari. Aku saja nggak tahu siapa kamu, yang misterius ini menurutku. Bagaimana bisa aku menikah dengan lelaki penuh misteri kayak kamu ini,” sungut Armila dengan suara pelan, ketika berada di halaman rumahnya.
“Lho, kok penuh misteri sih. Aku ini bukan hantu kok. Aku ini manusia tulen,” sahut Bagas sambil mengulum senyuman.
“Nggak lucu bercandanya. Aku kan hanya minta supaya kamu menolong aku, dengan berakting menjadi pacarku. Kenapa malah jadi melamar aku sih?” ucap Armila ketus dan tatapan tajam pada Bagas.
“Bohong itu kan dosa, Armi. Makanya aku tadi ngaku saja sebagai sopir taksi. Memang itu pekerjaanku kok. Buat apa ditutupi segala? Lagiannya niat aku ini baik kok, untuk menyelamatkan kamu supaya nggak jadi dijodohin sama mama kamu. Memangnya kamu malu ya kalau punya suami seorang sopir? Kamu ingin punya suami yang kaya raya, begitu?” sahut Bagas kalem.
“Eh, bukan begitu sih. Kalau soal harta kan relatif. Rezeki sudah ada yang atur. Cuma masalahnya, kita ini kan nggak saling kenal sebetulnya. Kita baru kenal beberapa hari saja. Aku nggak mau menikah dengan orang yang nggak aku kenal. Siapa yang bisa jamin kalau kamu ini orang baik-baik?”
“Bagaimana hasil tes nya, Yah? Apa benar anak yang dilahirkan Santi adalah anaknya Bara?” tanya Bagas setelah Haryo tiba di rumah.Haryo tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak! Entah anak siapa itu? Tapi, Ayah sudah kasih kompensasi kok sama dia sebesar lima milyar. Setelah itu, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.”“Syukurlah kalau ternyata anak itu bukan anaknya Bara,” timpal Armila, yang membuat semua yang ada di ruangan itu mengalihkan tatapan padanya.“Kenapa memangnya, Dek?” tanya Bagas dengan kening berkerut.“Ya...dia kan jadi nggak ada akses untuk datang dan masuk ke keluarga besar kamu, Mas. Aku melihat adanya ancaman kalau dia bisa masuk ke dalam keluarga ini,” sahut Armila kalem.“Tenang, Armila. Bunda nggak akan berdiam diri kalau itu terjadi. Cukup satu orang saja yang pernah menjadi duri di keluarga ini. Bunda nggak akan membiarkan duri lain melukai hati menantu Bunda.” Hesti berkata sambil menepuk pelan pundak Armila, berusaha menenangkan hati menant
Beberapa menit kemudian, Haryo dan Bayu sudah tiba di depan laboratorium. Di sana juga sudah hadir Santi, yang kali ini ditemani oleh ibunya. Tak lama, petugas laboratorium memanggil nama Haryo dan menyerahkan hasil tes DNA.Haryo lalu kembali duduk di kursi yang ada di depan loket penerimaan hasil tes. Jemari Haryo dengan cepat merobek amplop tersebut, untuk segera tahu hasilnya.Sementara itu, Santi tampak agak cemas menunggu Haryo mengeluarkan kertas tersebut.‘Semoga bayiku memang benar anaknya Bara. Supaya masa depannya terjamin. Tentu akan bangga kalau menjadi bagian dari keluarga itu,’ ucap Santi dalam hati.Jantung Santi kini berdegup kencang kala Haryo mulai membuka lipatan kertas hasil tes DNA. Dia menahan napas kala melihat Haryo menghela napas panjang. Santi dengan sabar menunggu Haryo berkata sesuatu padanya. Tapi hingga lima menit berlalu, Haryo masih bungkam. Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari bibirnya.“Bagaimana hasilnya, Om?” tanya Santi yang mulai tak sabar
Haryo terdiam. Dia bingung harus menjawabnya, karena hatinya masih meragu. Namun, tatapan Santi yang terus ke arahnya, mau tak mau Haryo berucap juga.“Baiklah, nanti saya akan beri nama kalau sudah tahu hasil tes DNA. Sekarang Bayu sedang mengurus administrasinya, agar saya dan anak kamu bisa melakukan tes DNA, Santi,” sahut Haryo, yang membuat Santi menghela napas panjang.Beberapa menit kemudian, Bayu pun tiba di ruangan itu. Dia lalu meminta Haryo dan bayinya Santi untuk ke laboratorium, untuk melakukan tes DNA.Akhirnya, mereka pun bergegas ke laboratorium.Sementara itu di tempat lain, tepatnya di rumah keluarga Bagas. Tampak di rumah itu kedatangan seorang wanita pemilik event organizer, yang sekaligus sahabat dari Hesti. Wanita itu diminta Hesti datang, untuk membicarakan acara tujuh bulanan Armila.“Wah, cucu kamu sudah mau tambah satu lagi. Selamat ya, Hes. Kebetulan juga kesehatan kamu sudah semakin membaik sekarang,” ucap Indah-sahabat Hesti.“Iya, alhamdulillah. Oh ya, na
“Mas, kita pulang sekarang, yuk! Aku capek, mau istirahat,” ajak Armila, yang langsung diangguki oleh sang suami.“Ayo, Dek!” sahut Bagas. Dia lalu menoleh pada Santi yang masih cemberut. “San, aku duluan. Semoga operasi caesar nya nanti berjalan lancar. Nanti aku kasih tahu ayah kalau kamu sudah mau lahiran. Biar ayah mengatur waktunya untuk tes DNA.”Santi mengangguk lemah secara berkata, “Iya, dan terima kasih atas doanya. Oh ya, kasih tahu istri kamu tuh. Jangan ketus-ketus jadi orang.”Bagas hanya tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang Santi lontarkan. Di saat yang sama, Armila hanya tersenyum mendengar kata-kata Santi barusan.“Istriku aslinya nggak ketus kok, San. Dia baik hati orangnya. Makanya aku jatuh cinta sama dia. Selain cantik, dia juga baik. Mungkin tadi itu karena dia capek saja. Maklum saja namanya juga ibu hamil,” sahut Bagas ramah. Dia lalu menggandeng tangan Armila seraya berkata pada sang istri, “Yuk, kita pulang sekarang!”Armila mengangguk dan mengeratka
Bagas yang gemas pada sikap sang istri, lantas mendekatinya. “Apa sih yang kamu lihat di situ, Dek? Kayaknya asyik banget sampai nggak mau menoleh ke arah Mas.”“Ini lho, Mas. Aku sedang cari nama bayi perempuan dan bayi lelaki. Soalnya kan anak kita belum ketahuan jenis kelaminnya. Jadi harus siapin dua nama dong.”“Terus sudah dapat?” tanya Bagas kalem.“Belum. Pusing aku jadinya, Mas. Nama-namanya pada bagus semua. Bingung pilih yang mana.”“Sudah, nggak usah bingung. Mas sudah siapin kok nama untuk anak kita nanti. Sekarang kita berangkat saja ke rumah sakit, yuk! Semoga saja USG kali ini bisa kelihatan jenis kelamin anak kita,” sahut Bagas. Dia lalu merangkul pundak Armila dan mengecup kening wanitanya itu.“Siapa namanya, Mas? Jadi penasaran aku.”“Ada saja. Nanti juga kamu akan tahu, Dek.” Bagas senyum-senyum sambil menggandeng tangan Armila keluar kamar.“Ish, kok main rahasia begitu sama istrinya. Siapa namanya, Mas? Kasih tahu dong ke aku sekarang. Kepo kan aku jadinya,” cel
“Siapa mamanya Bara, Mil?”“Beliau adalah istri kedua ayahnya Mas Bagas, Ma.”Astuti tersentak dan melanjutkan lagi bisikannya. “Kamu harus hati-hati menjaga Bagas, Mil. Jangan sampai dia menuruni sifat ayahnya yang poligami. Pokoknya kamu harus jagain Bagas biar nggak kecantol sama perempuan lain.”Rupanya bisikan Astuti yang terakhir itu agak keras, sehingga sempat terdengar oleh Bagas.Bagas tersenyum mendengar bisikan ibu mertuanya, yang sempat dia dengar barusan. Dia yang berjalan di depan, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Armila dan Astuti.“Insya Allah, saya nggak akan berpaling ke lain hati, Ma. Saya sendiri sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi saya juga nggak akan berbuat hal seperti itu pada istri saya ini. Saya sudah dibuat jatuh cinta pada anak Mama ini, dan itu akan saya jaga agar Dek Armi nggak kecewa sudah menerima saya sebagai suami,” ucap Bagas sungguh-sungguh, dan tentu saja disertai dengan senyumannya yang khas.“Alhamdulillah, kalau kamu suda